"Apa apaan ini, kenapa njemurnya gak sekalian? Mentang mentang ini bajuku semua. Kamu mau menyuruh orang tua ini menjemur pakaiannya sendiri? Hah!""Bukan gitu, Bu, aku ...""Halah alesan. Bilang saja kamu pemalas. Tidak ada hormat hormatnya sama sekali sama orang tua."Aku memejamkan mata mendengar omelannya. Menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Rasanya kepalaku pening mendengar ocehan seperti ini."Sabar," desisku lirih. Aku mengecilkan setrika. Dan keluar."Kerja tuh yang bener. Kerja kok setengah setengah!" Aku diam saja mendengar omelan ibu. Lalu mengambil baju satu persatu dan menjemurnya. Mengabaikan ocehannya yang mungkin sudah sepanjang sungai Nil di Mesir san. Aku menulikan telingaku. Sesekali tuli untuk hal yang gak penting juga perlu kan?"Dasar pemalas," ujarnya yang sempat mampir ditelingaku. Aku memeras baju kuat kuat. Menahan emosi. "Yang pemalas itu, menantu pertamamu. Bukan aku." Aku menggerutu, kesal."Eh eh, bilang apa kamu tadi?"Aku menoleh. Terperanjat
"Ma, aku ikutan arisan ibu-ibu kompleks ya. Boleh, kan?" Aku bertanya ketika makan malam tiba. Ya, tadi aku selintas dengar mereka sedang membahas arisan yang akan dimulai sebentar lagi. Lumayan kan, siapa tahu dari situ aku lebih banyak mengenal ibu-ibu disini. Rasanya membosankan tidak ada yang dikenal. Satu-satunya yang kukenal dekat hanya mas Rendi. Tapi dianya malah entah kemana."Buat apa? Ngabisin duit aja kamu tuh, pake ikutan arisan segala." Cueknya dengan masih setia melahap makanannya."Gak ngabisin duit kok, Ma. Arisan kan sama saja nabung. Lagipula mungkin dari ikut arisan Via punya banyak teman.""Biar apa? Biar mereka tahu kalau kamu itu pelakor?" Mbak Helen menyolot, menyentakkan sendoknya kepiring. Lirikannya menatapku julid."Gak mbak. Aku bukan pelakor. Aku juga istri sahnya mas Rendi. Aku kan tahu kalau sebelumnya mas Rendi sudah pernah menikah. Kalau tahu, ya mungkin gak begini kejadiannya.""Halah! Jadi pelakor pun masih gak mau ngaku j
"Uh, cantiknya anak mama." Mbak Helen tersenyum puas. Melenggokkan tubuhnya, berpose ala model. Dan tertawa-tawa dengan mama.Dari dapur aku mencuri-curi pandang. Mbak Helen terlihat modis dengan dress pendek diatas lutut warna merah, tas merah, sepatu merah dan lipstik merah menyala. Semua serba merah. Tak lupa dengan aksesoris anting, kalung dan gelang ditangannya. Rambut pirang bergelombangnya dibiarkan tergerai.Aku menatap kagum. Cantik sekali. Cocok dengan kulit putihnya yang nampak berkilau. Beda denganku yang kumal dan selalu berkutat dengan urusan dapur, ditambah lagi malas skincare-an. Bukan malas sebenarnya, tapi gak ada waktu dan uang."Udah, Ma.Helen berangkat dulu.""Iya sayang. Hati-hati." Mama mencium pipi kanan-kirinya mbak Helen. Mbak Helen melangkah anggun dan sebelumnya melambai ke mama. Aku mendecak kagum. Bahkan langkahnya terlihat elegan. Mas Rendi sudah punya istri secantik mbak Helen kenapa masih menikahiku
"Hati hati, Ma." Aku mendudukkan mama dipinggir ranjangnya. Mama meringis kesakitan. Jelas saja, jatuhnya tadi keras sekali. Pasti sakit tuh pantat.Sebenarnya dalam hati aku ingin menertawakan. Senjata makan tuan. Aku sudah menduga, mamalah yang sengaja menumpahkan deterjen cair itu kelantai, supaya aku yang terpeleset. Tapi mungkin karena dia lupa, malah terkena sendiri."Mama tunggu sebentar, ya," lalu ke kamar. Mengambil balsam di laci lemariku, dan kembali lagi ke kamar mama. Mama meringis kesakitan. Diam-diam aku mengulum senyum tipis. Maaf, bukan durhaka. Hanya saja menertawakan nasib mama yang salah sasaran. Aku berjongkok, memijit pergelangan kaki mama yang sebelah kanan."Aw! Pelan-pelan Via. Kamu sengaja ya, biar mama kesakitan kan?" omelnya kesal."Gak, Ma. Via cuma pelan kok. Ini udah hati-hati banget loh. Keseleonya parah kali, Ma. Makanya mama kesakitan." "Masak sih, masak gitu aja sampek parah?" ujarnya tak percaya.
"Gak bisa, Ma. Mereka sudah nunggu lama""Kamu berani mbantah mama ya, baru saja dimintai tolong belagu." Bahkan dalam keadaan sakit juga masih egois. Aku menggeleng kepala. Heran.Mama mulai mengangis. Ya tuhan, inikah sisi lain dari mama yang galak itu."Ibunya kenapa mbak?" Seorang ibu mencolek pundaknya."Keseleo bu.""Oh." Ibu itu manggut-manggut. Meski tatapannya masih heran. Mungkin bingung, cuma keseleo tapi bisa sehisteris itu. Anaknya yang masih berusia sekitar 5 tahun itu bahkan melihat mama tak berkedip.Akhirnya, setelah bosan mendengar mama yang menangis meraung-raung, tiba juga giliran kami periksa. Sebenarnya nomor antrian itu sengaja aku berbohong. Hanya untuk mengerjai mama saja. Aku memapah mama untuk masuk keruang dokter."Dokter, tolong saya. Huhu..."Aku menepuk dahi."Iya bu, tenang dulu. Apa keluhan sakit yang ibu rasakan?""Kaki saya keseleo dok, tolonglah, obati, tapi jangan sampai dipoto
Pigura pernikahan tadi menggangguku. Aku semakin penasaran dengan dengan yang terjadi pada keluarga ini. Rasanya penuh misteri.Diam-diam, saat mama sudah tidur, aku keluar. Awalnya aku tidak tahu, kemana harus mencari informasi. Tapi, sepertinya nasib baik berpihak padaku. Aku bertemu dengan ibu-ibu yang waktu itu. Samar-samar kuingat namanya, selain bu Dita tentu saja. Ada diantaranya bu Sita dan bu Rita."Eh, Vi! Sini, metis bareng-bareng." bu Dita yang melihat keberadaanku melambaikan tangan, memanggil. Kuulas senyum dan menghampiri mereka, ikut bergabung, meski rasanya masih canggung."Ibu peri mana? Kok gak kelihatan?" tukas bu Dita. Aku mengerutkan dahi."Itu loh, mertuamu. Kemana dia?" jelas wanita yang kuingat namanya Rita."Ah, itu ... Mama sakit, Bu," kuulas senyum."Sakit apa?" "Keseleo. Tadi pagi jatuh."Ketiga ibu-ibu itu saling lirik."Kasian sekali." Hanya itu reaksi mereka."Ayo, dimakan lutisnya. Keburu habis
"Helen? Tidak. Dewi itu ibunya Helen."Oh, pantas saja. Mama begitu menyayangi mbak Helen. Kalau begitu, mas Rendi yang yatim piatu. Tapi, kenapa waktu itu dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Malah, mas Rendi bilang, keluarganya sedang sibuk sehingga tidak bisa datang. Atau, memang keluarga yang dia maksud itu ya istri dan mertuanya. Aku kembali merutuki kebodohanku yang kurang teliti. Rasanya menyakitkan sekali. Tertipu untuk kesekian kalinya."Jangan-jangan kamu mengira kalau Dewi itu ibunya Rendi, ya, Vi?"Aku mengangguk."Rendi benar-benar ... Tega sekali dia menipu gadis sepolos kamu, Vi. Mentang-mentang yang gadis belum pengalaman, enak saja dia main tipu," gerutu bu Rita emosi. Mengoret-oret lemper sebagai pelampiasan. Mulutnya yang kepedasan semakin tersengal. "Pokoknya gak usah nurutin Helen sama mamanya. Mereka bukan siapa-siapamu. Jangan mau kalau disuruh ngepel, nyapu, apalagi nyuciin baju mereka. Jangan mau. Gak sudi, gitu! Emangnya
Aku masih penasaran, dimana gerangan ponselku? Mana mungkin bisa hilang begitu saja. Sementara, disini juga aku jarang keluar. Kecurigaanku terarah pada mas Rendi. Apa mungkin dia yang mengambilnya? Arh! Rasanya ingin aku maki pria itu. Setelah menikahiku, dan membawa ke tempat jauh ini, dia tega meninggalkan aku bersama madu dan ibunya."Heh! Via. Bangun!"Suara mbak Helen. Ku lirik jam dinding. Pantas saja, sudah setengah tujuh. Biasanya, jam segini aku sudah menyiapkan sarapan untuk mereka. Tapi, karena aku lebih memilih mencari ponselku, aku sama sekali belum keluar dari kamar. Seandainya, aku ingat nomor Fadil saja, mungkin aku bisa menemukan cara untuk kembali. Sayangnya, tak ada satupun nomor yang kuingat. Satu-satunya nomor yang terpatri jelas di kepalaku, hanya nomorku sendiri. Tapi, percuma saja. "Via! Denger gak sih kamu! Atau jangan-jangan masih tidur kamu, ya!" bentakan kembali terdengar dari luar. Aku menghentikan pencarian. "Iya, mbak."Begitu pintu ku buka, langsung
Ku lihat mbak Helen bergegas masuk. Memeriksa bunyi yang membuatnya curiga tadi. Sembari menahan napas seiring jantung yang berdegup kencang."Meaow."Langkah mbak Helen terhenti. Menatap galak kucing hitam yang mengeong. Duagh! Aku hampir memekik. Mbak Helen menendang kucing tak bersalah itu."Kucing sialan! Mengganggu saja. Minggir sana!"Kucing malang itu lari terbirit-birit. Maafkan aku kucing, kamu menjadi korban padahal tidak melakukan apa-apa.Mbak Helen masih mengomel. Jelas saja dia juga deg-degan mendengar suara benturan tadi. Kalau sampai yang tahu rencana liciknya itu mas Rendi, dia bisa habis. Kini wanita licik itu kembali ke kamarnya. Aku menyeringai miring. Ah, malang sekali nasib mas Rendi. Mempertahankan mbak Helen, padahal mbak Helen hanya mengincar hartanya saja.Sepertinya permainan akan semakin seru...Ku kembangkan usaha kue lebih maju lagi. Kami membeli ruko khusus di kota kecamatan dengan tema kue unik tradisional. Mengurusnya berempat pastinya. Kami sampai
Sesuai yang disarankan bu Rita, aku harus memulai aksiku. Ku selesaikan pekerjaan wajib di rumah ini. Mama masih mendiamkanku. Mungkin dia masih kesal dengan kejadian uangnya yang hilang itu, yang membuat mbak Helen mengomelinya. Syukurlah, setidaknya aku terbebas beberapa saat dari omelannya."Awas kamu, perempuan sialan. Aku pasti akan membuktikan kalau kamu malingnya," sungut mama saat berpapasan denganku. Aku menggendikkan bahu, tak peduli. Lagipula, dengan cara apa mama akan membuktikannya? Kejadian itu sudah lumayan lama. Tidak ada cctv, atau kamera perekam lainnya. Dan lagi, aku juga tidak pernah mengambil uang mama lagi untuk belanja. Sudah ada mas Rendi yang mengurusnya. Dia yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga."Mas Rendi tidak ke Tangerang lagi?" tanyaku memijit lengannya. "Kau ingin aku pergi, Vi?" tanyanya dengan raut kecewa."Em, bukan begitu. Tapi ..." aku sengaja menggantungkan kalimatku. Aku taksir, mas Rendi akan mengira aku pasti berkeinginan mengikuti dia k
"Gimana, Vi? Belum bisa?"Wajah Via memucat. Sedari tadi dia memasukkan password-nya, tapi belum juga berhasil. Ya, dia meminjam ponsel bu Rita untuk membuka aplikasi biru tersebut. Satu-satunya jalan yang bisa dia lakukan. Karena untuk nomor, Via lupa semua. Meski dia sebenarnya sangsi Fadil akan membuka aplikasi biru tersebut. Karena aplikasi itu sekarang kurang diminati oleh kalangan anak muda-dewasa. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu cara yang bisa dia coba. Sayangnya, sedari tadi dia memasukkan password, tetap saja belum bisa. Terhitung sudah hampir sepuluh kali, dan semuanya password salah."Arrh!" Via frustasi. Dadanya yang sesak karena gejolak emosinya, semakin menjadi. Perempuan itu menelungkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Menumpu ke paha. Menangis terisak.Rita yang paham, menyuruh anaknya untuk bermain dengan teman sebayanya di luar."Kenapa mas Rendi jahat padaku, bu? Aku salah apa padanya?" adunya disela isakan. Rita menepuk pundak Via. Mengela napas. Keluarga it
Aku meletakkan ponsel itu gugup."I-itu tadi, a-ada pesan, Mas."Mas Rendi menatapku tajam. Berjalan ke arahku. Kurasakan hawa menegangkan yang menakutkan. Meraih ponsel itu kasar."Kau tahu, aku tidak suka ada yang menyentuh barang pribadiku."Aku mengangguk samar. "M-maaf, Mas."Mas Rendi langsung memeriksa ponselnya. Untung saja pesan baru tadi belum kubuka. Semoga saja mas Rendi tidak curiga padaku. Untung juga aku sempat menekan tombol keluar, kembali ke halaman beranda.Pria berstatus suamiku itu menatapku menelisik. Sementara aku meremat jemari tanpa sadar. Gugup, juga takut. "M-maaf, mas. Aku tadi sedang tiduran. Dan, terasa ada yang bergetar di bawah bantal. Jadi, aku periksa. Ternyata, itu ponsel mas Rendi."Pria itu justru mendekatkan wajahnya ke arahku. Netranya menusuk tajam netraku. Posisi yang menambah kegugupanku semakin menjadi. Aku menunduk takut."Mas maafkan. Tapi lain kali jangan begitu ya?" Sebuah usapan lembut mendarat di puncak kepalaku. Aku terperangah, mena
Pintu terbuka. Sontak aku menoleh. Mas Rendi masuk dengan penampilan acak-acakan. Senyum lebar masih tersungging di bibirnya, bahkan dia kini bersiul-siul riang. Sepertinya dia belum sadar ada aku di kamar.Kuperhatikan pria yang beberapa bulan menjadikanku makmumnya itu. Sepertinya dia hendak mandi. Mengambil pakaian di lemari dengan sekali tarik. Akibatnya, pakaian yang semula tertata rapi itu kembali berantakan. Aku menahan napas. Antara kesal karena merasa terhianati, juga karena cara mengambil pakaian yang membuat berantakan itu."Bisa tolong lebih rapi mengambil pakaiannya, Mas."Mas Rendi terkejut. Handuk yang hendak dia sampirkan di bahu terjatuh. "Vi-Via ...." desisnya kaget. Aku tak menyahut. Menghampiri lemari, dan menata pakaian yang berantakan."Se-sejak kapan kamu pulang?" "Hmm. Sudah lumayan," sahutku datar. Mas Rendi melotot."Kapan?""Gak tahu. Gak lihat jam."Tak butuh lama untuk merapikan. Untung saja belum terlambat. Jadi aku bisa langsung membenahi kekacauan yang
Aku terkejut dengan suara tamparan yang keras itu, wanita yang bernama Tinah itu apalagi. Bu Dita menabok mulutnya keras sekali. Wanita itu sampai mematung di tempat. Wajahnya merah padam, marah, juga tak menduga. Ucapan pedasnya terhenti begitu saja. Keterkejutanku buyar saat bu Dita menarik tanganku."Ayo, Vi. Cepat, pergi." Melangkahkan kakinya, menaiki motor. Aku mengikutinya gugup. Dengan gerakan cepat, bu Dita menyalakan motor dan menancap gas. Brum!Motor melaju kencang."Woy! Tunggu kalian, sialan!"Wanita bernama Tinah itu mencak-mencak. Jelas saja dia marah sekali. Mungkin kalau dia tidak sempat mematung tadi, kami sudah habis dihajarnya. Aku sempat menoleh, bu Tinah dikerubungi tetangganya yang tadi berkutat di dapur. Telunjuk bu Tinah menunjuk-nunjuk ke arah kami. Wajahnya merah padam.Kami sudah jauh. Aku mengembuskan napas. Antara lega, juga khawatir."Apa tidak apa-apa, Bu Dita? Bagaimana kalau ibu tadi melabrak kita?" tanyaku khawatir."Halah! Biarin saja. Emang dasar
Rupanya, wanita itu penasaran identitasku. Aku mengulas senyum ramah. Mengangguk tipis."Saya ....""Adikku ini, Tin." Bu Dita menyela ucapanku. Memberi kode lewat kedipan matanya padaku. Seakan melarangku menjelaskan siapa diriku. "Mosok toh, Yu? Kayaknya kamu ndak ada adik. Kang Yono juga setahuku anak tunggal tuh."Bu Dita kelimpungan. Menyadari fakta tersebut. "Oo, itu ...""Apa, kamu istri barunya Rendi ya? Bener kan? Kayaknya di Sri Rahayu orang baru itu ya cuma istri barunya Rendi. Tapi sayangnya aku belum tahu wajahnya seperti apa. Jangan-jangan itu kamu." wanita itu kembali menyela. Menatapku dengan senyum yang menurutku seperti disengaja. Terlanjur basah, sepertinya wanita ini aslinya tahu siapa diriku, hanya berpura-pura saja."Iya, benar. Saya istrinya mas Rendi." Sudah terlanjur. Wanita ini juga aslinya sudah tahu. Bu Dita melotot. Menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum, maksudku, tidak masalah. Daripada berbohong juga percuma."Oo. Pantas saja. Soalnya, kamu asing. Saya
Pagi sekali, aku sudah bersiap. Segera ke dapur, memasak, dan tugas rumah lainnya. Menyapu halaman, mencuci baju, juga menjemurnya sekalian. Setelah itu, segera sarapan dan mandi."Kau mau kemana, Vi?"Mas Rendi baru bangun tidur. Wajah bengap dan mata sipit khas bangun tidur. Menatapku yang tengah berdandan dengan tatapan sayup-sayup."Aku mau ke rumah bu Rita, Mas.""Hmm. Ngapain? Kau sudah kenal ibu-ibu tetangga sini juga?"Aku mengangguk tipis. Tapi tidak menjawab pertanyaan pertamanya. "Aku sebatang kara disini, Mas. Kalau tidak bergaul dengan tetangga, nanti malah tidak ada kenalan dong."Pria itu mengangguk. "Tidak apa-apa. Yang penting jaga diri saja. Jangan terlalu menaruh kepercayaan sembarangan. Apa yang kamu dengar, belum tentu benar."Aku mengangguk lagi. "Iya, Mas. Via tahu kok." Aku sudah selesai berdandan. Sementara mas Rendi masih goleran diatas ranjang. "Via sudah siapkan makanan di meja, Mas. Tinggal sarapan.""Hmm. Makasih, Vi."Aku mengela napas. Timbul perasaan
"Ah, pantas saja, aku hubungi tidak bisa. Ponselmu hilang?"Raut wajahku berubah. Bingung."Loh, bukannya, kamu yang membawanya, Mas?" "Enggak. Pagi itu aku buru-buru berangkat karena info dadakan dari boss. Makanya gak sempat pamitan sama kamu. Tapi sebelumnya aku berpesan sama Helen supaya bilang sama kamu. Pas di jalan, aku nelpon nomormu berkali-kali. Tapi gak aktif. Aku kira masih di charge, atau mati. Ah, pantas saja setelah itu, mas telpon juga tetep gak bisa. Mas pikir, kamu marah sama mas, terus nomor mas kamu blokir. Jadi, ponsel kamu hilang?"Aku mengangguk. Bingung. Tapi bagaimana bisa hilang? Hanya dalam waktu satu malam saja."Apa mungkin, mbak Helen yang mengambilnya?" tebakku. Mas Rendi menggeleng."Sepertinya tidak. Meski Helen omongannya pedas, tapi dia bukan orang yang suka mengambil barang orang lain.""K-kalau begitu, ponselku ...." ucapanku tercekat. Rasanya posisi kini membuatku berada dalam kebimbangan.Mas Rendi kembali memel