Lita terdiam begitu mendengar ucapan neneknya. Rasa panik yang tiba-tiba muncul kembali membuat perutnya terasa mual. “Ya? ada apa?” “Ada seorang pria yang datang, dia membawakan banyak baju dan makanan. Katanya dia dekat dengan mu sejak lama, tapi memangnya dia siapa, Lita?” “Dia tidak mengatakan sesuatu kan?” tanya Lita cemas. “Memangnya ada apa? Siapa dia? Dia hanya bilang kamu akan menceritakannya sendiri ke nenek dan kakek?” Perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Ia mengutuk pria itu dalam hatinya. “Ehmm, maaf nek, bisa tolong berikan hp nya ke dia sebentar?” Suara menjadi hening sejenak dan hal itu semakin membuat perasaan Lita tidak nyaman. “Kamu bisa menerima telepon ternyata?” Suara dingin pria itu membuat Lita semakin panik. “Aku baru saja bangun… .” “Begitu? Bukannya kamu berniat kabur?” ‘Apa dia sedang tidak di dekat nenek sampai berani bicara begitu?’ “Aku tidak melakukan itu, kalau aku memang berniat kabur pasti aku kembalikan dulu uang yang kamu berikan… .”
Lita menatap neneknya dengan perasaan bersalah yang memenuhi dadanya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Maaf nek, sebenarnya dia suami ku… .” Ekspresi kaget nenek Kinanti terlihat jelas. “Kamu bercanda?” “Aku serius…, maafkan aku nek.” Kakek Karsam muncul dengan ekspresi bingung. “Ada apa ini? Kenapa ekspresi kalian berdua serius begitu?” Wanita tua yang sejak tadi ada di samping Lita akhirnya berdiri kemudian duduk di sebelah suaminya yang baru datang. “Ituloh pak, katanya nak Ardan itu suaminya Lita… dia ini bercandanya ada-ada saja.” Pria tua di seberang Lita itu mengerutkan keningnya. “Benar itu Lita?” “Iya… .” Kedua pasangan yang sudah renta itu berpandangan satu sama lain dengan ekspresi bingung. “Loh, memangnya kapan kalian menikah?” “Ehmm, ceritanya rumit… .” Perempuan bermata coklat itu akhirnya mulai menceritakan tentang semuanya. Tentu saja sesuai dengan skenario yang sudah di
Suasana ruang bercat putih itu masih hening meski sinar matahari sudah masuk melalui jendela. Seorang perempuan terbaring di ranjang dan seorang pria tampak sedang tidur dalam posisi duduk di sofa dekat pintu. Mata perempuan itu terbuka perlahan. Kesadarannya yang baru pulih mulai mencium aroma yang dibencinya. ‘Aku di rumah sakit?’ Setelah berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan itu, ia mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tatapan matanya terhenti pada sosok pria yang sangat dibencinya. Kemeja yang dipakai laki-laki itu masih sama dengan yang ia lihat semalam. ‘Dia menunggu disini?’ tanya Lita dalam hati sambil memperhatikan ekspresi tenang pria tersebut. Pandangan matanya beralih ke arah jendela. Ia menghela nafas panjang. Kepalanya terasa sakit lagi saat mengingat semua kejadian beberapa hari ini. Waktu terasa lambat berjalan bagi Lita. Tiga hari bersama Ardan seperti satu tahun lamanya. Ia bahkan meragukan dirinya jika memang semua it
Lita langsung kehilangan rasa penasarannya begitu mendengar jawaban itu. Meski kesal dengan jawaban pria tersebut, perempuan itu membenarkan ucapannya. ‘Ya, dia bahkan bisa membeli waktu hidup ku… .’ “Semua dilakukan karena ia menyayangi putranya,” ucap Zan menambahkan. Perempuan itu tidak merespon ucapan pria berkacamata tersebut. Ia enggan mendengar lebih banyak omong kosong yang akan membuat telinganya semakin risih. Tidak lama kemudian mobil hitam itu sampai di kediaman Ardan. Lita sempat merasa takjub dengan rumah yang jauh lebih minimalis dari yang pernah ia datangi di Semarang. Rumah bercat putih dengan kombinasi coklat tua itu terlihat elegan. Ukurannya memang terlihat tidak terlalu besar jika dilihat dari depan, tapi sebenarnya rumah tersebut memanjang ke bagian belakang. “Alen bangun, kita sudah sampai,” bisik Lita di telinga bocah itu. Alen membuka matanya perlahan. Ia mengeratkan pelukannya ke Lita. “Aku mau ikut ma
Lita menggunakan waktu liburnya untuk segera menyesuaikan diri di rumah itu. Ia mendapat beberapa penjelasan terkait statusnya dan hal yang harus dilakukan sebagai salah satu penghuni rumah tersebut. Perempuan itu juga mendapat informasi tambahan dari pekerja rumah tangga yang telah merawat Ardan sejak kecil. Rumah yang ditinggalinya saat ini adalah rumah mendiang ibu kandung Ardan, sedangkan rumah yang diberikan oleh ayahnya tidak pernah digunakan. Hal yang membuatnya terkejut adalah informasi tentang lantai kedua yang sebelumnya disebut tidak boleh didatangi siapa pun. Karti juga menjelaskan bahwa dirinya sebenarnya juga tidak diperbolehkan menginjakan kaki di lantai atas. Wanita paruh baya itu mengaku sempat terkejut dengan Ardan yang meminta salah satu ruangan kamar atas disiapkan untuk ‘istri’nya. Lita sebenarnya enggan mendengarkan lebih banyak, tapi Karti terus berbicara dan menceritakan banyak hal. Obrolan tersebut sempat membuatnya penasaran dengan kehidupan pria yang s
Alen terlihat terkejut dengan suara keras itu. Ia menatap Lita dengan ekspresi cemas. Bocah itu mendekat ke Lita lalu memeluknya erat. “Alen takut?” “Itu nenek yang waktu itu kan?” “Iya, Alen mau menyambutnya?” “Kata papa, Alen tidak boleh dekat-dekat orang itu.” “Hmm… Kalau begitu Alen masuk kamar saja ya?” Bocah itu mengangguk lalu bangkit dari tempatnya kemudian berlari menuju kamarnya. Ekspresi Lita langsung berubah begitu Alen masuk kamar. Ia tidak suka dengan kehadiran ibu tiri Ardan tersebut. Perempuan itu melangkah menuju halaman depan dan mendapati Isana sedang memarahi Karti. “Selamat sore… mama. Maaf terlambat menyambut, silakan masuk.” Pandangan wanita tua itu beralih ke arah Lita yang baru saja muncul. Tatapan matanya menyelidik dari ujung rambut hingga ujung kaki istri dari anaknya. “Oh kamu sudah memutuskan untuk menampakkan diri? Sepertinya penampilan mu terlihat lebih berbeda?” B
“Alen terbangun dan menanyakan mu, dia menangis karena mengira kamu pergi…” Lita menatap Ardan dengan ekspresi kesal. “Lain kali tolong jangan sampai membuatnya terbangun.” Perempuan itu melangkah menuruni tangga lalu menuju kamar utama yang terletak di lantai satu. Dahinya sempat mengernyit karena Ardan berjalan di belakangnya. “Kamu tidak menunggu di atas saja? Akan ku beritahu kalau Alen sudah tidur lagi.” “Aku akan menunggu di depan kamar.” Pria itu tidak menyebutkan alasan ia sebenarnya ikut turun. Ia tidak ingin dikira sedang membuat alasan. Lita masuk ke kamar tersebut dan mendapati Alen sedang duduk menghadap pintu. “Kamu terbangun?” Mata bocah itu tampak sembab. “Alen bermimpi buruk.” “Mimpi apa?” Lita naik ke atas ranjang lalu mengusap kepala bocah itu. “Mimpi mama pergi… .” Mata Alen kembali berkaca-kaca. “Mama tidak pergi kok,” ucap Lita sambil memeluk Alen. “Tapi mama tidak ada saat
Selama perjalanan, Lita kembali memikirkan tentang suasana kantor. Ia menerka respon rekan kerjanya yang mungkin telah mengetahui bahwa perempuan yang dulu sempat menjadi bahan gosip itu tidak lain adalah dirinya. ‘Walau kenyataannya tidak seperti itu, keadaannya sekarang justru begini… Aku harus bagaimana?’ “Sudah sampai, silakan turun dulu. Saya akan kembali untuk mengantar pak Ardan ke tempat lain.” Ucapan Zan membuyarkan lamunan Lita. Namun perempuan itu masih belum beranjak dari tempat duduknya. Ia tiba-tiba teringat ucapan Ardan. ‘Jangan menundukkan kepala mu kepada siapa pun.’ “Anda tidak perlu khawatir tentang suasana kantor,” ucap Zan tiba-tiba. “Terimakasih.” Perempuan itu akhirnya turun dari mobil setelah memastikan suasana di depan gedung itu tidak terlalu ramai. Lita menghela nafas panjang lalu pandangannya diarahkan lurus ke depan dengan ekspresi datar. Berkali-kali ia mengulang perkataan Ardan, ‘jangan menundukkan kepala kepada siapa pun.’ Suasana kantor cukup
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar