Brak!
Tiba-tiba James menggebrak meja, hingga Elena tersentak kaget. Lantas pria itu menarik napas dalam-dalam.
“Haruskah kamu pergi?” tanya James, sepelan mungkin.
Elena mengernyitkan dahi. “Memang harus begitu, kan?” Dia tidak mengerti dengan maksud pertanyaan James.
“Kamu masih mempercayainya? Setelah apa yang dibilang Pak Carter?” James tidak menyerah. Dia memang tidak rela melepas Elena pergi.
Elena semakin bingung. “Dia masih suamiku, James. You know that. Dia juga memegang kendali penuh atas perusahaanku,”
“Aku akan mengeluarkanmu dari
Tawa James tergelak. Tabitha benar-benar bisa mengimbangi candaan sarkas yang keluar dari mulut James. Harus James akui jika Tabitha cukup kuat dan tangguh untuk menjadi seorang rival.“Kutebak, tujuanmu datang ke sini bukan hanya untuk menyapa sesama rekan di bidang hukum, kan?” James bicara asal.“Aku terlalu lama tinggal di rumah sakit jiwa hingga hilang kewarasanku sendiri. Aku sudah tidak tertarik bekerja di bidang hukum,” sahut Tabitha santai.“Lalu apa tujuanmu datang?” tanya James. Sorot matanya kini berubah lebih serius.Tabitha mengeluarkan amplop cokelat tebal dari tasnya dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan James. Amplop itu tampak berat dan penuh dengan dokumen. James menatap amplop tersebut dengan alis mengernyi
James otomatis mundur. Dia terdiam sejenak, terkejut mendengar pengakuan Tabitha. James tidak asing dengan nama Adrian Blackwood, meski tidak seterkenal Alexander."Adrian?" gumam James. Suaranya terdengar datar namun sebenarnya dia terkejut. "Adrian yang membebaskanmu dari rumah sakit jiwa?" ulangnya.Tabitha menatap James dengan bibirnya yang semula melengkung menjadi senyuman kecil yang penuh ironi. "Kau terkejut?”James mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya tajam menatap Tabitha. "Apa yang sebenarnya dia inginkan?"Tabitha mendesah pelan, lalu mengalihkan pandangannya. “Kamu tahu semua orang ingin menyingkirkan Alex. Aku tahu kamu pun juga,”James menggertakkan rahangnya. “Tidak ada urusannya denganku,”“Benarkah?” Tabitha tertawa menyindir. “Bukankah kamu tertarik pada istri mudanya itu?”Tabitha terdiam sejenak. "Dia tahu betapa aku menginginkan Sophia kembali. Adrian memberikan jaminan kalau aku bisa mendapatkan hak asuh atas putriku,”“Dia tidak akan menolongmu secara cuma-
Lidya terguncang hebat setelah Adrian memergokinya menguping. Dia memang sengaja melakukan itu, karena merasa pertemuan Adrian dan Tuan Thompson—di malam hari cukup aneh. Namun tidak pernah menyangka akan ketahuan.Nafasnya tersengal, bahkan ketika dia mencoba untuk tetap fokus menyetir mobil. Lidya tidak pernah melihat sorot mata Adrian seperti tadi. Sorot mata penuh kemarahan. Meski Adrian sering mengomelinya, namun tidak pernah menakutkan.Setelah memarkir mobil, Lidya bergegas masuk ke dalam gedung apartemen dan memencet pintu lift. Di tengah kecemasannya soal Adrian, Lidya juga teringat akan peristiwa malam itu di mansion Blackwood. Siapa yang membawaku ke dalam kamar itu?“Argh!” seru Lidya, memegangi kepalanya yang mendadak kesakitan ketika dia
Tabitha maju dengan langkahnya yang penuh percaya diri. Memandang Alex dan Elena secara bergantian. Bahkan dia sempat tersenyum miring, merasa menang karena berhasil membuat Alex dan Elena terkejut.Alex terus menyembunyikan Sophia di balik punggungnya. Sementara Elena berdiri dengan waspada.“Apa yang kamu lakukan, Alex? Aku datang ke sini untuk Sophia,” Tabitha tertawa menyindir melihat tingkah Alex yang begitu waspada.Tabitha dengan santai menarik salah satu kursi, dan duduk di sana. Dia memandang ke arah Sophia dengan tatapan lebih lembut.“Sayang, bagaimana kabarmu? Mama rindu sekali,” ucap Tabitha dengan mata berkaca-kaca.Namun Sophia tidak bergeming. Dia tetap bersembunyi di belakang punggung
Tabitha sudah pergi dengan mobilnya, tapi James masih di tempat. Dia berdiri di depan restoran tempat Elena dan Alex berada. Sesekali mengernyit merasakan sengatan sinar matahari siang.Semalam Elena sendiri yang menghubunginya mengajak bertemu. Tapi saat James menelepon, Elena justru menolak panggilan. Pria itu nekat datang ke mansion Blackwood demi melihat apa yang sebenarnya terjadi. Saat itulah dia melihat Tabitha dan memutuskan membuntuti gerak-gerik wanita itu.James mulai membuka ponsel dan memencet nomor Elena. Dia ingin memanggil wanita itu, meski tahu ada Alex di sisinya. James hanya ingin tahu reaksi Elena.***Sementara di dalam restoran, setelah berganti meja, Alex dan Elena bisa menikmati makan siang bersama Sophia dengan tenang. Anak itu memesan pasta alfredo dengan ayam panggang, hidangan favoritnya. Wajah Sophia tidak riang seperti sebelumnya. Namun anak itu sudah tidak lagi ketakutan.Jauh di lubuk hatinya, Elena sebenarnya kasihan akan Tabitha. Meski dia belum perna
“Lepaskan aku!” Elena memberontak, ketika dua pria tubuh besar yang mengangkatnya itu masuk ke dalam mansion.Vero berlari dengan wajah panik melihat kegaduhan itu. Dia buru-buru menyelamatkan Elena dan memerintahkan dua pria itu untuk keluar dari mansion sebelum Victoria dan Sophia sadar sesuatu sedang terjadi.“Nyonya, apa yang terjadi?” tanya Vero.Elena masih mengatur nafasnya yang kesal. Meski cukup lega karena pria itu membawanya pulang, namun cara yang dilakukan Alex tetap tidak bisa dia terima.“Vero, apa aku boleh meminjam ponselmu?”Vero mengerjapkan mata. Cukup kaget. “M-maaf … Nyonya?”“Cepatlah! Aku butuh ponselmu!” Elena mendesak dengan wajah panik.“Anda … bisa menggunakan telepon di rumah ini, Nyonya,”Elena menggeleng keras. Setelah sedikit mengumpat tak jelas, dia berlari naik ke lantai atas menuju kamarnya. Elena membanting pintu dengan keras, tak lupa menguncinya dari dalam.Dia sangat panik. Alex berhasil menyita ponselnya, dan bisa jadi pria itu membongkar segala
Adrian melangkah keluar dari ruang kerja Alex. Dengan langkah cepat, dia berjalan menuju lift yang sudah terbuka di ujung lorong. Ketika pintu lift mulai menutup, Adrian mempercepat langkah dan berhasil menyelinap masuk pada detik terakhir.Di dalam lift, berdiri seseorang yang tidak Adrian duga akan bertemu di tempat ini—Lidya.Lidya tampak sedikit gugup saat menyadari kehadiran Adrian. Matanya tertuju pada lantai, seolah berusaha untuk tidak menarik perhatian. Namun Adrian adalah pria yang peka. Dia bisa merasakan kegelisahan Lidya hanya dari bahasa tubuh yang canggung.“Well, apa kabar?” Adrian membuka percakapan, senyumnya samar namun dengan nada yang sedikit mengejek.Lidya terpaksa menoleh ke arah Adrian, meski masih dengan tatapan gugup. "Baik," jawabnya pendek, tak berani menatap langsung.Tentu saja Lidya sudah sepenuhnya ingat tentang kejadian pesta di mansion Blackwood. Dia ingat jika Adrianlah yang membopongnya. Dan kini mereka harus berhadapan, Lidya terlalu malu untuk me
Elena terkejut mendengar napas panjang dari Alex yang masih tertunduk sambil memeluknya seperti boneka. Ketika Elena mencoba untuk mengecek, Alex sudah memejamkan mata. Pria itu tertidur.Setelah percakapan panjang mereka—yang berakhir tak berujung pada akhirnya Alex lelah dan memutuskan untuk tidur sambil mendekap Elena.“Begini saja?” gumam Elena, lalu menghembuskan napas panjang.Elena tidak bisa bergerak, karena Alex mendekapnya dengan begitu erat. Dia tidak tahu apakah pria itu benar-benar terlelap, namun Elena tidak bisa melepaskan diri.“Kamu akan pergi lagi?” Tiba-tiba Alex membuka mata.“Lepaskan aku,” pinta Elena lirih.Alex mena
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi