"Akh ...!" pekik pria tersebut saat Naresh langsung mencekik lehernya.Naresh berjalan cepat memasuki kamar dengan tangan yang masih mencengkeram kuat leher pria itu, sementara Delon langsung mengunci pintu, dan menyalakan alat kedap suara."Katakan! Apa mau mu mengacaukan sistem perusahaan ku!"Pria tersebut masih batuk-batuk, sesekali tangannya mengusap leher. Namun, sejurus kemudian senyuman aneh terbit di bibirnya."Kau lupa siapa aku, Tuan Naresh?!" tanyanya penuh penekanan.Hening! Naresh tidak bergeming."Aku adalah pegawai yang beberapa bulan lalu kau rekrut. Aku ini jajaran petinggi perusahaan! Jadi, siapa yang salah? Kau yang terlalu polos dan bodoh, atau aku yang terlalu pintar berkamuflase?!""Sialan! Kau menipu ku!"Bugh!Satu pukulan melayang bersama darah segar mengalir dari hidung mancung pria itu. Matanya memerah, sekejap kemudian ia mengalihkan pandangannya kepada Clara yang juga berdiri di samping Naresh."Kita sudah berkenalan, Bu Clara. Kau pasti masih ingat namak
Mobil sport keluaran terbaru tersebut melaju cepat membelah jalanan raya, panasnya aspal sama sekali tidak membuat Naresh mengurangi laju kendaraannya, yang ada kakinya malah semakin menekan pedal gas. Sedangkan Clara, sedari tadi wanita cantik itu sudah menghubungi Delon dan Victor. Ia meminta dua pria itu segera menuju ke suatu lokasi yang di yakini tempat Anne disekap."Beruntung mereka tidak mengetahui gps di kalung Mama, Cla. Kalau tidak, aku akan frustasi karena kehilangan jejak Mama.""Yeah, Mama adalah wanita pintar. Beliau selalu bisa tenang dan memanfaatkan keadaan sebaik mungkin. Semoga Mama dalam keadaan baik-baik saja di sana.""Mama akan baik-baik saja, kalau terdapat luka di tubuhnya maka aku akan memenggal kepala perusuh itu. Semuanya!"Clara mengangguk. Selanjutnya ia kembali menatap jalanan di depannya. Tampak jalanan yang lebih sempit dari jalan utama, sekelilingnya hutan, tetapi beruntung sudah aspal. Clara mengalihkan pandangannya pada pohon-pohon yang tumbuh ting
Brakkk!"Vic ... tolongin Clara," ucap Naresh dengan suara lirih di tengah-tengah ketidaksadarannya.Victor segera menggendong tubuh Clara, sedangkan Delon turut bingung. Sementara tangannya tengah menggendong Anne. Untung saja beberapa saat kemudian beberapa bodyguard miliknya datang, sehingga Naresh bisa lekas di papah."Tuan, cepat pakai ini." Bodyguard tersebut memberikan alat bantu pernapasan kepada Naresh. Selanjutnya lelaki bertubuh besar itu mendudukkan tubuh Tuannya secara perlahan di bangku Limousine."Terima kasih.""Sama-sama, Tuan. Efek asap itu akan segera hilang saat udara segar sudah masuk ke paru-paru Anda.""Yeah."•Limousine mewah tersebut menjadi saksi seorang anak yang menangis pilu mendekap erat ibunya. Yeah, Naresh tergugu saat melihat keadaan Anne penuh luka lebam. Entah penyiksaan apa yang wanita paruh baya itu terima.Keadaan Anne masih tidak sadarkan diri, juga ada bekas darah yang mengering di sudut bibirnya. Naresh fokus memandang wajah sang Mama, Anne, s
Naresh tiba di rumah sakit dan melihat Clara menangis histeris di depan pintu, sementara Delon terus berjalan mondar-mandir dengan raut bingungnya. Tubuh lelaki itu sontak melemas. Ia takut. Dirinya belum kuat jika harus mendengar kabar buruk."Ayo, Naresh. Tante Anne nggak selemah ini," ucap Victor."Iya," jawabnya singkat.Langkahnya telah sampai di depan pintu. Tubuh kekarnya langsung di peluk oleh Clara, wanita cantik itu menumpahkan banyak cairan bening pada dada bidangnya."Ada apa, Cla? Mama kenapa?" tanya Naresh dengan suara pelan."Aku nggak tahu, Mas. Tiba-tiba Mama kejang ... aku bahkan belum sempat masuk, aku cuma bisa ngintip dari kaca.""Mama sempat sadar?" tanyanya lagi."Aku nggak tahu. Dokter juga belum keluar sejak tadi.""Kita doakan saja, Cla. Kita harus yakin kalau Mama bisa melewati ini semua," ucap Naresh berusaha menguatkan, padahal hatinya juga sangat rapuh.Clara mengangguk. Dengan perlahan wanita cantik itu menjauhkan dirinya dari tubuh sang suami, ia juga m
Naresh dengan cepat menyelesaikan makan malamnya, kemudian lelaki tampan itu mengajak sang istri kembali ke rumah sakit. Tidak ada kata apapun yang terucap dari mulutnya, karena ia tahu tidak akan baik jika dijelaskan di sini."Istirahat lah, ada satu kamar di dalam kamar Mama.""Ka-Kamu nggak istirahat, Mas?"Naresh menggeleng."Aku akan menunggu di luar.""Baiklah. Oh, iya, Mas ... aku mau minta maaf soal tadi, aku nggak bermaksud untuk—""Sudah, nggak usah dilanjutkan. Jangan bahas apapun malam ini, Cla. Kamu harus istirahat sekarang." Naresh berlalu pergi setelah mengatakan hal itu.Entah ke mana tujuannya, tetapi ia meninggalkan Clara sendirian di rumah sakit ini. Gegas saja wanita cantik itu masuk kamar dan segera membersihkan diri, baru setelahnya ia tidur.***Pagi hari.Clara tengah membasuh tubuh Anne dengan lembut, sesekali keduanya akan berbincang, dan tertawa bersama."Terima kasih, ya, Cla. Kamu sudah mau bantu Mama berbenah, sekarang Mama ngerasa jauh lebih baik."Clara
Clara meraup bibir merah alami milik Naresh. Menyesapnya dan sesekali memberikan gigitan manjanya di bibir kenyal itu. Naresh yang terhenyak tentu saja kelabakan, apalagi saat Clara memasukkan lidah hangatnya, dan menyapu seluruh rongga mulut lekaki itu."Aku juga mencintaimu, Mas. Sangat mencintaimu. Aaahh ... kita akan memulainya lagi. Yeah, kau dan aku. Kita akan memulai lagi dari awal," ucap Clara saat baru saja melapas pagutannya."I-Itu artinya?""Kita tidak akan bercerai, karena kita saling mencinta. Bukankah tugas dua orang yang saling mencintai adalah saling menjaga? Kita juga saling menyayangi 'kan, Mas? Itu artinya kita harus bersama-sama melewati badai ini. Kita juga akan membuat Naresh junior dan Clara junior lagi," ujar Clara dengan suara lirih.Naresh sontak tergelak mendengarnya, tidak terasa air matanya juga menetes. Seluruh beban yang menghimpit dadanya beberapa saat lalu telah terangkat. Semua ketakutan akan perpisahan yang menghantuinya beberapa saat lalu juga tela
"Eugh ..."Clara melenguh sambil mengerjapkan kelopak matanya. Wanita cantik itu merasakan sesuatu yang berbeda pada area sensitifnya, sebuah sentuhan yang membuatnya sontak bergairah. Benar saja. Saat ia membuka lebar kelopak matanya, suami tampannya itu tengah bermain-main di puncak dadanya. Layaknya bayi yang kelaparan, lelaki tampan itu menyusu dengan begitu lahap."M-Mas ...""Kenapa, Cla?" tanya Naresh dengan masih terus menyusu di sana."Kamu nggak tidur?"Naresh menggeleng. Mulutnya masih penuh dengan buah kenyal itu, sementara tangan sebelahnya asyik memelintir buah stroberi ranum pada buah satunya."Aaaahh ...."Desahan itu tak dapat terelakkan. Clara sungguh menikmatinya, apalagi saat merasakan celana dalamnya lembab. Iris coklat itu menoleh ke arah meja, keningnya mengerut saat mendapati masih jam satu siang. Berarti dirinya hanya tidur tiga puluh menit."Mas, a-aku masih ngantuk," ujar Clara."Tidur saja, Cla. Kenapa malah bangan kalau masih ngantuk?""Aku mau pipis, mak
Matahari sudah tenggelam sepenuhnya di ujung barat, Naresh dan Clara baru saja keluar dari kamar lantaran pelayan yang memanggilnya atas perintah Anne. Ternyata wanita paruh baya itu sudah bersiap di meja makan."Mama ternyata sudah menunggu kita, Mas," ucap Clara saat hendak menuruni tangga."Memang sudah jamnya makan malam 'kan? Wajar kalau Mama menunggu kita.""Ih! Dasar nggak peka. Aku tuh nggak enak sama Mama," ucap Clara dengan berbisik."Kenapa memangnya?""Harusnya kita duluan yang hadir di meja makan, bukan malah Mama yang menunggu. Ini semua gara-gara kamu!"Naresh menoleh dengan pandangan tidak terima. Bisa-bisanya dirinya malah disalahkan."Kok malah aku?""Iya, lah. Kamu dari tadi nahan aku buat keluar, dan akhirnya kita telat 'kan? Sudahlah, aku mau turun duluan."Naresh masih melongo melihat Clara yang meninggalkannya seorang diri di sini. Lelaki itu menatap punggung istrinya yang semakin jauh dengan pandangan penuh tanda tanya.Memangnya apa salahnya? Bukankah Clara ta