Hari itu Oriaga tampak mengemudikan mobil ditemani Isaak. Isaak melirik Oriaga yang sedang menyetir, dia kesal karena subuh-subuh begini harus menemani sahabat merangkap menantunya itu pergi. “Kenapa harus mengajakku? Bukankah kamu bisa pergi sendiri?” Isaak mulai menggerutu karena masih mengantuk. Oriaga menoleh Isaak sejenak, lantas membalas, “Ini juga demi cucumu. Memangnya kamu mau kalau cucumu ileran.” Isaak tentunya terkejut mendengar ucapan Oriaga. Bantahan dari sang sahabat jelas tak terelakkan, meskipun tidak wajar di Belanda tapi Isaak tahu hal semacam itu lazim di Indonesia. “Ya, tentu saja tidak mau,” ucap Isaak. “Maka dari itu, kamu harus menemaniku mencari apa yang Shanaya inginkan,” balas Oriaga. Di dalam hatinya Oriaga pun tertawa menang . Isaak hanya bisa mendengkus karena harus ikut repot padahal seharusnya itu tanggung jawab Oriaga sebagai suami. “Meski begitu, seharusnya tidak perlu mengajakku juga. Itu bagian dari tanggung jawabmu, kepedulianmu k
Setelah mentraktir mertuanya makan Oriaga pun pulang membawa durian pesanan Shanaya. Saat baru saja sampai, ternyata istrinya itu sudah menunggu di depan.“Kenapa kamu menunggu di teras?” tanya Oriaga yang terkejut melihat Shanaya menunggu di sana.“Apa kamu dapat duriannya?” Shanaya menyambut kedatangan Oriaga. Ekspresi wajahnya berubah semringah karena melihat suaminya membawa apa yang diinginkan.Shanaya menghampiri Oriaga karena ingin menyambar durian yang dipegang, tapi Oriaga yang melihat tingkah sang istri pun mencoba menjauhkan durian itu dengan menyembunyikan tangannya ke belakang badan.“Kenapa?” tanya Shanaya bingung karena Oriaga malah menjauhkan buah itu darinya.“Kamu sudah sarapan?” tanya Oriaga sambil menatap Shanaya yang terkejut tapi menggemaskan.“Tentu saja su ….” Shanaya ingin berbohong, sayangnya Pak Wira tiba-tiba muncul di sana hingga membuatnya menjeda ucapan.“Nona belum sarapan Tuan,” ucap Pak Wira karena mendengar pertanyaan Oriaga. Dia melirik Shanaya yang
Pagi itu Amora baru saja selesai mengurus Issa dan Xavi. Dia dibuat terkejut dan berjalan terburu-buru menuju pintu karena ada yang menekan bel beberapa kali. “Tolong gendong Xavi dulu,” pinta Amora ke Isaak sambil melangkah ke arah pintu. Beruntung hari itu Isaak tidak pergi jogging dan langsung melaksakan ucapan Amora. Dia mengambil Xavi dan menimang agar anaknya itu tidak rewel. Amora sibuk mengikat rambut, dia sampai tidak sempat melihat dulu siapa yang datang dan langsung membuka pintu, hingga Amora sangat terkejut saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya saat ini. “Mama, Papa.” Amora kehilangan kata-kata, dia tak menyangka kedua orang tuanya berada di Indonesia dan bahkan berdiri di hadapannya sekarang. Amora sangat syok sampai kelepasan mengumpat menggunakan bahasa Belanda. Menyadari itu dia pun buru-buru menutup mulut takut keceplosan untuk ke dua kalinya. Amora sampai menoleh ke Isaak yang sedang menggendong Xavi. “Kenapa reaksimu begitu?” tanya ibunda Amor
Malam itu Kirana duduk dengan tangan gemetar. Dia benar-benar grogi karena akan bertemu dengan orang tua Elkan. Jari jemari tangannya terlihat terus bergetar, bahkan dia sampai meremas berulang kali untuk menutupi kegugupan. Namun, sayang tetap saja tidak berhasil. Kirana menengok ke ponselnya yang ada di atas pangkuan, lantas beralih ke arah pintu private room di salah satu restoran ternama yang dia datangi bersama Elkan. Kemarin Amora mengabari jika mereka akan makan bersama, hingga sekarang harus menyiapkan diri menghadapi kedua orang tua Elkan yang membuatnya cemas. Elkan melihat Kirana yang gelisah. Dia meraih telapak tangan wanita itu, lantas menggenggam erat. “Jangan terlalu gugup,” ucap Elkan untuk menguatkan Kirana. Kirana menatap Elkan, meski pria itu memintanya tenang, tapi tetap saja dia tidak bisa menyembunyikan gemuruh di dada. “Kenapa kamu sangat gelisah seperti ini? Apa setakut itu bertemu orang tuaku? Kamu yang seperti ini, tak seperti Kirana yang aku kenal,” uc
Shanaya berada di mobil bersama Pak Wira. Dia memperhatikan jalanan yang dilewati, lantas memandang ke Pak Wira yang duduk di kursi depan.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Apa ada yang penting?” tanya Shanaya bingung karena Pak Wira hanya mengatakan jika dirinya harus ikut pergi.Gadis itu menekuk bibir, karena Pak Wira masih tidak mau memberitahu tujuan mereka.“Maaf Nona, saya tidak bisa memberitahu. Ini rahasia jadi tidak bisa dikatakan apalagi dijelaskan,” jawab Pak Wira. Pria tua itu menoleh sekilas ke Shanaya lantas kembali memandang jalanan.Shanaya menyandarkan punggung, dengan kening berkerut menatap Pak Wira yang terlihat tenang. Padahal apa susahnya tinggal menjawab pertanyaan yang dia lontarkan, kenapa seperti sulit sekali bagi Pak Wira hingga membuat Shanaya berpikiran macam-macam.“Apa Pak Wira berniat menculik wanita hamil?” tanya Shanaya sambil memperhatikan reaksi wajah kepala pelayan rumah utama itu.“Mana berani, Nona. Bisa-bisa saya digantung Tuan Oriaga kalau be
Shanaya terlihat tersenyum-senyum sendiri saat sedang bersiap-siap pagi ini, tentu saja hal itu terpantau Oriaga yang baru saja keluar dari kamar ganti. Pria itu menghampiri Shanaya yang tampak sangat ceria. “Sepertinya kamu sangat bahagia,” ucap Oriaga. “Tentu saja, ini pertama kalinya kamu mau menemaniku mengikuti kelas hamil, aku senang karena pasanganku hari ini bukan instrukturnya,” balas Shanaya. “Aku heran, kamu lebih bahagia dari pada kemarin saat peresmian hotel,” seloroh Oriaga. “Jelas, kan aku sudah bilang,” balas Shanaya. "Anak yang dibuat sama-sama, seharusnya sejak dalam kandungan juga harus diurus sama-sama, termasuk mengikuti kelas hamil,” ujar Shanaya menggoda suaminya. Oriaga hanya tersenyum mendengar ucapan Shanaya. Dia pun duduk di tepian ranjang, lantas meminta Shanaya duduk di sampingnya. Shanaya pun duduk, hingga Oriaga menyentuh permukaan perutnya yang membuncit. “Maaf kalau papa kurang memperhatikanmu dan sering mengabaikan mamamu,” ucap Oriaga
“Wah, kamu datang.” Flo —Mantan bos Shanaya terlihat senang melihat kedatangan istri Oriaga itu di sana.Shanaya tersenyum melihat Flo yang buru-buru menghampiri, hingga mantan bosnya itu urung memeluk dan malah terpaku memandang perut Shanaya yang besar.“Kamu sedang hamil?” tanya Flo terlihat terkejut tapi juga tersenyum senang.“Iya, maka dari itu aku datang ke sini, Kak. Sejak kemarin aku selalu membayangkan peanut cake Wonderflo dan ingin memakannya,” jawab Shanaya sambil melebarkan senyum, satu tangan dia pakai untuk mengusap lembut permukaan perutnya.“Tentu saja. Duduklah, biar aku siapkan kue yang kamu inginkan. Aku akan mentraktirmu gratis,” ucap Flo lantas buru-buru kembali ke belakang etalase untuk mengambil sendiri kue yang diinginkan Shanaya.“Tidak usah.” Shanaya sungkan karena ingin ditraktir.“Ini hadiah untuk calon bayimu, tidak boleh mennolak!” ucap Flo setengah memaksa.Shanaya akhirnya mengangguk dan pasrah saja mendapat kue yang dia inginkan itu. Mereka pun duduk
Siang itu Andra tampak semringah, penuh percaya diri berjalan bersama sekretarisnya membawa makanan dan kopi. Andra sengaja pergi ke ruangan Mauri hanya untuk mengantar makan siang.“Untukmu dan teman-temanmu.” Andra bicara sambil meletakkan makanan dan kopi yang dia ambil alih dari tangan sang sekretaris ke atas meja Mauri.Mauri yang masih sibuk bekerja pun terkejut melihat apa yang dilakukan Andra, dia menatap pria itu dengan ekspresi wajah kaget lalu menoleh ke sekeliling. Bukan hanya dirinya, tapi ternyata semua staff yang ada di sana juga terkejut dengan kedatangan Andra secara tiba-tiba.“Apa ini? Kenapa membawakanku makanan dan mengantarnya langsung sendiri?” tanya Mauri menggunakan nada suara yang sangat kecil. Dia menoleh lagi lalu menundukkan kepala seolah sedang berusaha menyembunyikan wajahnya.“Kenapa ke sini tidak bilang dulu?” Protes Mauri.“Apa ada aturan kalau ingin menemui pacar harus laporan dulu? Kalau mau ketemu, bukannya tinggal ketemu,” jawab Andra dengan enten
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu