Lizzie merasa gugup. Dia tidak terlalu suka gagasan soal Armant dan Mina yang diundang untuk datang makan malam bersama orangtuanya. Tapi Lizzie tidak kuasa menolak lantaran ibunya merengek lewat telepon dan Mina juga mendapatkan terror yang sama darinya. Bahkan setelah menerima telepon darinya saja ibunya masih pula membombardir banyak pesan ke ponsel Lizzie.IbuAku tidak bisa mempercayai kata ‘iya’ darimu Lizzie. Aku tahu kau pasti akan memberitahu Mina dan Armant soal undanganku. Jadi Aku sudah menelepon Mina juga untuk memastikan kalian bertiga datang malam ini. Datanglah dengan mobilnya Mina atau Armant. Aku tidak mau kau membawa motormu.Begitulah isi pesan wanita itu, memang sangat berlebihan tapi bagaimana pun juga Lizzie hanya bisa menghela napas lelah dan mengelus dada. Terkadang sikap ibunya bisa jadi sangat menganggu di waktu tertentu. Dia benci datang bersama mereka untuk makan malam selama ayahnya ada disana.Dan beginilah sekarang, mereka datang dengan mobil Mina, sesu
Lizzie melirik ke arah pria itu dari balik sofa yang dia tempati. Rasanya seperti menjadi tak kasat mata dan tidak anggap padahal mereka berdua saling berpandangan meski beberapa detik. Perutnya terasa menegang dan banyak ketakutan yang tiba-tiba saja merangsek masuk tanpa diundang.“Ada acara kumpul kecil-kecilan rupanya,” komentar Dion dengan tenang mendekati Elliza dan mencium keningnya sebagai salam, Elliza tersenyum.“Hanya anak-anak. Aku pikir kau akan lembur seperti kemarin, karena tidak mau sendirian aku mengundang mereka semua kemari,” kata Elliza menyahuti perkataan suaminya. “Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Mau aku panaskan?”Dion menggelengkan kepala. “Tidak, aku akan makan malam nanti. Aku tidak ingin merusak moment-mu bersama anak-anak. Selamat bersenang-senang.”Pria itu bahkan tidak menyapa putrinya, sama seperti kedatangannya yang tidak terdeteksi pria itu kini telah pergi tanpa merasa perlu mengatakan apa-apa lagi. Lizzie merasakan tenggorokannya tercekat,
Mina tidak masalah bila dia harus tetap tutup mulut, tapi tidak dengan Armant. Pemuda itu penasaran soal Lizzie yang kerap menyelinap keluar tiap kali dia punya kesempatan. Mina dan Armant tentu mengetahui soal pendanaan yang tidak lagi diberikan oleh ayahnya Lizzie, tapi mengingat disemester ini gadis itu tampak tenang dan tidak pontang panting soal uang membuat keduanya lega tapi juga khawatir disaat yang bersamaan. Darimana Lizzie mendapatkan uang untuk biaya kuliahnya? Apa yang gadis itu lakukan? “Aku keluar,” kata Lizzie sambil mengemasi barang-barangnya. “Lagi? kau kan baru saja pulang kerja.” Armant melipat tangannya seraya menaikan sebelah alis. “Ini masih pagi.” “Ya memang.” “Lizzie.” “Hm?” “Apa kau melakukan sesuatu yang … illegal?” Armant memicingkan matanya ke arah Lizzie, melihat ekspresi gadis itu berubah drastis dari terkejut menjadi tersinggung. “What the fuck? Kau serius berpikir aku sebodoh itu?” “Kadang-kadang.” Lizzie memutar kedua matanya tapi Armant yang
Setelah menyingkirkan pakaiannya kini Lizzie hanya mengenakan sport bra dan celana pendek, Daxon sendiri sudah duduk di luar. Porsche kesayanganya telah dia parkirkan di bawah sinar matahari. Semua perlengkapan kebersihan tertumpuk rapi tepat disebelah ember. Daxon menikmati pemandangan di hadapannya dengan santai. Duduk di kursi panjang dengan setumpuk dokumen di tangan. Untungnya rumah Daxon tipikal rumah yang tertutup, jadi dia merasa lega karena tidak akan ada yang bisa melihat Lizzie saat dia berpakaian menggoda seperti itu. Lizzie terlihat menikmati kegiatannya, tidak dia hiraukan tubuhnya yang terkena semprotan air. Membuat kulitnya yang putih berkilauan oleh bulir air yang terkena cahaya matahari. Daxon menurunkan kertasnya untuk sekadar menatap gadis kesayangannya yang lucu membungkuk mengambil selang air yang ada di bawah. Tidak ada yang menggoda dari gerakan gadis itu, tetapi karena kepolosannya itu membuat Daxon justru tergiring untuk memikirkan pikirkan kotor. Gadis it
Suara lembut tersebut tidak hanya mengubah reaksi Daxon, tapi juga reaksi Lizzie. Dia merasa tegang, dan rasa mual langsung datang tanpa dapat dicegah. Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. Rasa takut dan malu bercambur baur menjadi satu, mendengar suara seorang wanita dibelakang sana. Daxon menarik tangannya dan menjauhkan diri dari Lizzie untuk menghadapi wanita yang memanggil namanya.Lizzie sendiri agak takut untuk berbalik, tapi setelah dia memberanikan diri kedua matanya langsung melebar.Itu adalah wanita yang sama, wanita yang mereka temui sepulang dari restoran setelah makan malam bersama. Lizzie dapat menyimpulkan bahwa dia masih memiliki ikatan dengan Daxon melalui pekerjaannya. Dilihat dari bagaimana cara wanita itu berpenampilan. Setelan rok span dan sepatu hak tinggi serta rambut pirangnya yang diikat kebelakang menunjukan profesionalisme-nya sebagai seorang wanita karir.Pipi Lizzie memerah karena malu, dia bergumam sendiri dengan suara yang hanya bisa di dengar Dax
Adalah keputusan yang bagus bagi Lizzie untuk menemani Daxon berjalan-jalan dengan mobil mewahnya. Perjalanan bersama terbukti memang sesuatu yang mereka berdua butuhkan.Hanya butuh beberapa menit saja setelah mengemudi dengan posisi top down di Porsche mewahnya, seluruh sikap dan pembawaan Daxon sedikit mulai berubah. Alisnya yang semula bertaut mulai melembut, dia juga tidak lagi mengatupkan bibirnya dengan lengkungan kebawah. Lebih tepatnya sekarang dia sudah sedikit lebih rileks dengan posisi rest. Pria itu sudah lebih santai di kursi kemudi, mengendarai mobil hanya dengan sebelah lengan sementara satu lengannya yang bebas dia gunakan untuk menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dengan malas.Lizzie mulanya berusaha untuk tidak memperhatikan setiap detail itu, dan lebih memilih menyibukan diri dengan memandangi lautan luas yang mereka lalui, menikmati udara yang berembus dari jendela yang sengaja Lizzie buka dan debur ombak yang membuat gadis itu mau tidak mau tersenyum simpul.
Kata-kata itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Lizzie sendiri sebelum dia memikirkan terlebih dahulu akibatnya. Tapi meski begitu, Lizzie tidak merasa menyesal karena dia merasa perlu untuk memastikan sendiri jawabannya. Dia tidak bisa terus menggantungkan harap pada seorang pria yang benci untuk memulai hubungan dengan seseorang. Dia juga tidak ingin menambah rasa ketidakpercayaan kepada pria itu. Pria yang terluka oleh masa lalunya.Tidak dia duga, Daxon hanya mengangkat bahu. “I guess.”Lizzie berbalik dan menatap Daxon lekat-lekat. “Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja, kau tahu, ini tidak seperti aku bersama seseorang sebelum kita terlibat dalam hubungan friends with benefit ini. Jadi tiba-tiba aku ingin memastikan sendiri dan aku juga tidak ingin menyakitimu.”Daxon tidak menjawab. Dia malah memilih mematikan rokok yang sedang dia hisap dan meletakan tangannya pada pintu mobil. Menyandarkan kepala untuk sekadar menyipitkan mata menatap kearah lautan yang luas dengan debur omb
Mungkin keputusan Lizzie untuk menginap di kediaman Daxon di weekday bukanlah hal yang bijaksana. Namun semua sudah terlanjur berlalu dan yang tersisa hanyalah rasa sesal. Lizzie mungkin memang bahagia dan menikmati kebersamaannya, walau keesokan paginya leher dia pegal. Bukan karena eksploitasi seksual di malam hari, tapi lebih pada dia ketiduran di bahu Daxon yang saat itu memeluknya. Posisi mereka memang terbilang romantis, tapi rupanya posisi itu pula yang menyebabkan mereka pegal-pegal di keesokan harinya.Ini bisa dibilang adalah kali pertama dalam waktu yang terbilang sudah lama berlalu tatkala Lizzie terbangun dalam pelukan seorang pria tanpa hubungan seks sebelumnya. Sensasi yang dia dapatkan sangatlah asing tapi tidak seburuk yang dia bayangkan.Pagi ini, Lizzie juga diantar pulang langsung oleh Daxon mengingat dia ad akelas pagi. Mobil yang dia gunakan adalah Maserati. Tentu saja jenis yang lagi-lagi mencolok.“Aku bersenang-senang semalam,” ungkap Lizzie terus terang. Seny
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber