Vero bergerak cekatan di dapur mansion Blackwood, mengatur segalanya dengan teliti. Perintah Victoria jelas. Makan malam keluarga ini harus sempurna. Dia mempersiapkan menu terbaik yang selalu menjadi favorit keluarga Blackwood.
Vero lantas mengarahkan para pelayan untuk menyusun meja makan di ruang makan utama. Setiap piring porselen dan serbet linen disusun rapi, dan bunga-bunga segar diletakkan di tengah meja sebagai hiasan. Vero tahu bahwa Victoria menginginkan kesempurnaan dalam setiap detail. Apalagi makan malam ini akan menjadi momen penting, mengumpulkan seluruh keluarga di bawah satu atap.
"Jangan lupa anggur merah yang Nyonya Victoria minta," Vero mengingatkan salah satu pelayan muda sambil mengawasi sisi lain dengan ketat.
Sebagai kepala pelayan yang berpengalaman, dia tahu tugasnya adalah memastikan sega
Tabitha muncul tiba-tiba menyerang Elena dengan wajah penuh amarah. Bibirnya menyeringai sinis, dan tatapannya begitu tajam.“Kamu harusnya sudah pergi!” desis Tabitha, mencengkeram kuat lengan Elena. “Aku sudah memberimu peringatan. Tapi kamu masih di sini, tetap di sisinya,”Elena meronta dan berusaha melepaskan diri. Namun cengkeraman Tabitha kelewat kuat. “Lepaskan aku!”Tabitha tertawa dingin. “Dia akan menghancurkanmu, seperti dia menghancurkanku,” Nada bicara Tabitha penuh dendam.Wajah Tabitha begitu dekat hingga Elena bisa merasakan napasnya yang memburu.“Apa maksudmu?” Di sela-sela ketegangan, Elena mencoba memancing Tabitha. Sekaligus dia ingi
Tak lama, David mengetuk pintu dan Alex terpaksa menjauh dari Elena. Setelah Alex mengizinkan David untuk masuk, pria itu membuka pintu bersama seorang perawat laki-laki. Dia tampak seperti dokter, namun David memperkenalkannya sebagai seorang perawat.Perawat yang dibawa David itu dengan cekatan segera membersihkan luka di lengan Alex. Menjahit luka yang menganga, namun Alex tidak bereaksi. Padahal Elena sampai memalingkan muka karena ngilu melihatnya.“Anda harus mengoleskan salep ini dan minum antibiotik, Tuan Alex,” ujar sang perawat setelah selesai mengurus luka Alex.Alex melirik ke arah Elena. “Kamu dengar itu?” tanyanya.Elena mengerjapkan mata, tak menyangka Alex akan mengajaknya bicara. Dengan gelagapan Elena menjawab dan perawat itu sek
Tabitha dibawa kembali ke rumah sakit jiwa dengan pengamanan ketat. Mobil hitam yang mengangkutnya melaju tanpa suara di jalanan malam yang sepi. Sementara Tabitha duduk di belakang, diapit oleh dua penjaga yang tak berkata sepatah kata pun. Tatapan Tabitha kosong, tapi sesekali bibirnya bergerak mengumpati Victoria dan Alex bergantian.Setibanya di rumah sakit, mereka langsung mengarahkan Tabitha ke bagian terisolasi di sana. Sebuah ruangan tertutup yang jauh dari pasien lain. Ruangan itu kecil, tanpa jendela, dan dindingnya dilapisi dengan bantalan putih tebal. Cahaya di dalamnya redup, hanya sebuah lampu kecil di sudut langit-langit yang menyinari ruang itu. Tabitha diturunkan di sana dengan paksa, tanpa banyak kata.“Kamu tega melakukan ini padaku?” desis Tabitha pada seorang perawat yang hendak menutup pintu. Sepertinya Tabitha mengenal perawat
Atas bantuan Adrian, akhirnya Tabitha bisa keluar dari rumah sakit jiwa itu. Dia mengernyitkan dahi merasakan teriknya matahari siang ini. Lantas menarik napas dalam-dalam, merasa sesak di dadanya menghilang tiba-tiba.Di depan gerbang, mobil hitam telah menunggu. Adrian sudah berdiri di samping pintu mobil itu, wajahnya tanpa ekspresi. Ketika Tabitha berjalan pelan mendekatinya, tangan Adrian otomatis membuka pintu belakang untuk Tabitha.“Masuk,” ucap Adrian datar, nyaris tanpa emosi.Tabitha tidak berkata apa-apa. Dia hanya melirik Adrian sebelum masuk ke dalam mobil. Mesin mobil menderu lembut saat Adrian mulai melaju keluar dari halaman rumah sakit. Diam-diam Tabitha memandang ke luar jendela, melihat bayangan rumah sakit yang semakin menjauh dari cermin. Tidak ada rasa penyesalan. Dia merasa akhirn
Victoria duduk di salah satu kursi ruang makan sambil mengetukkan jemarinya di meja. Suasana hatinya sedang tidak tenang sepanjang hari ini. Bahkan secangkir teh bunga krisan kesukaannya pun juga tidak tersentuh.“Alex!” seru Victoria, menyadari kehadiran Alex ke ruang makan. “Kamu kemana saja seharian ini?”“Tentu saja bekerja,” jawab Alex tidak antusias. Dia sengaja datang ke ruang makan karena ingin mencari Elena, namun tidak ditemukan. “Apa Mama melihat Elena?”“Pentingkah?” Victoria menyahut dengan ketus. “Ada hal yang lebih penting dari istrimu itu!”Victoria berjalan mendekati Alex dengan cepat. Tampak raut tegang di wajahnya, seakan menyembunyikan sebuah kabar menghebohkan yang bisa saja memb
Adrian terdiam sejenak, tatapannya bergetar saat pistol itu diarahkan ke dahinya. Ruangan yang sebelumnya tegang kini terasa semakin sesak."Alex, kau tidak perlu melakukan ini," kata Adrian, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.“Apa tujuanmu membawa Sophia ke ibunya?” Alex menyeringai, kemarahannya membara.Suasana menjadi tegang, seakan tidak ada yang berani untuk sekedar bernapas.Adrian berusaha mempertahankan posisinya. “Dia berhak untuk bertemu ibunya,”“Dan kau menganggap tindakan bodoh ini bisa membantunya?” Alex mendesak, tetap mengacungkan pistol di hadapan kepala Adrian. “Aku tidak akan membiarkan siapapun, termasuk kau mengancam keselamatan Soph
“Kenapa tidak diangkat?” tambah Alex, sadar gelagat Elena mencurigakan.Elena buru-buru mematikan ponsel. Sialan. Umpat Elena dalam hati. Mengutuk James karena menelepon di saat yang tidak tepat.“Hanya spam,” Elena meletakkan kembali ponselnya. “Nomor luar negeri,”Namun Alex tidak percaya itu. Dia diam dengan mata seolah tidak berkedip saat memandang Elena.“Alex, sebaiknya kamu kembali ke kamarmu,” seru Elena, lantas berdiri. Dengan isyarat tangan dia mengusir Alex secara halus.Alex justru duduk di ranja
Setelah selesai bekerja, James melangkah menuju restoran yang biasa dia kunjungi bersama Elena. Le Jardin, restoran yang mereka pilih itu selalu tenang, tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ketika James tiba, Elena sudah duduk di meja yang biasa mereka tempati, matanya terlihat gelisah. Elena tahu ada sesuatu yang harus dibicarakan, namun tidak tahu apa yang akan James sampaikan.“Ada apa denganmu tadi siang?” cecar Elena, bahkan James belum sempat duduk.“Ada apa?” James pura-pura tidak paham.“Kamu bicara sendiri. Memukuli kepalamu seperti orang gila,” Elena memutar bola mata, mencoba mengingat tingkah aneh James tadi siang.Saat jam istirahat siang, Elena memang menyempatkan diri untuk datang menemui James di kantor detektif itu. Namu
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi