Shanaya memalingkan badan, berpura-pura tak melihat dan berjalan cepat menuju ke kamar. Dia menyentuh dada, rasanya sakit seolah tak terima melihat Arumi memeluk Oriaga seperti tadi."Tidak! Itu bentuk rasa sayang adik ke kakaknya," ucap Shanaya saat pikiran negatif merasuki otaknya.Shanaya ingin membuang rasa gelisah yang menyergap, tapi tidak bisa dan tidak mudah, di matanya Arumi tampak seperti wanita yang menyukai pria, bukan adik perempuan ke kakak laki-lakinya. "Jangan Shana! Kamu tidak boleh memiliki perasaan seperti itu." Shanaya bermonolog lantas berjalan buru-buru menuju ranjang. Dia menarik selimut sampai sebatas leher mencoba untuk tidur agar tidak memikirkan apa yang terjadi di antara Oriaga dan Arumi."Lepaskan! Apa yang kamu lakukan?" Oriaga menghardik Arumi yang memeluk dirinya dengan sangat mesra."Berapa kali aku bilang? Kalau kamu sampai melakukan ini lagi, maka aku tidak akan segan menendangmu keluar." Oriaga menghempaskan kasar tangan Arumi. Dia memutar tumit d
"Apa yang ingin kamu ubah?""Waktu perjanjian, aku ingin Oom mengubahnya dengan pasti, aku merasa rugi karena perasaan takut dibuang begitu saja selalu membuatku gelisah," kata Shanaya. "Karena batas perjanjian yang tidak pasti itu, aku selalu berpikir posisiku tidak lebih dari seorang PSK dan bukan istri. Apapun yang Oom pikirkan tentangku, entah Oom menganggap aku budak seks, PSK atau sugar baby terserah, tapi Oom harus tahu salah satu alasan kenapa aku tidak melawan kak Arumi selain yang sudah aku sebutkan, itu karena aku rendah diri." Shanaya menatap Oriaga yang masih mengurung tubuhnya tanpa sedikitpun rasa takut. Memang pantas jika Oriaga menyebutnya naif, karena hanya perlakuan kecil dari pria itu saja bisa membuatnya jatuh hati."Biarkan aku memiliki Oom selama batas waktu yang pasti. Lalu kita berpisah dengan baik tanpa menyisakan sedikitpun rasa penyesalan."Oriaga terperanjat, dia cukup tak percaya Shanaya bisa mengajukan permintaan seperti ini dan lagi berlandaskan perasa
Shanaya mengatupkan bibir rapat-rapat. Sebesar apapun rasa rindunya ke pak Wira, tapi dia lebih takut ke Oriaga. Shanaya putar badan, tersenyum manis di depan suaminya sebelum berlari masuk ke kamar ganti. âTidak usah ganti baju hanya untuk menemui pak Wira, mandi sana!â Sewot Oriaga. Shanaya malah tertawa-tawa, dia sudah hampir melewati pintu kamar ganti tapi kembali hanya untuk memeluk pinggang Oriaga dari belakang. âJangan galak-galak! Oom membuatku merasa seperti sedang dimarahi oleh ayah,â protes Shanaya. âDasar! Aku pikir mendapat istri, tapi ternyata bayi.â Oriaga memutar tumit karena Shanaya melonggarkan pelukan, dia berusaha untuk tidak tertawa saat menyadari istri kecilnya memajukan bibir, Shanaya tanpa takut menunjukkan sikap manja padanya. Oriaga gemas lalu menarik pinggang Shanaya hingga tubuh mereka menempel satu sama lain, setelah itu dia menekankan bibirnya ke bibir Shanaya sampai gadis itu memejamkan mata rapat-rapat. âTuan! Apa Anda baik-baik saja?â Suara pak
Shanaya tak begitu saja merespon permohonan Arumi. Dia malah memandang ke Andra yang menggeleng pelan memintanya untuk tidak mengiyakan keinginan tantenya itu. Shanaya pun mundur ke belakang Oriaga, dia meminta maaf karena tidak bisa melakukan apa yang Arumi minta. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa melawan keputusan yang sudah suamiku buat." Oriaga memandang datar Arumi yang syok karena tak percaya Shanaya akan menolak permohonannya, pria itu kemudian meminta penjaga membawa sang adik pergi dari hadapannya dan semua orang. Meski sudah tidak ada yang mau membantunya, Arumi masih terus memberontak dan meracau, dia menyebut Oriaga terlalu berlebihan hanya karena Shanaya sampai tega memperlakukan dirinya seperti ini. "Nyonya, tenangkan diri Anda! Bukankah Anda sudah tahu aturannya. Anda hanya perlu bersikap baik dan kembali lagi ke sini,â ucap pak Wira. Dia berusaha membujuk Arumi bahkan ikut keluar menuju teras rumah. âAwas saja! Aku akan membuat perhitungan dengan gadis kampungan itu,â u
Karena ucapan Oriaga, Shanaya pun memikirkan hal yang tidak-tidak. Apa suaminya tidak lelah? Miliknya saja masih terasa kebas setelah percintaan mereka semalam dan sekarang Oriaga ingin melakukannya lagi.Namun, Shanaya keliru. Dia merasa malu saat tahu ternyata bukan itu yang dimaksud oleh Oriaga. Pria itu menghubungi pak Wira, meminta kepala pelayan rumahnya itu untuk mengirim beberapa pelayan ke kamar agar bisa membantunya menggeser beberapa barang.âAyo duduk! Aku akan mulai bekerja supaya bisa cepat pergi ke rumah ayah,â ucap Oriaga setelah pelayan melakukan apa yang dia inginkan dan pergi.Shanaya melongo tak percaya, tapi setelah itu tersenyum gembira. Oriaga menempatkan meja belajarnya persis di depan meja kerja sehingga mereka bisa saling berhadap-hadapan dan memandang wajah satu sama lain.âBagaimana bisa aku belajar kalau seperti ini?â Gumam Shanaya, dia lirih mengatakan itu tapi Oriaga ternyata masih bisa mendengar dan bahkan merespon.âKenapa? Apa wajahku yang tampan ini
Oriaga tertawa tak percaya mendengar penjelasan Shanaya. Sepanjang perjalanan menuju rumah Nugroho gadis itu bercerita bagaimana bundanya juga mengalami hal yang sama saat ada pria yang menyatakan cinta."Jadi tertulis di buku untuk Shana, kalau Bunda akan bersin-bersin saat ada laki-laki yang benar-benar tulus mencintainya."Oriaga agak heran juga mendengar cerita Shanaya. Menurutnya ibunda gadis itu cukup unik. Bukannya menulis buku harian, tapi malah menulis kisah yang ingin dibagikan ke sang anak."Aku masih heran bagaimana bisa bundamu menulis semua itu." Oriaga akhirnya mengungkapkan rasa penasarannya."Hm ... akupun heran, mungkin karena Bunda tahu tidak akan bisa bertahan karena penyakitnya."Shanaya tersenyum hambar. Kehilangan sang Bunda di usia yang masih belia membuatnya seolah menjadikan buku yang ditulis oleh sang bunda sebagai bentuk pengganti perhatian dan kasih sayang."Oom sekarang pasti bisa menebak. Bundaku menikah dengan ayah juga karena dia bersin saat ayah menya
Oriaga mengakhiri panggilannya tanpa mendengarkan dengan baik penjelasan dari orang yang dia hubungi. Dia memasukkan ponselnya lagi ke dalam kantong celana lalu memandang Shanaya yang sepertinya syok melihat betapa arogan dirinya ke orang lain. Padahal jelas ini bukan kali pertama gadis itu melihat."Aku hanya sedang memberi kritik, lagipula ini juga demi kebaikan perusahaannya. Aku sudah menyelamatkannya dari kehancuran,â ujar Oriaga dengan sangat jemawa. Shanaya yang terlalu terkejut hanya mengangguk-angguk, dia pasrah saja saat Oriaga kembali melangkah. Shanaya tidak ingin membahas gunjingan dua pelayan toko perhiasan tadi, karena pasti akan memperburuk suasana hati sang suami.âEm ⌠apa ini kencan pertama kita?â Shanaya bertingkah ceria, bahkan berjalan ke depan Oriaga sambil memulas senyuman menawan. Oriaga menghentikan ayunan kaki. Dia sendiri tidak sedikitpun memiliki pikiran semacam itu. Namun, karena Shanaya membahas, Oriaga pun menjawab dengan gelengan kepala. âBukan?â Sh
âPak Wira sudah menyiapkan baju untuk, Oom.â Shanaya baru saja masuk ke kamar dan langsung menuju kamar ganti. Awalnya dia ingin menyiapkan pakaian yang akan dibawa Oriaga pergi. Namun, akhirnya memutar tumit melihat sebuah koper sudah berada di dekat meja penyimpanan. Shanaya mencoba menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja, tapi ekspresi wajahnya jelas tak bisa mengelabuhi Oriaga. Shanaya seolah tak peduli dengan Oriaga yang sejak tadi memandang padanya. Dia memilih mendekat ke meja belajar, mengangkat tas berisi buku-buku yang baru saja Oriaga belikan lalu mulai menyusun rapi di sana. Oriaga sendiri setelah menutup pintu hanya bisa diam melihat tingkah Shanaya, sampai beberapa saat kemudian dia menyadari gadis itu sedang tidak baik-baik saja karena terdengar menghela napas berkali-kali. âApa kamu pikir aku tidak akan pulang?â Tanya Oriaga. âKenapa bicara seperti itu?â Shanaya marah, bibirnya mengerucut tapi tak lama dia bersikap biasa karena takut Oriaga kesal. âSejak tahu aku
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, âApa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?â Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. âBukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?â tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. âMereka sangat bahagia,â ucap Shanaya ke Oriaga. âKita juga,â balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,âSaya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.âTernyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.âBaju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--â Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.âKenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,â ucap Shanaya.âMemangnya Pak Wira men
âKenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,â ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.âItu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,â ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.âApak amu sudah siap?â tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,âBagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?â âLancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,â jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. âKenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,â ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. âAku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,â balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. âSombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.â Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.âJangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,â ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.âApa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,â ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.âApa kondisi Anda sudah membaik?â tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. âAda apa?â Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. âPaman ada di mana?â tanya Andra dengan suara yang masih panik. âAku sedang ada urusan di luar,â jawab Oriaga, âada apa?â tanya pria itu lagi. âBagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. âSudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,â ucap Oriaga dari seberang panggilan. âBagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,â balas Andra. âTenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,â ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.âApa kamu masih di rumah sakit?â tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.âIya,â jawab Mauri dari seberang panggilan.âAku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,â ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.âSyukurlah kalau memang seperti itu.âAda kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.âSampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.ââHm ⌠aku akan coba bertanya dulu ke Papa,â balas Mauri dari seberang panggilan.âAku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,â ucap Andra.âPasti aku kabari segera,â balas Mauri. âOh ⌠ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. âAndra, tumben kamu datang pagi sekali?â sapa Shanaya. âIya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. âItu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?â Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, âMaksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.â Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. âMakanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,â ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
âTidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,â ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. âBaiklah, tapi hati-hati,â ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.âTunggu, saya ingin bicara dengan Anda,â ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.âIzinkan saya bicara pada Anda Pak,â ucap Andra membujuk.âTidak ada yang perlu