Jangan lupa masukin kisah ini ke rak , rate bintang lima dan bagi gem ya geng mamacih
Aston mencoba memastikan pendengarannya tidak keliru dengan mengulang ucapan Oriaga. Tatapan tajam dari atasannya itu sudah cukup menjadi jawaban kalau dirinya tidak keliru. "Baik, saya akan melakukan perintah Anda," ujar Aston sambil membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung."Satu lagi! Aku ingin temanmu yang bernama Aditya bekerja padaku.""Apa, Pak?" Aston tercenung, bahkan selama beberapa detik dia sampai lupa untuk mengambil napas. "Kamu pikir aku tidak tahu kalau sebelum melamar menjadi sekretarisku kamu adalah seorang bodyguard dan bekerja di sebuah jasa pengamanan?" Oriaga tersenyum miring tanpa memandang Aston, karena sibuk membubuhkan tanda tangan di berkas yang harus Aston bawa."Orang lain mungkin tidak bisa melihat, tapi aku tahu kamu sengaja menyembunyikan otot di balik bajumu yang longgar."Aston menelan ludah, sama sekali tak menyangka Oriaga bisa mengetahui masa lalunya. Meskipun ada perasaan ingin berbohong, tapi Aston sadar jika sampai melakukan itu, m
Shanaya yang tak menyadari kalau adik-adik Oriaga mengikutinya pun akhirnya sampai di rumah. Dia mengucap salam dan langsung mencari keberadaan Nugroho di kamar. Awalnya Shanaya cemas memikirkan Ariani yang mungkin masih memperlakukan Nugroho dengan buruk, tapi mendapati wanita itu berbicara lemah lembut ke sang ayah membuat Shanaya lega. “Eh … Shana datang, kamu langsung ke sini atau ke rumah sakit dulu?” Nada bicara Ariani yang berbeda malah membuat Shanaya curiga. Dia mendekat untuk mencium tangan wanita itu lalu Nugroho. Di sana juga ada Ricky dan Naila, hanya Rahma saja yang tidak tampak karena masih berada di rumah orangtuanya. “Tadi aku ke rumah sakit dan perawat bilang ayah sudah pulang.” Shanaya menjawab pertanyaan Ariani apa adanya dan masih bingung kenapa ibu tirinya ini tampak semringah. “Ya sudah kamu temani ayahmu, ibu sama masmu mau pergi dulu. Ibu ‘kan sudah bilang mau syukuran karena ayah sudah boleh pulang. Jadi mau belanja makanan buat dibagikan ke tetangga.” Ari
Shanaya sebenarnya bukan gadis bodoh, hanya saja terkadang terlalu baik hingga kebaikannya itu dimanfaatkan oleh orang lain untuk menindasnya. Shanaya bahkan selalu menepis perasaan curiganya ke orang lain termasuk ke Farah. “Ngomong-ngomong, aku sebenarnya malu menanyakan ini, tapi aku butuh sedikit saran,” ucap Shanaya. Dia sampai mendekatkan wajah ke Farah takut jika sampai ada yang mendengar meskipun toko kue itu sedang sepi. “Apa? Kamu membuatku takut saja.” Farah tampak cemas, dia takut Shanaya curiga dengan gelagat aneh yang dia buat. Sebenarnya tanpa seorangpun tahu, selain menjadi pelayan Wonderflo, Farah juga memiliki pekerjaan sebagai kupu-kupu malam. Beberapa bulan yang lalu tanpa sengaja Farah bertemu dengan Shanaya di King Hotel saat akan melayani pelanggan, dia berpura-pura membantu Shanaya yang mabuk dan kabur meninggalkan temannya itu di dalam lift seorang diri. Farah takut karena sudah berbohong pada pria yang memesannya dengan mengaku masih perawan.Setelah malam
Andra masih berdebat dengan Arumi setelah Shanaya pergi, dia bahkan marah dan berkata akan mengadu ke Oriaga atas perbuatan jahat tantenya ini."Tante tidak bisa memperlakukan Shanaya seperti itu, dia istri paman dan seharusnya tante Arumi menghormatinya!""Adukan saja aku ke kak Ori dan aku juga akan mengadu kalau kamu menyukai Shanaya. Kamu pikir aku tidak tahu? Ha!" Balas Arumi sambil membusungkan dada seolah menantang Andra berkelahi.Keributan itu jelas memicu perhatian dari para pelayan. Tak ayal Masayu dan Kirana datang tergopoh setelah Rini memberitahu keributan yang terjadi."Andra! Sudah berhenti!" Bentak Masayu. Melihat sang kakak datang Arumi pun bicara ke Masayu tapi dengan tatapan tertuju pada Andra."Nasihati anakmu ini, jika dia berani mengadu pada kak Ori, maka aku akan membuat perhitungan dengannya."Masayu sedikit gentar mendengar ancaman Arumi. Tak sampai di situ, Arumi kembali mengancam para pelayan yang menyaksikan."Kalau ada yang berani mengadu soal ini ke pak
Shanaya diam tak menjawab, ingin rasanya dia mengadu, meminta bantuan ke Oriaga — satu-satunya orang yang Andra sebut bisa dia percaya di rumah utama.Namun, menyadari bahwa hubungannya dengan Oriaga tak sedekat apa yang orang lain pikirkan membuat hati Shanaya ragu. Dia tidak ingin menggantungkan harapan atau apapun ke pria itu."Kenapa hanya diam? Apa kamu ingin tahu alasan di balik rasa takut semua orang di rumah ini padaku? Ayo aku tunjukkan!"Oriaga menarik pergelangan tangan kiri Shanaya bermaksud menggelandangnya ke luar kamar. Shanaya yang ketakutan pun menghentikan langkah kaki, dia mencekal lengan Oriaga menggunakan tangan kanan hingga pria itu menoleh. Tak pelak tatapan mata mereka saling bertemu. Shanaya buru-buru menggeleng, meski tak mengeluarkan sepatah kata tapi Oriaga tahu Shanaya sedang memohon agar dia tidak melakukan niatannya barusan."Kamu tahu? Aku paling benci menjadi satu-satunya orang yang tidak mengetahui sesuatu, apalagi yang terjadi di rumahku sendiri.""A
Shanaya tak memikirkan hal yang macam-macam saat Masayu menantang untuk mengecek kamera pengawas. Berbeda dengan Oriaga yang menyadari gelagat aneh sang adik. Dia yang sudah tinggal bersama Masayu puluhan tahun pun paham jika ada yang tidak beres di sini."Ayo kita ke ruang kontrol Cctv untuk mengecek sama-sama!" Masayu kembali bicara dan menantang. Dia cukup percaya diri hingga Oriaga berjalan mendahului mereka menuju ruang kontrol Cctv. Malik yang bertugas mengawasi kamera keamanan rumah pun kaget saat melihat Oriaga dan yang lain datang ke ruang kerjanya. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres terjadi, apalagi beberapa saat yang lalu Masayu baru saja datang menemuinya meminta melakukan sesuatu seperti biasa."Tunjukkan rekaman kamera pengawas dari depan lift pribadiku!" Titah Oriaga.Tanpa bertanya Malik bergegas melakukan apa yang Oriaga perintahkan. Dia membuka rekaman bahkan mengulanginya beberapa kali agar semua orang bisa melihat secara seksama, hingga mereka sadar kalau kej
Shanaya memalingkan badan, berpura-pura tak melihat dan berjalan cepat menuju ke kamar. Dia menyentuh dada, rasanya sakit seolah tak terima melihat Arumi memeluk Oriaga seperti tadi."Tidak! Itu bentuk rasa sayang adik ke kakaknya," ucap Shanaya saat pikiran negatif merasuki otaknya.Shanaya ingin membuang rasa gelisah yang menyergap, tapi tidak bisa dan tidak mudah, di matanya Arumi tampak seperti wanita yang menyukai pria, bukan adik perempuan ke kakak laki-lakinya. "Jangan Shana! Kamu tidak boleh memiliki perasaan seperti itu." Shanaya bermonolog lantas berjalan buru-buru menuju ranjang. Dia menarik selimut sampai sebatas leher mencoba untuk tidur agar tidak memikirkan apa yang terjadi di antara Oriaga dan Arumi."Lepaskan! Apa yang kamu lakukan?" Oriaga menghardik Arumi yang memeluk dirinya dengan sangat mesra."Berapa kali aku bilang? Kalau kamu sampai melakukan ini lagi, maka aku tidak akan segan menendangmu keluar." Oriaga menghempaskan kasar tangan Arumi. Dia memutar tumit d
"Apa yang ingin kamu ubah?""Waktu perjanjian, aku ingin Oom mengubahnya dengan pasti, aku merasa rugi karena perasaan takut dibuang begitu saja selalu membuatku gelisah," kata Shanaya. "Karena batas perjanjian yang tidak pasti itu, aku selalu berpikir posisiku tidak lebih dari seorang PSK dan bukan istri. Apapun yang Oom pikirkan tentangku, entah Oom menganggap aku budak seks, PSK atau sugar baby terserah, tapi Oom harus tahu salah satu alasan kenapa aku tidak melawan kak Arumi selain yang sudah aku sebutkan, itu karena aku rendah diri." Shanaya menatap Oriaga yang masih mengurung tubuhnya tanpa sedikitpun rasa takut. Memang pantas jika Oriaga menyebutnya naif, karena hanya perlakuan kecil dari pria itu saja bisa membuatnya jatuh hati."Biarkan aku memiliki Oom selama batas waktu yang pasti. Lalu kita berpisah dengan baik tanpa menyisakan sedikitpun rasa penyesalan."Oriaga terperanjat, dia cukup tak percaya Shanaya bisa mengajukan permintaan seperti ini dan lagi berlandaskan perasa
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu