Pak Wira bisa membayangkan betapa kesalnya Oriaga saat ini. Setelah sarapan, sang majikan bahkan tak meminta pelayan segera mengambil piring dan peralatan makan. Bukan kebiasaan Oriaga yang cinta akan kebersihan kecuali sesuatu yang buruk terjadi, hingga Pak Wira memikirkan bagaimana kalau Oriaga sampai marah dan bertengkar hebat dengan Shanaya, karena gadis itu membela Masayu atau Rini.Namun, baru saja kakinya menapaki anak tangga terakhir, Pak Wira harus memutar tumit. Dia bergegas turun ke bawah saat melihat Oriaga dan Shanaya berjalan menuju perpustakaan pribadi sambil menautkan bibir satu sama lain. “Dasar pengantin baru, bukannya Tuan seharusnya sudah kadaluarsa?” Pak Wira menggerutu, dia sedikit panik dan menoleh ke belakang saat ada dua pelayan berpapasan dengannya di anak tangga. “Mau ke mana?” Pertanyaan Pak Wira membuat dua bawahannya bingung, tapi salah satunya berusaha menjawab, meski sedikit gentar."Kami mau membersihkan lantai tiga.” “Jangan dulu! Jangan naik ke la
Oriaga malah tersenyum miring mendengar pertanyaan Shanaya. Dia merasa wajar jika istrinya sampai berpikir seperti ini, karena mereka belum begitu dalam mengenal satu sama lain. Hal yang sering mereka lakukan adalah bercinta, bukan berdiskusi dan bicara dari hati ke hati. “Aku dulu juga tidak mau memiliki anak dengan Oliv, jadi apa yang kamu pikirkan itu tidak benar.” Shanaya mengangguk lantas membuang muka ke arah luar jendela. Dia tak menyangka Oriaga bisa bersikap begini. Shanaya pun semakin yakin kalau memang tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Oriaga bahkan tidak sadar kalau pilihannya itu sedikit melukai perasaannya sebagai wanita.Namun, Shanaya berusaha untuk bersikap biasa, apalagi saat sampai di rumah sakit dan melihat dua keponakan kembarnya. "Dia cantik sekali, Mba." Shanaya memuji bayi perempuan Rahma sambil menepuk-nepuk lembut bedong si bayi. Rahma hanya membalas dengan senyuman, dia mengalihkan tatapan dari Shanaya ke Oriaga lalu mengucapkan terima kasih."
Shanaya masih saja bersikap dingin ke Oriaga. Bahkan mengaku sedang datang bulan saat Oriaga mendekat padahal hanya bermaksud untuk mengajaknya bicara. Shanaya seolah menghindar, hingga Oriaga yang tak bisa melampiaskan hasrat dan rasa sesal pun uring-uringan. Oriaga yang terkenal tegas dan galak semakin menjadi-jadi hari itu. Aston bahkan takut jika hal yang buruk terjadi pada sang atasan. Aston yang hendak menyampaikan kalau Aditya ingin menemui Oriaga merasa sejak tadi belum mendapatkan momen yang tepat. [ Apa kamu sudah memberitahu pak Oriaga? ]Aston buru-buru menutup pintu ruang kerja Oriaga dan menjauh saat mendapatkan pesan dari Aditya. Jemari pria itu menari di atas layar dan malah mencurahkan isi hati. [ Sudah kamu lakukan saja pekerjaanmu dan laporkan saja semua besok. Suasana hatinya sedang kurang baik, aku bahkan takut jika dia terkena darah tinggi. Sejak datang ke kantor Pak Oriaga terus marah-marah ]Aditya heran sekaligus bingung dengan situasi macam apa yang sedang
Shanaya sendiri setelah selesai mengikuti kuliah sebenarnya ingin buru-buru pergi ke rumah sang ayah. Namun, langkah gadis itu harus terhenti karena Elkan lebih dulu menghalangi. "Apa benar kamu sudah menikah?"Pertanyaan pemuda itu agaknya membuat Shanaya merasa kurang nyaman. Dia pun memilih menghindar, tapi Elkan masih mengejar dan bahkan mencekal pergelangan tangannya."Aku sudah menikah, jadi jangan menyentuhku seenaknya!" Shanaya melempar tatapan tajam. Dia tak peduli jika Elkan tersinggung karena sikapnya. "Jadi kamu cuti kuliah untuk menikah?" Shanaya melepas cekalan Elkan secara kasar, dia sama sekali tak peduli jika mahasiswa lain melihat dan menganggapnya bersikap kurang sopan."El, bukankah aku sudah bilang jangan pernah mendekatiku lagi!"Shanaya menunjukkan sikap dingin seperti ini bukan tanpa alasan. Elkan yang menjadi incaran para mahasiswi beberapa kali membuat dirinya berada dalam masalah. Ya, Shanaya tidak akan mungkin lupa pernah ditinggal sendirian di gudang yan
Oriaga tak bisa tinggal diam dan hanya membiarkan Shanaya mendiamkannya seperti ini terus-terusan. Dia pun kembali menghubungi Aditya, meminta anak buahnya itu untuk memberitahu posisi Shanaya. Tanpa menunggu balasan dari Aditya, Oriaga keluar dari ruang kerja sambil memegang kunci mobil dan jas. Dia masuk ke dalam lift dan membuat Aston yang berada di dalamnya kebingungan sampai urung keluar. “Pak Ori, Anda mau ke mana?” Tanya Aston seraya memandang jas yang dipegang Oriaga. “Pergi mengurus masalah rumah tangga.” Jawaban Oriaga yang singkat, padat dan jelas membuat Aston membeku di posisi, dia tak mengejar saat pintu lift terbuka dan Oriaga melangkah pergi. Aston hanya menggaruk tengkuk lantas membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung. “Astaga, ternyata cinta bisa merubahnya juga,” gumam Aston. Sementara Oriaga memutuskan bergerak menyusul ke lokasi di mana Shanaya berada, saat ini Aditya masih harus waspada karena belum mengetahui sosok orang yang juga mengikuti Sha
Shanaya terhanyut, amarahnya yang sejak kemarin seperti api yang menyulut hati tiba-tiba saja hampir padam karena sentuhan lembut bibir Oriaga. Meskipun sedikit kasar di awal, tapi pria itu perlahan melumat bibir Shanaya penuh perasaan. “Tidak! Tidak bisa begini, aku butuh penjelasan. Aku tidak mau dia membuatku bingung.” Shanaya mendorong dada Oriaga hingga pagutan mereka terlepas. Wanita itu menutup mulut menggunakan punggung tangan sambil melempar tatapan tajam. “Apa kamu sudah gila? Bagaimana kalau Naila melihat?” Shanaya menoleh ke belakang, sedangkan Oriaga hanya diam sambil mengusap bibirnya yang basah menggunakan ibu jari. “Begini kelakuanmu padaku? Jangankan memanggil sayang atau suamiku, kamu bahkan tidak memanggilku Oom lagi.” Balasan Oriaga membuat Shanaya tak bisa lagi membantah. Shanaya meraih pergelangan tangan Oriaga dan meminta suaminya itu pergi dari rumah sang ayah. “Aku akan pulang sendiri kalau ibu dan ayah sudah kembali dari rumah orangtua Mbak Rahma, jadi
Tak tinggal diam, Oriaga pun merebut mangkuk kemudian duduk memunggungi Shanaya. Dia menyantap makanan itu dengan sangat lahap bahkan tak lebih dari sepuluh menit mi dan kuahnya habis tak berbekas.Oriaga menoleh kembali, menggeser mangkuk yang sudah kosong melompong ke arah Shanaya. "Bukannya tadi Oom bilang rasanya kimia?" "Aku lapar, seharian tidak nafsu makan karena memikirkanmu yang marah," ucap Oriaga.Shanaya menelan ludah dan merasa sangat bersalah. Dia tak bisa melakukan apa-apa selain mengambil mangkuk kosong itu lantas berdiri untuk mencucinya.Oriaga sendiri semakin merasa bersalah, wajah Shanaya yang tak seceria biasanya membuat Oriaga merasa dirinya memang kurang bijaksana dalam menyampaikan keputusan perihal anak.Sejenak Oriaga pun memandangi punggung Shanaya, setelah itu berdiri dan pergi dari ruang makan. "Suami Mbak sudah pulang?" Tanya Naila melihat Shanaya masuk ke kamarnya. "Ngomong-ngomong Kalian lagi marahan ya?" Shanaya yang berdiri di dekat meja belajar Na
"Isaak," jawab Oriaga. "Oh ... sahabat Oom. Angkat saja dulu! Siapa tahu penting."Shanaya merespon dengan nada biasa, tapi entah kenapa terdengar seperti kekecewaan di telinga Oriaga. Terlebih Shanaya mengatakannya sambil membenarkan baju yang sudah dia buat kusut.Namun, alih-alih melakukan apa yang Shanaya minta, Oriaga malah menggeleng, dia hampir meletakkan ponsel ke lantai lift saat Shanaya mencengkeram erat kemejanya."Kenapa?" Oriaga kaget mendapati Shanaya melebarkan manik mata."Sepertinya aku datang bulan betulan!"Setelah mengatakan itu Shanaya buru-buru menekan pintu lift agar terbuka, dia berlari secepat kilat menuju kamar meninggalkan Oriaga — yang terlanjur menolak panggilan Isaak. Wajah Oriaga tampak kesal, bahkan dia memungut jasnya yang teronggok di lantai dengan kasar. Oriaga lantas berjalan menyusul Shanaya yang bahkan tak menutup pintu kamar. Pria itu menekuk satu tangan ke pinggang kemudian menyandarkan badan ke pintu. Jujur dari lubuk hatinya yang paling dala
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu