Terdengar hening untuk beberapa saat sampai akhirnya suara yang begitu memilukan terdengar kembali.
"Papa sedang ada masalah, beberapa polisi datang dan menjadikan Papa sebagai tahanan rumah," keluh pria di seberang sana, "Esti, ada yang Papa harus beritahukan juga, tapi tidak bisa Papa sampaikan di telpon. Kita bicara setelah kamu tiba. Segeralah pulang, Nak."Untuk sesaat kembali hening, wanita di seberang sana pasti sedang berpikir keras akan apa yang menimpa ayahnya dan masalah apa yang sampai melibatkan dirinya. Ini pasti sesuatu yang sangat genting."Tapi, Pah … bagaimana bisa?""Pulang saja, Esti, papa mohon! Semua dokumen kepulanganmu sudah diurus. Sekarang kamu pulang dan kemasi barang, bawa yang diperlukan saja dalam perjalanan."Pria itu memohon dengan air matanya yang sudah lama menetes, tapi satu Isak tangis pun tidak mampu ia keluarkan. Air hangat itu terus mengalir seperti dua anak sungai yang saling bersisian. Pria yang dBukannya berkata 'ya' Davinka malah memejamkan matanya dengan suara tangisnya yang tidak bisa dikendalikan lagi. Wanita dengan wajah yang masih dalam rangkuman Sanjaya menangis semakin menjadi-jadi dengan tangannya yang tidak berhenti memberikan pukulan bertubi-tubi. Walau kepalan tangan itu begitu kecil dan tidak terasa di tubuh kekar Sanjaya, tapi Davinka tidak menyerah, terus memukuli Sanjaya karena kesal."Kenapa bertanya? Kenapa? Apa aku wanita jahat? Apa aku tidak pantas menjadi seorang ibu? Kenapa, Sanja … kenapa?" Davinka bahkan tidak memperdulikan sakit dikepalanya.Jika benar anak itu memang benar putranya, mana bisa dirinya menolak kehadiran putra yang selama ini dia rindukan, yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya melalui sebuah tangkisan, yang terus memanggilnya dalam kesunyian malam.Mampukah ia menolaknya? Tentu tidak, bukan? Ingin rasanya Davinka melompat, menciumi wajah pria itu yang menatapnya tidak percayaNamun, dibalik kebahag
Sore itu Davinka sudah ijinkan untuk pulang setelah melakukan serangkaian tes dan memastikan tidak ada gumpalan darah di kepalanya. Dengan duduk di kursi roda Davinka memasuki kediaman kakaknya. Tempat ternyaman dan penuh kasih sayang yang paling ia rasakan. Di tempat inilah ia mengubah sosok lemahnya menjadi semakin tangguh sedikit demi sedikit dan menjadi manusia yang baru."Apa kamu yakin mau pulang kesini?" tanya pria itu memastikan lagi. Sanjaya terus bertanya berulang kali selama dalam perjalanan hingga kini tiba di depan pintu masuk rumah Noel.Awalnya Sanjaya mingira bahwa Davinka akan menolak kepulangannya ke rumah Noel. Tapi, diluar dugaan Davinka malah mengiakan dan membujuk dirinya dengan lembut.'Ini tidak akan lama Sanja, tiga Minggu lagi kita akan menikah, ya kan, Mah? lagi pula kita juga tidak bisa tidur bersama, dan aku baru—' 'Ya, kamu baru pulih, dan harus banyak istirahat.' Akhirnya pria itu tidak bisa membantahnya lagi, Davinka telah mengalami keguguran. Istriny
Davinka berusaha mengulang beberapa kejadian yang membuat mereka memutuskan untuk menikah. Tapi, ia sama sekali tidak menemukannya, bahkan kemarin sore wanita itu masih bersikap seperti biasa saja seolah tidak terjadi apapun ataupun menutupi sesuatu."Vie … maaf, kami cuma nikah siri, dua bulan lagi kami akan segera melangsungkan resepsi pernikahan dan mengesahkannya di catatan sipil," wajah wanita itu kini terlihat sendu dengan beberapa butiran air mata yang sudah berjatuhan dengan sangat deras.Davinka tahu, sahabatnya pasti merasa bersalah karena memberikan kabar ini dengan mendadak. Tapi, tetap saja ia masih tidak terima dengan semua ini."Ran!" ujarannya setengah berteriak. Sebenarnya ia lebih marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa hadir di acara bahagia sahabatnya dan mengetahui bahwa mereka ternyata menyimpan perasaan dan menahannya hanya demi dirinya."Sayang … mereka baru nikah siang tadi sebelum aku jemput kamu dan aku yang menjadi
"Ya," jawabnya penuh kesungguhan, "aku memang belum yakin dengan perasaanku, tapi aku tidak suka jika melihatmu dengan Noel. Dan Inggi, aku sangat sayang sama Dia. Aku suka saat gadis manis itu memanggilku Om dengan bibir kecilnya, aku sangat bahagia Rani … kamu dan Inggi mengisi kekosonganku."Rani melihat kesungguhan di mata dan nada suara pria itu, dan juga atas kasih sayang yang selalu diberikannya setiap hari dan selalu mementingkan Inggi lebih dulu sebelum mengurus kepentingannya.Apa ada alasan untuk menolak pria ini? Rani sudah tidak percaya dengan adanya cinta. Paling tidak untuk saat ini."Apa Bapak sakit hati jika Saya menerima Bapak hanya karena Inggi?" tanyanya dengan suara tercekat dan penuh rasa bersalah. Hey … ini pertanyaan konyol bukan? Tapi Rani tetap harus bertanya. Baik itu menyakiti hatinya atau tidak.Pernikahan tidak seharusnya dilandasi dengan perjanjian dan alasan dibaliknya. Tapi, Rani sudah memikirkan hal ini sejak kemarin sepanjang jalan menuju pasar. Ia
Davinka menepis tangan Sanjaya kuat. Ia langsung bangun dan berlari menaiki tangga. Air matanya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Ia ingin melihat, apa anak itu benar-benar putranya? Kain biru itu Davinka masih mengingatnya dengan jelas.Pria yang ditepis tangannya oleh Davinka merasa bingung. Untuk sesaat pria itu hanya duduk mematung menatap pergerakan istrinya. Reaksi Davinka, bukankah sangat berlebihan? Apa ingatan Davinka sudah kembali? Atau, ini hanya naluri keibuannya? Dan apa yang dikatakan Davinka lebih membuatnya terhenyak, 'bayiku, bayi kita ….' Ini jelas menjels Davinka mengingat bayinya.Kini Sanjaya benar-benar bingung. Ia takut Davinka akan menakuti anak itu nantinya"Davin!" panggilnya. Sanjaya sudah setengah berlari mengejar Davinka. Berusaha menahan pergerakan tangannya yang sudah hendak mengambil anak itu dari wanita yang merawatnya."Sanja!" bentak Davinka setengah frustasi di tengah derai air matanya. Pad
"Apa kamu ingat sesuatu, Davin?" tanyanya sedikit takut."Tidak," sangkalnya cepat. Davinka tersenyum, tapi bukan pada Sanjaya, melainkan pada anak itu, "bukan kah lebih baik jika melakukan tes agar tidak ada keraguan dihati kalian," ujarnya yang langsung disetujui oleh Panji."Aku tahu mereka tidak berbohong, ibumu mungkin membawa bayi itu kepanti asuhan. Namun, kesalahan bisa saja terjadi dan orang panti memberikan bayi lain pada Papa!" desaknya masih merasa bahwa bayi itu adalah bayi yang berbeda dan berharap mereka masih dapat merawatnya.Tadi pagi saat mereka tiba setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang, Panji dan Esti langsung mendatangi papah mertuanya dan menanyakan hal apa yang begitu mendesak sehingga memaksa mereka untuk pulang sesegera mungkin.Papah mertuanya itu menjelaskan seluruh kejadiannya dengan sangat terperinci sampai bagaimana bayi mereka meninggal dan dikuburkan lalu pergi untuk mengambil bayi lain sebagai penggantinya. Panji jelas sangat marah saat itu
Masih takut akan penolakan, Davinka sedikit ragu untuk mengiakannya. Ia melihat anak itu dengan penuh binar, tapi rasa takut masih menguasai hati.Tau apa yang ditakutinya, Esti sedikit memiringkan kepalanya dan memandang wajah putranya lalu berbicara dengan lembut dan begitu tenang, "Rae, veux voir du poisson?" tanyanya masih dengan bahasa Perancis yang kental.Renhart sangat suka dengan ikan, mungkin dengan ikan mereka bisa dekat dan sedikit mengobati rasa rindu Davinka pada putranya."Oui, Mom," sahutnya penuh antusias. Anak itu ternyata mau melihat ikan."Alors vas-y avec Mama Davinka." Esti menunjuk Davinka agar Renhart mau pergi bersama wanita itu."Oui, Mom!" Tanpa diduga, Renhart langsung turun dari pangkuan Esti dan menggenggam tangan Davinka erat.Hati Esti langsung sakit melihat putra begitu mudah pergi meninggalkannya dan mau pergi dengan ibu yang melahirkannya."Allez!"Davinka hampir tidak bisa bernapas, suara Renhart sangat merdu dan menggelitik hatinya. Padahal ia sama
"Mamah! Gawat! Jangan sampai mama bikin kacau!" Davinka mulai merasa takut. Jika Renhart benar putranya Venti jelas tidak akan membiarkannya bersama dengan Renhart. Davinka ingin bergegas pergi, tapi Ia tidak bisa pergi begitu saja dan meninggalkan Renhart. Anak itu begitu asyik bermain ikan. Sama seperti dirinya yang begitu suka terhadap ikan dan merasa bahagia saat bermain dengannya. Apa lagi wajahnya yang begitu menggemaskan dengan raut jijik dan penasaran, mana bisa Davinka meninggalkan anak ini."Mama tangkap ikan?" ucapnya masih dalam hangat Perancis. Anak ini terdengar begitu pasih Walaupun usianya baru tiga tahun. Tidak cadel seperti Reno dan Inggi.Tidak mengerti bahasa anak itu Davinka bertanya pada Pak google dan langsung menangkap ikan bercorak kuning merah dan hitam."Ikan, tangkap ikan?" ulang Davinka dengan bahan Indonesia.Anak itu bertepuk tangan dengan wajah yang bercahaya dan tertawa terbahak-bahak. "Oui, tangkap ikan Mama Davin!" seru anak itu. Ohh, apa ini mi
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.