Lita bangun dengan suasana hati yang buruk karena otaknya tidak bisa berhenti memikirkan berbagai kemungkinan yang tidak ia tahu.
Perempuan tersebut sudah menyesali tindakannya yang berupaya mencari tahu. Ia sadar bahwa apa pun yang terjadi tetap tidak akan mengubah kenyataan yang dijalaninya saat ini.
“Apa terjadi sesuatu lagi di kantor?” tanya Ardan saat melihat Lita yang tampak lebih diam sejak pagi.
“Ehmm, tidak… aku hanya agak lelah karena lembur semalam.”
“Minggu depan anggota editor akan bertambah kan?”
“Ya… sepertinya aku baru bisa berhenti lembur mulai minggu depan.”
“Apa perlu Zan membantu?”
“Kamu bercanda? Pekerjaan Zan sudah sangat banyak, Ardan…”
“Dia sedang tidak terlalu sibuk sekarang.”
“Tidak usah, mana bisa asisten mu tiba-tiba jadi editor,” gerutu Lita pelan.
“Dia itu bisa mengerjakan apa saja…”
“Sepertinya kamu menyiksanya dengan baik sejak dulu?”
Ardan hanya tertawa ke
“Saya Kiana, saya dulu sempat beberapa kali bekerjasama dengan pak Ardan, senang sekali sekarang berkesempatan bertemu istrinya…” Lita menyambut tangan Kiana yang diulurkan kepadanya lalu menyebut namanya meski perempuan di depannya sudah mengetahui tentangnya. “Ah maaf apa saya menganggu?” “Tidak kok.” “Apa pak Ardan dan putranya ikut?” “Mereka tidak ikut, saya datang sendiri untuk urusan pekerjaan pribadi.” “Ah begitu?” ucap Kiana dengan ekspresi kecewa yang tidak bisa disembunyikan. Rey yang sejak tadi berdiri di kejauhan dengan ekspresi canggung akhirnya mendekat. “Kia…” Raut wajah Rey yang buruk akhirnya membuat Kiana merasa tidak enak. Setelah berbincang sebentar, perempuan itu pun akhirnya pamit lebih dulu. “Maaf, aku tidak tau kalau dia mengenal suami mu…” Kata ‘suami’ yang disebutkan Rey membuat perut Lita tiba-tiba terasa mual. Ia tidak mengerti kenapa lagi-lagi respon tubuhnya aneh padahal sel
Setelah terdiam dalam waktu lama dengan ekspresi kosong, akhirnya Lita melangkah turun lalu membayar semua makanan dan minumannya. Rey maupun perempuan bernama Kiana itu sudah tidak terlihat di sekitar kafe. Lita tahu pasti pria tersebut langsung pergi karena tidak ingin melihat wajahnya lagi. Tubuhnya terasa lemas tapi Lita berusaha menahannya. Perempuan itu tidak ingin memperlihatkan dirinya yang menyedihkan atau membuat heboh jika ada yang merekamnya diam-diam saat ia pingsan. Mobil putih itu melaju pelan menyibak gerimis kecil yang mulai turun lalu berhenti di pinggir jalan karena pandangan mata Lita mulai terasa kabur. Lita tahu tubuh dan pikirannya telah mencapai batas bertahan dalam waktu lama. Oleh karena itu ia tidak lagi memaksakan diri untuk terus mengemudi. Meski saat ini ia berada di ambang keputusasaan, perempuan itu belum memiliki niat untuk mengakhiri hidupnya, setidaknya untuk saat ini. Dengan energi yang tersisa ia me
Lita tidak banyak bicara selama perjalanan pulang. Ia hanya mengatakan akan tidur di kamar atas selama beberapa waktu karena sedang ingin sendiri. Ia juga meminta Ardan untuk beralasan kepada Alen jika bocah itu bertanya. Ardan mengiyakan tanpa bertanya. Ia bisa mengetahui ada sesuatu yang terjadi dan pria tersebut tidak ingin memperkeruh keadaan. Ekspresi Lita yang datar dengan tatapan dingin yang menusuk itu memperlihatkan dengan jelas kemarahan dalam dirinya. Pria di samping Lita itu tahu bahwa perempuan tersebut sedang berusaha menahan kemarahannya. Namun Ardan masih belum mengetahui penyebabnya dengan jelas. “Alen sedang ada di rumah papa,” ucap Ardan saat keduanya sudah sampai kediaman mereka. “Dia menginap?” “Tidak, nanti sore aku akan menjemputnya..” “Ya.” Perempuan tersebut memasuki rumah lalu naik ke lantai atas kemudian menuju ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur lal
((Peringatan!! bab ini mengandung hal sensitif seperti trauma dan percobaan bun*h diri. Bagi pembaca yang merasa tidak nyaman dengan konten tersebut dianjurkan untuk tidak membacanya.)) . . Ardan tetap di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Tatapannya fokus mengarah ke Lita yang terus mengatakan semua hal buruk kepadanya. “Sebenarnya apa kesalahan ku padamu sampai kamu bertindak sejauh itu?! “Apa salah ku sampai harus kehilangan semua hal?! Teman-temanku, kekasih ku, bahkan diriku sendiri… kamu sedemikian kayanya sampai bisa membeli kehidupan orang lain ya?” Air mengalir deras dari kelopak matanya. Tatapan mata Lita yang tadi tajam sekarang justru terlihat sendu. Tidak ada kata maaf atau kata penenang lain yang diucapkan Ardan karena pria tersebut merasa tidak pantas. Ia tahu betul kesalahannya sangat besar. Meski ia menyesalinya, Ardan tidak melakukan pembelaan apa pun dan justru menerima semua sumpah serapah itu.
Lita terbangun saat sinar matahari masuk melalui celah gorden dan mengenai wajahnya. Matanya mengerjap beberapa kali dengan ekspresi bingung. Semuanya terasa asing di mata Lita. Ia tidak mengenali ruangan tempat ia berada sekarang. Aroma pengharum ruangan yang berbeda dari yang pernah ditemuinya selama ini membuat ia teringat dengan rumahnya saat ia kecil. Tangannya digerakkan untuk memastikan bahwa sekarang ia masih ada di dunia dan sedang tidak dalam keadaan bermimpi. ‘Ini bukan mimpi… tapi aku ada dimana?” Pandangannya menyelidik ke semua benda maupun sudut ruangan tersebut. Ia yakin bahwa saat ini tidak sedang ada di rumah sakit. Sebuah foto di atas rak kecil dekat jendela menarik perhatian Lita. Perempuan itu turun dari ranjanganya perlahan lalu mendekat ke arah rak tersebut. Seorang perempuan cantik dengan seorang bocah kecil tampak sedang tersenyum senang. ‘Ardan? Apa di wanita ini ibunya?’ Tangan Lita re
Setelah merapikan diri, Lita keluar rumah pada sore hari untuk menjemput Alen. Ia sudah mengirim pesan kepada Ardan lebih dulu agar pria itu tidak terburu-buru pulang. Kesadaran dan fungsi logis otaknya telah kembali dan hal tersebut membuat Lita mencoba bersikap normal. Luka hatinya masih terasa, tapi untuk saat ini ia tidak ingin keadaannya memburuk dengan terus mengurung diri. Ia juga tidak mau Alen melihatnya dalam kondisi menyedihkan. Alen menunggu di halaman rumah Jerry begitu diberitahu bahwa Lita yang akan menjemput. “Mama sudah sembuh?” tanya Alen dengan ekspresi cemas. “Ya, setelah makan dan minum vitamin, sekarang mama merasa lebih sehat,” balas Lita sambil tersenyum. Jerry mengamati perubahan tatapan Lita. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Namun pria tersebut tidak bertanya karena merasa tidak enak. “Ardan menginap?” tanya Jerry berbasa-basi. “Dia akan kembali nanti malam, hari ini saya ingin Ardan mengambil waktu yang cukup untuk dirinya sendiri…” Pria tua di se
Usai berbelanja, Lita langsung mengganti pakaian Alen dan menemaninya sampai bocah itu terlelap. Ia baru melangkah keluar dari kamar setelah memastikan Alen tidur dengan tenang. Perempuan itu menyalakan televisi lalu menontonnya dengan ekspresi enggan. Setelah kejadian malam kemarin, Lita berusaha terlihat normal seolah tidak terjadi apa-apa. Lita menyimpan rapat luka hatinya dan menampilkan sosoknya yang tegar seperti biasa. Meski merasa frustasi, ia mencoba menerima keadaan sekarang dan berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia akan baik-baik saja. Ia sejak awal sebenarnya sudah mencoba melihat sisi lain Ardan. Lita juga lambat laun memahami tindakan pria itu untuk putranya. Perempuan itu tahu betul bahwa tidak akan ada yang berubah meski ia menyesali semuanya. Oleh karena itu ia menekan rasa sakitnya dan memaksa dirinya menerima semua. Memulai kembali hidupnya yang berantakan bukanlah hal yang sulit karena ada Alen di sampingnya. S
Ardan menghela nafas lalu mengeluarkan ponselnya. Beberapa detik kemudian ia menyodorkan ponsel tersebut ke Lita. “Baca saja sendiri…” Lita menatap Ardan sekilas sebelum menerima ponsel tersebut. Ia mulai membaca email yang dikirimkan Lisa. Ia hampir menjatuhkan ponsel itu karena terlalu kaget. Namun tangan kirinya berhasil menahannya. “Ini dari Lisa?” “Ya… tidak usah menatap ku dengan ekspresi seperti itu, aku tidak akan menjawabnya.” “Tapi Lisa bilang tentang ayahnya yang akan menemui kakek mu itu bagaimana?” “Aku yang akan mengurusnya, kamu tidak perlu khawatir.” “Aku tidak mengkhawatirkan mu, Ardan. Aku hanya tidak mau mendapat masalah lagi jika ada gosip beredar… aku sudah cukup menderita selama ini.” Helaan nafas terdengar dari arah Ardan. Pria itu bisa dengan jelas merasakan keluhan dari nada bicara Lita. “Semuanya akan baik-baik saja…” Lita menggelengkan kepalanya pelan. “Paling tidak, be
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar