"Gimana, Vi? Belum bisa?"Wajah Via memucat. Sedari tadi dia memasukkan password-nya, tapi belum juga berhasil. Ya, dia meminjam ponsel bu Rita untuk membuka aplikasi biru tersebut. Satu-satunya jalan yang bisa dia lakukan. Karena untuk nomor, Via lupa semua. Meski dia sebenarnya sangsi Fadil akan membuka aplikasi biru tersebut. Karena aplikasi itu sekarang kurang diminati oleh kalangan anak muda-dewasa. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu cara yang bisa dia coba. Sayangnya, sedari tadi dia memasukkan password, tetap saja belum bisa. Terhitung sudah hampir sepuluh kali, dan semuanya password salah."Arrh!" Via frustasi. Dadanya yang sesak karena gejolak emosinya, semakin menjadi. Perempuan itu menelungkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Menumpu ke paha. Menangis terisak.Rita yang paham, menyuruh anaknya untuk bermain dengan teman sebayanya di luar."Kenapa mas Rendi jahat padaku, bu? Aku salah apa padanya?" adunya disela isakan. Rita menepuk pundak Via. Mengela napas. Keluarga it
Sesuai yang disarankan bu Rita, aku harus memulai aksiku. Ku selesaikan pekerjaan wajib di rumah ini. Mama masih mendiamkanku. Mungkin dia masih kesal dengan kejadian uangnya yang hilang itu, yang membuat mbak Helen mengomelinya. Syukurlah, setidaknya aku terbebas beberapa saat dari omelannya."Awas kamu, perempuan sialan. Aku pasti akan membuktikan kalau kamu malingnya," sungut mama saat berpapasan denganku. Aku menggendikkan bahu, tak peduli. Lagipula, dengan cara apa mama akan membuktikannya? Kejadian itu sudah lumayan lama. Tidak ada cctv, atau kamera perekam lainnya. Dan lagi, aku juga tidak pernah mengambil uang mama lagi untuk belanja. Sudah ada mas Rendi yang mengurusnya. Dia yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga."Mas Rendi tidak ke Tangerang lagi?" tanyaku memijit lengannya. "Kau ingin aku pergi, Vi?" tanyanya dengan raut kecewa."Em, bukan begitu. Tapi ..." aku sengaja menggantungkan kalimatku. Aku taksir, mas Rendi akan mengira aku pasti berkeinginan mengikuti dia k
Ku lihat mbak Helen bergegas masuk. Memeriksa bunyi yang membuatnya curiga tadi. Sembari menahan napas seiring jantung yang berdegup kencang."Meaow."Langkah mbak Helen terhenti. Menatap galak kucing hitam yang mengeong. Duagh! Aku hampir memekik. Mbak Helen menendang kucing tak bersalah itu."Kucing sialan! Mengganggu saja. Minggir sana!"Kucing malang itu lari terbirit-birit. Maafkan aku kucing, kamu menjadi korban padahal tidak melakukan apa-apa.Mbak Helen masih mengomel. Jelas saja dia juga deg-degan mendengar suara benturan tadi. Kalau sampai yang tahu rencana liciknya itu mas Rendi, dia bisa habis. Kini wanita licik itu kembali ke kamarnya. Aku menyeringai miring. Ah, malang sekali nasib mas Rendi. Mempertahankan mbak Helen, padahal mbak Helen hanya mengincar hartanya saja.Sepertinya permainan akan semakin seru...Ku kembangkan usaha kue lebih maju lagi. Kami membeli ruko khusus di kota kecamatan dengan tema kue unik tradisional. Mengurusnya berempat pastinya. Kami sampai
Via, namaku. Gadis dua puluh satu tahun yang membiayai kuliahnya sambil bekerja di rumah makan Padang di kota ini. Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu, karena itu segala macam pekerjaaan ku lakoni demi kelangsungan pendidikanku dibangku kuliah. Sesekali aku juga mengambil pesanan kue-kue untuk acara. Yang tentu saja kukerjakan setelah pulang dari bekerja di rumah makan. Capek memang. Pagi berangkat kuliah, langsung kerumah makan. Dan setelah lelahnya bekerja, terkadang harus membuatkan pesanan. Di rumah makan ini juga, pertama kali aku bertemu dengan mas Rendi. Seorang pria rupawan nan baik hati. Dia sering berkunjung kerumah makan tempatku bekerja sekedar untuk makan. Dari yang aku tahu, dia adalah pria sukses. Dia selalu memakai setelan jas rapi, layaknya pria kantoran. Dia selalu melihatku dan menyapaku yang sedang bekerja dengan seulas senyum manisnya. Dan itu juga yang membuat hatiku bergetar, grogi. Bahkan tak sungkan ia memberi pujian padaku, setiap kali mengantar pes
"Kamu yakin Vi, sama keputusanmu?" Fadil menatapku tak percaya. Aku mengangguk. Aku baru saja mengatakan padanya untuk berhenti kuliah. Dan lihatalah reaksi sahabatku ini, dia kaget? Tentu saja. Tapi kubiarkan saja dia dengan pikirannya. Aku memilih menatap langit bertabur bintang yang rasanya lebih indah dari malam-malam kemarin. Seulas senyum terbit di bibirku. Ah, semenjak mas Rendi melamarku, dunia rasanya semakin berwarna."Karena apa?" Pertanyaan Fadil menghentikan lamunanku. Aku menoleh, nada suaranya terasa berbeda.Dari sorot matanya, aku rasa dia kecewa dengan keputusanku untuk drop out dari kampus. Tanganku meraih kaleng minuman dingin yang sedari tadi menemani obrolan kita.Pemuda disampingku ini tertegun. Menatapku lama, tatapan yang sebenarnya sempat menggetarkan hatiku. Tapi itu dulu ya, aku sadar diri, perbedaan kita terlalu jauh. Dia berasal dari keluarga yang kaya, terhormat, dan ... pokoknya segalanya deh. Dan aku? Hmm, hanya sebatas gadis yang sering terseok-seok m
Singkat cerita, aku dan mas Rendi resmi menikah. Sayangnya, kata mas Rendi orang tuanya tidak bisa datang. Aku memakluminya. Karena memang jarak yang sangat jauh.Sama sepertiku, mas Rendi juga merupakan perantau. Aku di ujung selatan pulau Sumatera, sedangkan mas Rendi berasal dari ujung pulau Jawa. Kami bertemu di sebuah kota di Jawa Barat.Untuk akad nikahnya, kami mengadakan di kediamanku. Dan selama seminggu, mas Rendi izin cuti dari kerjanya.Kini, setelah menikah, aku ikut ke mes, tempat tinggal mas Rendi selama bekerja."Vi, Bulan depan kita pulang ya," ajak mas Rendi."Maksud mas kerumah orang tua mas Rendi?" Mas Rendi mengangguk.Aku melonjak senang. Akhirnya, aku akan bertemu dengan mertuaku juga. Tapi degdeg-an juga sih, ada perasaan khawatir. Bagaimana jika mereka kurang menerima kedatanganku? Apalagi, aku sering mendengar cerita dari teman-teman perempuan di mes. Katanya mereka lebih memilih tinggal di mes daripada bersama mertua. Tapi tetap saja, aku ingin bertemu mertu
"Mas, tolong jelasin. Apa maksud semua ini?" Aku menginterogasi mas Rendi setelah kami dikamar kami. Mas Rendi menghela napas. Tadi hampir saja terjadi perang, bahkan wanita itu berhasil menampar pipiku, dan mengataiku 'pelakor', 'wanita sialan', dan kata kata berisi makian kotor lainnya, sebelum kemudian akhirnya mas Rendi mengalihkanku ke kamar. Sementara ibu dan wanita tadi berteriak teriak marah dan memaki maki dari luar. Aku sedikit banyak sudah dapat meraba apa yang terjadi. Mas Rendi sudah beristri. Jadi aku pelakor?Aku memegang kepalaku yang mendadak terasa berat. Kejutan? hah! kamu sudah berhasil memberi kejutan untukku mas. Tapi aku harus mendengar langsung dari mulutmu langsung."Bukankah aku sudah bilang berkali kali Vi. Jangan kaget jika yang terjadi tidak sesuai dengan bayanganmu.""Tapi kan gak gini juga mas,""Benar, bukan ini yang aku bayangkan. Khayalanku salah total. Aku kira aku akan mendapat sambutan hangat. Tapi nyatanya apa ...." Aku terisak. Sesak sekali dada
Efek kelelahan karena perjalanan dan menangis tadi membuatku terbangun jelang malam. Aku keluar dengan mata yang masih sembab, dan kepala sedikit pusing. Aku membuka pintu kamar, dan berjalan kebelakang untuk membasuh wajah.Namun, ternyata dimeja makan mereka sudah berkumpul. Aku memaksakan mengulas senyum, meski hanya mendapat tatapan tak mengenakan dari mereka."Jadi wanita pemalas seperti ini yang kamu nikahi, Ren. Jam segini baru bangun, huh!" Aku tersenyum tipis. Meski sebenarnya sakit sekali."Sudahlah ma, bagaimanapun juga dia istri Rendi.""Lalu aku kamu anggap apa, Mas?" Istri pertamanya yang sedari tadi diam mulai mengeluarkan kembali unek uneknya. Nada bicaranya cukup menusuk."Kamu tetap istriku Helen. Apa kamu lupa?" jawab mas Rendi dingin.Wanita yang dipanggil Helen itu mendengus. Wajahnya memerah. Menatapku tajam, sebelum akhirnya membuang mukanya kembali."Sudah, cuci muka dulu Vi. Nanti kesini lagi, makan malam," perintah mas Rendi. Aku mengangguk . Meski merasa be
Ku lihat mbak Helen bergegas masuk. Memeriksa bunyi yang membuatnya curiga tadi. Sembari menahan napas seiring jantung yang berdegup kencang."Meaow."Langkah mbak Helen terhenti. Menatap galak kucing hitam yang mengeong. Duagh! Aku hampir memekik. Mbak Helen menendang kucing tak bersalah itu."Kucing sialan! Mengganggu saja. Minggir sana!"Kucing malang itu lari terbirit-birit. Maafkan aku kucing, kamu menjadi korban padahal tidak melakukan apa-apa.Mbak Helen masih mengomel. Jelas saja dia juga deg-degan mendengar suara benturan tadi. Kalau sampai yang tahu rencana liciknya itu mas Rendi, dia bisa habis. Kini wanita licik itu kembali ke kamarnya. Aku menyeringai miring. Ah, malang sekali nasib mas Rendi. Mempertahankan mbak Helen, padahal mbak Helen hanya mengincar hartanya saja.Sepertinya permainan akan semakin seru...Ku kembangkan usaha kue lebih maju lagi. Kami membeli ruko khusus di kota kecamatan dengan tema kue unik tradisional. Mengurusnya berempat pastinya. Kami sampai
Sesuai yang disarankan bu Rita, aku harus memulai aksiku. Ku selesaikan pekerjaan wajib di rumah ini. Mama masih mendiamkanku. Mungkin dia masih kesal dengan kejadian uangnya yang hilang itu, yang membuat mbak Helen mengomelinya. Syukurlah, setidaknya aku terbebas beberapa saat dari omelannya."Awas kamu, perempuan sialan. Aku pasti akan membuktikan kalau kamu malingnya," sungut mama saat berpapasan denganku. Aku menggendikkan bahu, tak peduli. Lagipula, dengan cara apa mama akan membuktikannya? Kejadian itu sudah lumayan lama. Tidak ada cctv, atau kamera perekam lainnya. Dan lagi, aku juga tidak pernah mengambil uang mama lagi untuk belanja. Sudah ada mas Rendi yang mengurusnya. Dia yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga."Mas Rendi tidak ke Tangerang lagi?" tanyaku memijit lengannya. "Kau ingin aku pergi, Vi?" tanyanya dengan raut kecewa."Em, bukan begitu. Tapi ..." aku sengaja menggantungkan kalimatku. Aku taksir, mas Rendi akan mengira aku pasti berkeinginan mengikuti dia k
"Gimana, Vi? Belum bisa?"Wajah Via memucat. Sedari tadi dia memasukkan password-nya, tapi belum juga berhasil. Ya, dia meminjam ponsel bu Rita untuk membuka aplikasi biru tersebut. Satu-satunya jalan yang bisa dia lakukan. Karena untuk nomor, Via lupa semua. Meski dia sebenarnya sangsi Fadil akan membuka aplikasi biru tersebut. Karena aplikasi itu sekarang kurang diminati oleh kalangan anak muda-dewasa. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu cara yang bisa dia coba. Sayangnya, sedari tadi dia memasukkan password, tetap saja belum bisa. Terhitung sudah hampir sepuluh kali, dan semuanya password salah."Arrh!" Via frustasi. Dadanya yang sesak karena gejolak emosinya, semakin menjadi. Perempuan itu menelungkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Menumpu ke paha. Menangis terisak.Rita yang paham, menyuruh anaknya untuk bermain dengan teman sebayanya di luar."Kenapa mas Rendi jahat padaku, bu? Aku salah apa padanya?" adunya disela isakan. Rita menepuk pundak Via. Mengela napas. Keluarga it
Aku meletakkan ponsel itu gugup."I-itu tadi, a-ada pesan, Mas."Mas Rendi menatapku tajam. Berjalan ke arahku. Kurasakan hawa menegangkan yang menakutkan. Meraih ponsel itu kasar."Kau tahu, aku tidak suka ada yang menyentuh barang pribadiku."Aku mengangguk samar. "M-maaf, Mas."Mas Rendi langsung memeriksa ponselnya. Untung saja pesan baru tadi belum kubuka. Semoga saja mas Rendi tidak curiga padaku. Untung juga aku sempat menekan tombol keluar, kembali ke halaman beranda.Pria berstatus suamiku itu menatapku menelisik. Sementara aku meremat jemari tanpa sadar. Gugup, juga takut. "M-maaf, mas. Aku tadi sedang tiduran. Dan, terasa ada yang bergetar di bawah bantal. Jadi, aku periksa. Ternyata, itu ponsel mas Rendi."Pria itu justru mendekatkan wajahnya ke arahku. Netranya menusuk tajam netraku. Posisi yang menambah kegugupanku semakin menjadi. Aku menunduk takut."Mas maafkan. Tapi lain kali jangan begitu ya?" Sebuah usapan lembut mendarat di puncak kepalaku. Aku terperangah, mena
Pintu terbuka. Sontak aku menoleh. Mas Rendi masuk dengan penampilan acak-acakan. Senyum lebar masih tersungging di bibirnya, bahkan dia kini bersiul-siul riang. Sepertinya dia belum sadar ada aku di kamar.Kuperhatikan pria yang beberapa bulan menjadikanku makmumnya itu. Sepertinya dia hendak mandi. Mengambil pakaian di lemari dengan sekali tarik. Akibatnya, pakaian yang semula tertata rapi itu kembali berantakan. Aku menahan napas. Antara kesal karena merasa terhianati, juga karena cara mengambil pakaian yang membuat berantakan itu."Bisa tolong lebih rapi mengambil pakaiannya, Mas."Mas Rendi terkejut. Handuk yang hendak dia sampirkan di bahu terjatuh. "Vi-Via ...." desisnya kaget. Aku tak menyahut. Menghampiri lemari, dan menata pakaian yang berantakan."Se-sejak kapan kamu pulang?" "Hmm. Sudah lumayan," sahutku datar. Mas Rendi melotot."Kapan?""Gak tahu. Gak lihat jam."Tak butuh lama untuk merapikan. Untung saja belum terlambat. Jadi aku bisa langsung membenahi kekacauan yang
Aku terkejut dengan suara tamparan yang keras itu, wanita yang bernama Tinah itu apalagi. Bu Dita menabok mulutnya keras sekali. Wanita itu sampai mematung di tempat. Wajahnya merah padam, marah, juga tak menduga. Ucapan pedasnya terhenti begitu saja. Keterkejutanku buyar saat bu Dita menarik tanganku."Ayo, Vi. Cepat, pergi." Melangkahkan kakinya, menaiki motor. Aku mengikutinya gugup. Dengan gerakan cepat, bu Dita menyalakan motor dan menancap gas. Brum!Motor melaju kencang."Woy! Tunggu kalian, sialan!"Wanita bernama Tinah itu mencak-mencak. Jelas saja dia marah sekali. Mungkin kalau dia tidak sempat mematung tadi, kami sudah habis dihajarnya. Aku sempat menoleh, bu Tinah dikerubungi tetangganya yang tadi berkutat di dapur. Telunjuk bu Tinah menunjuk-nunjuk ke arah kami. Wajahnya merah padam.Kami sudah jauh. Aku mengembuskan napas. Antara lega, juga khawatir."Apa tidak apa-apa, Bu Dita? Bagaimana kalau ibu tadi melabrak kita?" tanyaku khawatir."Halah! Biarin saja. Emang dasar
Rupanya, wanita itu penasaran identitasku. Aku mengulas senyum ramah. Mengangguk tipis."Saya ....""Adikku ini, Tin." Bu Dita menyela ucapanku. Memberi kode lewat kedipan matanya padaku. Seakan melarangku menjelaskan siapa diriku. "Mosok toh, Yu? Kayaknya kamu ndak ada adik. Kang Yono juga setahuku anak tunggal tuh."Bu Dita kelimpungan. Menyadari fakta tersebut. "Oo, itu ...""Apa, kamu istri barunya Rendi ya? Bener kan? Kayaknya di Sri Rahayu orang baru itu ya cuma istri barunya Rendi. Tapi sayangnya aku belum tahu wajahnya seperti apa. Jangan-jangan itu kamu." wanita itu kembali menyela. Menatapku dengan senyum yang menurutku seperti disengaja. Terlanjur basah, sepertinya wanita ini aslinya tahu siapa diriku, hanya berpura-pura saja."Iya, benar. Saya istrinya mas Rendi." Sudah terlanjur. Wanita ini juga aslinya sudah tahu. Bu Dita melotot. Menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum, maksudku, tidak masalah. Daripada berbohong juga percuma."Oo. Pantas saja. Soalnya, kamu asing. Saya
Pagi sekali, aku sudah bersiap. Segera ke dapur, memasak, dan tugas rumah lainnya. Menyapu halaman, mencuci baju, juga menjemurnya sekalian. Setelah itu, segera sarapan dan mandi."Kau mau kemana, Vi?"Mas Rendi baru bangun tidur. Wajah bengap dan mata sipit khas bangun tidur. Menatapku yang tengah berdandan dengan tatapan sayup-sayup."Aku mau ke rumah bu Rita, Mas.""Hmm. Ngapain? Kau sudah kenal ibu-ibu tetangga sini juga?"Aku mengangguk tipis. Tapi tidak menjawab pertanyaan pertamanya. "Aku sebatang kara disini, Mas. Kalau tidak bergaul dengan tetangga, nanti malah tidak ada kenalan dong."Pria itu mengangguk. "Tidak apa-apa. Yang penting jaga diri saja. Jangan terlalu menaruh kepercayaan sembarangan. Apa yang kamu dengar, belum tentu benar."Aku mengangguk lagi. "Iya, Mas. Via tahu kok." Aku sudah selesai berdandan. Sementara mas Rendi masih goleran diatas ranjang. "Via sudah siapkan makanan di meja, Mas. Tinggal sarapan.""Hmm. Makasih, Vi."Aku mengela napas. Timbul perasaan
"Ah, pantas saja, aku hubungi tidak bisa. Ponselmu hilang?"Raut wajahku berubah. Bingung."Loh, bukannya, kamu yang membawanya, Mas?" "Enggak. Pagi itu aku buru-buru berangkat karena info dadakan dari boss. Makanya gak sempat pamitan sama kamu. Tapi sebelumnya aku berpesan sama Helen supaya bilang sama kamu. Pas di jalan, aku nelpon nomormu berkali-kali. Tapi gak aktif. Aku kira masih di charge, atau mati. Ah, pantas saja setelah itu, mas telpon juga tetep gak bisa. Mas pikir, kamu marah sama mas, terus nomor mas kamu blokir. Jadi, ponsel kamu hilang?"Aku mengangguk. Bingung. Tapi bagaimana bisa hilang? Hanya dalam waktu satu malam saja."Apa mungkin, mbak Helen yang mengambilnya?" tebakku. Mas Rendi menggeleng."Sepertinya tidak. Meski Helen omongannya pedas, tapi dia bukan orang yang suka mengambil barang orang lain.""K-kalau begitu, ponselku ...." ucapanku tercekat. Rasanya posisi kini membuatku berada dalam kebimbangan.Mas Rendi kembali memel