Pukul sepuluh malam mobil Revanno berhenti tepat di halaman sebuah rumah mewah. Revanno melangkah ragu ketika memasuki kediaman sang kakek. Rumah yang selalu membuat Revanno teringat dengan masa kecilnya. Rumah yang menyimpan sejuta kenangan buruk yang pernah ia rasakan. Bayangan tentang masa lalunya mulai berputar lagi setiap Revanno melangkahkan kakinya ke rumah ini.“Sial!” Revanno mengumpat. Ia tengah berdiri tepat di teras rumah sang Kakek. Matanya terus menatap sekeliling. “Sepertinya aku harus memaksa Kakek agar dia mau pindah dari rumah ini. Kalau nggak mau lihat saja, aku akan menculiknya. Lalu aku akan memasukkan tubuhnya ke dalam karung biar tahu rasa sekalian. Ck! Dasar Kakek tua itu selalu merepotkan saja.”“Kehadiran Anda sudah di tunggu sejak tadi, Tuan Revanno.”“Astaga!” Revanno berteriak kaget saat tiba-tiba pintu rumah Kakeknya terbuka sendiri. “Kamu sengaja ingin mengagetiku ya?!” Tudingnya kepada seorang pria yang merupakan salah
Di dunia ini mungkin memang hanya cinta yang tidak pernah Revanno percayai. Sejak dulu, bahkan sejak Revanno masih kecil ia belum pernah sama sekali merasakan apa itu yang namanya cinta? Kata sebagian orang, Ibu adalah cinta pertama yang kita miliki. Tapi kenyataannya Revanno tidak pernah merasakan hal itu pada Ibunya. Bukankah cinta kepada Ibu itu tumbuh ketika seorang Ibu memberi perhatiannya, kasihnya dan sayangnya kepada kita? Tapi yang Revanno rasakan selama bersama Ibunya bukanlah seperti itu. Bukan rasa perhatian dan kasih sayang yang ia lihat dari Ibunya, melainkan rasa penyesalan. Rasa penyesalan karena kehadirannya, makanya Ibunya dengan tega meninggalkannya dan juga Ayahnya begitu saja. Hingga pada akhirnya hal itulah yang membuat Revanno tidak percaya sama sekali dengan yang namanya cinta. Selain itu Revanno juga tidak percaya dengan wanita. Ia hanya menganggap semua wanita itu sebagai mainan yang bisa ia mainkan kapan saja. “Revanno baik-baik saja.” Samar-samar Revann
Revanno terlihat begitu serius ketika mendengarkan cerita yang di sampaikan oleh Daniel. Pria itu bahkan tidak pernah menyangka, kalau ternyata wanita yang sudah ia buat kecewa hingga saat ini masih saja mengkhawatirkan dirinya. Revanno memang berengsek, bukan? “Sumpah. Aku nggak menyangka kalau ternyata masih ada wanita yang ingin mencarimu, bahkan khawatir dengan keberadaanmu,” ujar Daniel sedikit mencibir. Kalau biasanya mungkin Revanno akan marah jika mendengar Daniel berkata seperti itu. Tapi tidak untuk malam ini. “Kamu benar,” sahut Revanno membenarkan. “Aku memang berengsek, kan?” Tanyanya sambil tertawa miris. Revanno menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh akhir-akhir ini. Bodoh karena sudah begitu patuh dengan perintah Kakeknya. Bodoh karena sudah memberi harapan ke Starla dan bodoh karena sudah tega menyakiti dan membuat wanita itu menangis. Dan kenapa Starla masih mau saja mengkhawatirkan dirinya? “Kalau aku lihat sepertinya Starla tadi sedang nggak baik-baik
Ternyata rasa rindu itu benar-benar baru bisa terobati ketika bertemu langsung dengan orang yang selalu di rindukan. Dan itulah yang di rasakan oleh Starla saat ini. Starla memeluk tubuh pria yang selama dua hari ini menghilang tanpa kabar itu dengan begitu erat sambil menangis.Revanno hanya bisa meringis ketika Starla semakin mengencangkan pelukan pada tubuhnya. Sejujurnya tubuh Revanno masih terasa begitu sakit, tapi ia juga tidak bisa menolak untuk di peluk Starla. Ia juga merindukan wanita yang saat ini berada di dalam pelukannya. Sangat rindu.Cukup lama mereka berpelukan sebelum akhirnya Starla melepaskan pelukannya, dan menatap wajah Revanno dengan lekat.“Kamu kemana saja selama dua hari ini?” Tangan Starla mulai mengusap wajah Revanno dengan lembut. Matanya kembali berair ketika melihat wajah Revanno yang masih terlihat penuh luka.Revanno menangkap tangan mungil itu lalu mencium bagian telapaknya. “Aku nggak kemana-mana,” ujarnya serak.“Aku khawatir sama kamu. Kenapa kamu
Starla dan Revanno saling bergelung di bawah selimut. Mereka baru saja selesai melepas rindu setelah kurang lebih tiga jam yang lalu. Starla menyandarkan kepalanya di dada Revanno, sedangkan Revanno meletakkan pipinya di puncak kepala Starla. “Aku khawatir sekali dengan keadaanmu,” bisik Starla. Matanya terpejam sambil mendengarkan detak jantung Revanno yang mulai kembali normal. “Maaf.” Lagi-lagi hanya kata maaf yang bisa di katakan Revanno. Walaupun ia yakin itu tidak akan cukup untuk memaafkan kesalahannya. “Sebenarnya kamu kemana saja selama dua hari ini?” Starla mengangkat kepalanya, mendongak ke arah Revanno. “Dan kenapa kamu bisa babak belur seperti ini?” Revanno menatap lekat wajah wanita yang selama dua hari ini begitu ia rindukan. “Aku di hajar sama preman,” ujarnya sambil terkekeh. “Serius?” Starla menaikkan alisnya tidak percaya. Revanno mengangguk. “Serius. Buktinya aku sampai pingsan dan koma selama dua hari ini,” ujarnya lalu terkekeh lagi. Lebih baik ia tidak men
Ini hari Minggu dan pagi ini Starla berencana untuk berbelanja kebutuhan makanannya yang hampir habis. Saat ia membuka pintu, ia begitu terkejut melihat keberadaan Saga yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu apartemennya.“Saga?” Starla mengernyit bingung.Pria itu hanya tersenyum, lalu melambaikan tangan ke arah Starla hingga membuat wanita itu tertawa kecil.“Mau kemana?” Saga memberi jalan ketika Starla hendak keluar pintu.“Aku ingin pergi berbelanja,” jawab Starla sambil tersenyum. Namun, sedetik kemudian ia kembali menatap bingung ke arah Saga. “Tunggu dulu … kok kamu bisa tahu kalau kamarku berada di sini?” Tanya Starla.“Apa sih yang nggak aku ketahui tentang kamu.” Saga menjawab sekenanya. “Aku temani ya.”Starla tersenyum lalu mengangguk. Saat Starla hendak menutup dan mengunci pintu apartemennya, saat itu juga pintu apartemen Revanno terbuka. Pria itu hanya berdiri dengan wajah datarnya.“Ah, kebetulan sekali. Saga, itu Bosku. Kamu belum pernah aku perkenalkan den
Starla memutuskan untuk langsung pulang begitu merasa belanjaannya sudah lengkap dan tidak ada yang kurang. Setelah melakukan pembayaran, semua belanjaan Starla tadi menghasilkan dua buah kantong plastik berukuran besar yang kini masing-masing di bawa oleh Revanno dan juga Saga. Hal yang tidak terduga datang ketika mereka bertiga keluar dari supermarket tersebut. Saat melangkah keluar, Revanno tanpa sengaja melihat keberadaan Cheryl. Awalnya wanita itu belum menyadari keberadaan Revanno. Namun, begitu Cheryl menyadarinya. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan binar bahagia yang terpancar dari dua bola matanya. Sepertinya Cheryl benar-benar merasa senang karena tanpa sengaja bisa bertemu dengan Revanno. Tapi hal itu berbeda dengan yang di rasakan oleh Revanno. Ia berusaha untuk mengabaikan keberadaan Cheryl dan terus melangkah tanpa memperhatikan Cheryl yang kini mulai berjalan menuju ke arahnya. Tapi tiba-tiba saja sebuah teriakkan terdengar dan membuat Revanno seketika mengumpat da
Cheryl masih menangis histeris di dalam kamarnya. Ia tidak menyangka jika Revanno berani membatalkan perjodohan yang selama ini sudah ia impi-impikan. Cheryl kira pria itu tidak akan berani menolak dan berkata hal yang menyakitkan saat menolak perjodohkan dengan dirinya. “Cheryl … sudahlah, Sayang. Kamu jangan menangis terus seperti ini. Mami jadi khawatir sama kamu.” Sonia atau lebih tepatnya Mami Cheryl datang menghampiri putrinya yang sejak tadi tidak berhenti menangis.“Aku mencintai Revanno, Mi. Aku nggak ingin perjodohan ini di batalkan.” Cheryl masih sesenggukan.“Mami tahu, Sayang. Tapi kamu dengar sendiri kan apa yang Revanno tadi katakan. Kamu jangan membuat Mami menjadi semakin sedih. Lebih baik sekarang kamu lupakan saja Revanno, ya.”“Nggak bisa, Mi!” Cheryl berteriak histeris. Membuat Sonia yang melihatnya pun seketika langsung merasa terkejut. “Aku nggak bisa melupakan, Revanno. Asal Mami tahu, kalau aku dan Revanno sudah ….” Cheryl sengaja menggantung kalimatnya.“Sud
“Revanno.”“Ya?”Starla membelai wajah pucat Revanno. “Kamu baik-baik saja?”Revanno mengangguk seraya menelan ludah susah payah. Membuat Starla tertawa pelan.“Kenapa tertawa?” Revanno menatap istrinya dengan kening bertaut.“Yang ingin melahirkan itu aku, kenapa kamu yang panik dan pucat seperti ini?”“Yang ingin kamu lahirkan itu anakku, kenapa aku nggak boleh panik seperti ini?”Starla tersenyum simpul, membawa kepala Revanno ke dadanya. Membelainya lembut. “Jangan panik seperti itu. Aku baik-baik saja. Wajah kamu pucat sekali.”Revanno mengangkat kepala, sejajar dengan kepala Starla. Mata kelamnya menatap Starla lekat. “Berjanjilah padaku, kamu akan baik-baik saja.”Starla mengangguk. “Aku pasti baik-baik saja. Ini bukan pertama kali aku melahirkan, Revanno. Apa kamu lupa?” Tanyanya menatap Revanno. “Dan ini juga bukan pertama kalinya kamu menemaniku saat ingin melahirkan.”Revanno meringis. “Tapi tetap saja, Starla. Rasanya tetap sama tegangnya. Dan khawatir juga. Aku sangat kha
“Starla dimana?” Joshep yang tengah menyiapkan bekal untuk piknik bersama cucunya menatap Revanno yang memasuki dapur, dengan rambut basah.“Tidur,” jawab Revanno singkat. Revanno mulai mengambil beberapa telur untuk membuat omelet.“Tidur?” Tanya Joshep dengan satu alis terangkat, kemudian pria itu mengulum senyum. “Kelelahan?” Godanya.Revanno hanya tertawa pelan seraya mengangguk. Mulai memecahkan beberapa telur ke dalam mangkuk. “Apa perlu Ayah membawa Sera untuk menginap di hotel?”Revanno menoleh, ide itu terdengar sangatmenggoda. Namun, apa Starla akan mengizinkannya?“Ayah ajak ke hotel saja, ya. Hotel yang ada di Ubud. Ayah ingin mengajak Sera untuk melihat pemandangan yang ada di sana. Dia pasti suka.” Kata Joshep.Revanno mendekati Ayahnya, lalu memeluk Ayahnya singkat. “Terima kasih, Ayah.”Joshep mengangguk, menepuk- nepuk pelan bahu Revanno. “Dalam rangka mendapatkan cucu kedua, Ayah rela menjaga Sera selama yang kamu inginkan,” ujar Joshep sambil mengedipkan sebelah
“Sera ingat apa pesan Papa?” Revanno berjongkok di depan putrinya. Menatap gadis kecil itu sambil tersenyum.“Nggak boleh nakal dan menyusahkan Kakek sampai Papa dan Mama kembali ke Jakarta.”Revanno tersenyum, menepuk puncakkepala putrinya. “Pintar.”Revanno lalu merentangkan kedua tangannya dan memeluk Sera dengan begitu eratnya.“Hanya beberapa hari, Papa dan Mama akan pulang,” ujar Revanno pelan seraya mengecup kepala anaknya. Sementara Sera hanya mengangguk saja.Revanno dan Starla akan pergi berlibur ke Bali, hanya berdua. Setelah beberapa tahun tidak menghabiskan waktu hanya berduaan, Starla merasa sangat membutuhkan waktu untuk quality time berdua dengan suaminya. Dan Revanno menyetujui hal itu.“Ya sudah. Kalian cepat berangkat sana.” Joshep mengenggam tangan cucunya.Revanno sengaja menitipkan Sera kepada Ayahnya karena memang sejak awal Joshep-lah yang menawarkan diri untuk menjaga Sera selama Revanno dan Starla pergi berlibur. Lagipula sekarang Joshep juga sedang menikm
Starla terengah dengan Revanno yang terus menghunjam ke dalam tubuhnya dari belakang. Wanita itu memejamkan mata, mencengkeram kain yang mengikat kedua tangannya.“Revanno …” Starla mendesah. Ia mendapatkan kenikmatan yang selalu mampu membuatnya tergulung ombak yang begitu dalam.Revanno mencengkeram dada Starla dan menarik istrinya agar menempel ke dadanya. Starla berpegangan pada paha Revanno. Pria itu mendorong kuat-kuat dan menenggelamkan dirinya di sana. Terengah dengan bibir di leher istrinya. Bernapas terputus-putus.Ketika napas mereka tidak lagi memburu seperti tadi, Revanno mengecup leher Starla. Tubuh mereka masih menyatu lekat. Revanno memeluk perut untuk istrinya posesif, enggan melepaskannya. Bibir Revanno mengecupi bahu Starla. Sementara istrinya itu bersandar lemah di dada bidangnya.“Mama!” Teriakan nyaring membuat mata Starla yang semula terpejam, kini terbuka lebar. “Mama!”“Revanno, Sera,” ujar Starla pelan, tubuhnya lelah, Revanno tidak penah hanya cukup satu kal
Lima tahun kemudian.Mobil itu sudah terparkir dengan sempurna di depan rumahnya. Yang paling kecil turu dengan cepat, berlari masuk ke dalam rumah dengan wajah cemberut. Sementara, pria yang menyerupai gadis kecil itu mengikutinya dari belakang dengan senyum tipis dan gelengan kepala pelan.“Mama ... Mama ...” teriak gadis kecil itu hampir memenuhi setiap sudut ruangan. la membuka pintu rumah, mendorong dengan kasar, lalu masuk ke dalamnya disusul dengan sang Ayah yang membawakan tas sekolahnya.“Mama!” Teriaknya lagi, kali ini dengan air wajah yang memerah.Datanglah sang Ibu dari balik pintu dapur, menyambut anaknya yang baru pulang sekolah seperti biasanya. “Loh, anak Mama pulang sekolah kenapa wajahnya di tekuk seperti itu? Ada apa? Siapa yang berani membuat donat gula Mama marah?”Masih memasang wajah cemberut dengan bibir yang maju tak mundur sama sekali, gadis kecil itu bersidekap. “Sera nggak mau di jemput Papa lagi,” ujarnya nyaring.Mendengar hal itu, Starla lantas beralih
Kencan yang Revanno bayangkan adalah jalan-jalan menaiki mobil, berhenti di taman yang sepi dan menikmati jajanan yang ada di sana. Seharusnya. Ya seharusnya memang seperti itu. Namun, hal itu tidak mungkin karena ini adalah malam Minggu. Ia sudah merangkai semua rencana itu di dalam kepalanya, tetapi realita memang tidak seindah ekspetasi. Pasalnya, baru saja mobilnya keluar dari pelataran rumah sakit, kemacetan sudah menunggu mereka.Revanno menghela napas, wajahnya tertekuk masam, sedikit kesal lebih banyak mengumpat. Starla yang duduk di sampingnya bersama dengan Sera di dalam gendongan wanita itu sudah beberapa kali mengomeli Revanno. Meski Sera belum mengerti, atau memahami apa yang sang Ayah ucapkan, tapi tetap saja rasanya tidak tenang sekali mendengar Revanno mengumpat kasar di depan Sera.“Sabar, Revanno …” Sudah beberapa kali Starla berujar seperti itu. Kali ini ia menambahkan dengan usapan lembut di lengan suaminya. “Nggak apa-apa kok agak malam, Sera juga sudah memakai ba
Beberapa menit kemudian Joshep dan William tiba di rumah sakit bersama Sera yang saat ini tengah di gendong oleh Bi Diyah. Selama jeda menunggu para Kakek itu tiba di rumah sakit, Starla tidak ingin berbicara dengan Revanno. Ia masih merasa kesal pada suaminya yang mengabaikan dirinya. Revanno tidak menjemput Starla di rumah Vania. Tetapi pria itu justru marah-marah ketika Starla pulang terlambat. Apalagi saat beberapa menit sebelum kecelakaaan, Starla mendengar Revanno mengumpat dari balik sambungan telepon. Starla kesal sekali rasanya.Ngomong-ngomong, kecelakaan itu memang tidak fatal terjadi, hanya tabrakan beruntun akibat kemacetan dan tidak menghasilkan korban jiwa yang meninggal. Beberapa hanya luka lecet dan shock seperti Starla.Saat Joshep dan William datang, Revanno sedang mati-matian meminta maaf pada sang istri. Starla mendiamkannya hampir selama jeda sebelum Joshep dan William tiba.Revanno merasa bersalah, Starla juga tahu itu, terlihat dari gurat resah di wajah suamin
Revanno kekeuh tidak ingin ikut datang ke rumah Vania. Pria itu hanya mengantarkan sang istri sampai di depan pagar rumah Vania saja. Hal itu membuat Starla cemberut, merasa kesal karena Revanno tidak ikut turun. “Kenapa sih nggak ingin ikut?” Tanya Starla dengan bibir maju ke depan. “Padahal juga hanya sebentar saja, kok.”“Aku ada pekerjaan penting, Sayang,” jawab Revanno sabar.“Pekerjaan apa? Sepenting apa memangnya sampai harus kamu yang mengerjakannya?” Revanno menoleh penuh dramatis. “Tentu saja harus aku yang mengerjakannya. Suamimu ini pimpinan di perusahaan, Starla. Jadi wajar kalau pekerjaan itu aku yang mengerjakannya. Lagipula aku juga harus memberi contoh yang baik untuk para karyawanku.”Seketika bibir Starla langsung mencibir. Kalau orang lain yang berkata demikian mungkin Starla akan percaya, tapi Revanno? Ck! Bagaimana tingkah pria itu dulu, Starla sangat tahu. Ya, meskipun Starla akui kalau gaya kepemimpinan Revanno memang bagus. Tapi biasanya Revanno tidak pernah
Revanno menghampiri Starla yang sedang sibuk membungkus kado di ruang tengah. la duduk di sebelah sang istri seraya mengambil setoples keripik kentang buatan Bi Diyah.“Untuk siapa?” Tanya Revanno sambil mengunyah.Starla menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya membungkus kado hadiah untuk Mikayla, anak sahabatnya—Vania.“Untuk anaknya Vania, namanya Mikayla,” jelas Starla.Beberapa hari yang lalu Vania sempat mengatakan kalau anaknya akan merayakan ulang tahun. Dan berhubung kemarin Starla memiliki waktu untuk berbelanja, sekalian ia membeli hadiah untuk ia berikan kepada anaknya Vania.“Ulang tahun?” Revanno bertanya lagi dan Starla langsung mengangguk. “Kapan?” Imbuhnya dengan tangan yang bersiap memasukan dua keripik kentang sekaligus ke mulutnya.“Besok. Antar aku, ya?”Seketika gerakan tangan Revanno terhenti. “Nggak, ah. Kamu sendiri saja. Lagipula aku kan bekerja.”“Eh, mana bisa begitu?” Starla nenoleh ke arah sang suami, mengernyitkan keningnya. Seolah tidak t