Arumi berusaha bersikap biasa meski sudah tahu kalau keponakannya saat ini sedang berencana menikahi gadis yang sangat dia benci. Saat Masayu ingin mengajaknya bicara, Arumi memilih menghindar, dia pergi ke kamarnya lantas merenung di sana. Setelah kejadian kecelakaan yang menimpa Shanaya di Jerman. Arumi merasa bahwa Oriaga tak sekuat apa yang dia pikirkan. Nyatanya, Pria itu kecolongan dan masih membiarkannya saja. Arumi pun tersenyum miring, merasa berada di atas awan karena yakin Shanaya tidak akan mungkin bisa menyentuhnya juga. “Ternyata dia anak Kak Isaak, pantas wajahnya jauh dari kata kampungan. Gadis sialan itu sejatinya memiliki nasib mujur, tapi sayang sekali dia sudah membuatku kesal,” ujar Arumi. Dia menoleh ke arah cermin untuk melihat pantulan dirinya sendiri yang sedang tersenyum licik.Sementara di luar sana, Kirana menarik Andra masuk ke ruang keluarga. Gadis itu ingin meminta penjelasan soal Shanaya yang kehilangan ingatan. “Apa benar dia tidak ingat apapun? Bag
“Marilah bertetangga dengan baik, Ori! Jangan menghindari Shana, bukankah dengan berpisah artinya takdir buruk kalian sudah putus?” Shanaya sedikit tidak percaya mendengar ucapan Isaak. Saat ini, dia dan pria itu tampak sedang duduk berhadapan di meja makan. Isaak baru saja bercerita tentang perbincangannya bersama Oriaga semalam. Agar Shanaya tidak marah dia menjelaskan bahwa dari lubuk hati yang terdalam, dia mencoba mendekatkan lagi Shanaya dan Oriaga. “Apa tujuan Papa bicara seperti itu?” Ketus Shanaya. Namun, bukannya menjawab Isaak malah tertawa, dia senang karena lidah putrinya sudah terbiasa memanggil Papa. “Kamu masih mencintainya ‘kan? Aku yakin Ori juga masih mencintaimu.” Bukannya senang, Shanaya malah gelisah. Dia menerima uluran gelas berisi susu dari Isaak tapi tak segera meminumnya. Shanaya memainkan telunjuk di bibir gelas itu sebelum berkata – “Bagaimana dengan Andra? Dia sudah melamarku dan aku menerima.” Shanaya memandang cincin yang tersemat di jari manis,
Andra tertegun saat menemui Shanaya. Dia tak menyangka kalau gadis yang sangat dicintainya itu kini tinggal satu gedung dengan Oriaga. Andra masih tak mencurigai sesuatu, bahkan tadi saat menelepon dan ingin datang ke penthouse, Shanaya memersilahkan dengan sangat antusias.Namun, tak disangka Andra seperti mendapat syok terapi, saat berpapasan dengan Pak Wira dan pelayan yang baru saja selesai bersih-bersih.Andra bingung harus bagaimana, dia jelas tidak ingin kalau sampai Shanaya terus bertemu dengan Oriaga hingga berakibat ke ingatan yang bisa kembali kapan saja."Apa kamu tidak ingin pindah dari sini?"Pertanyaan Andra membuat Shanaya yang sedang menuang jus ke dalam gelas menghentikan gerakan tangan. Shanaya yang berdiri memunggungi Andra pun memilih diam sejenak untuk berpikir, kemudian lanjut menuang jus sebelum menoleh Andra."Kenapa harus pindah? Memang kamu tahu Papaku punya berapa properti di kota ini?" Tanya Shanaya sembari duduk di depan Andra dan meletakkan gelas berisi
Di tempat lain, Arumi terlihat berada di studionya. Setelah kejadian kecelakan yang menimpa Shanaya, Arumi memang memilih untuk tak banyak tingkah untuk mengurangi kecurigaan orang padanya.Arumi sibuk mengecek beberapa desain perhiasan yang akan dibawa ke pameran nantinya, saat asistennya masuk menghampiri.“Saya baru saja mendapatkan laporan kalau persiapan pameran sudah hampir seratus persen selesai,” ucap Ira begitu berdiri di depan Arumi.“Tidak ada kendala, kan?” tanya Arumi sambil memilah desain perhiasan buah karyanya.“Tidak ada Bu, semuanya berjalan sesuai rencana. Semoga lancar sampai acara nanti berakhir,” jawab asisten Arumi itu.Arumi pun merapikan kertas desain miliknya, lantas memandang Ira yang berdiri di hadapannya.“Ayo pergi ke hotel untuk mengecek apa benar persiapan tempatnya hampir selesai,” ujar Arumi mengajak sang asisten pergi.Arumi mengambil tas yang ada di atas meja, lantas keluar dari studio bersama Ira. Mereka pergi ke hotel tempat Arumi akan mengadakan
Arumi dan Masayu tak menyangka Shanaya muncul apalagi sambil bertanya seperti itu pada mereka. Masayu sendiri semakin kaget saat melihat Celine berada di gendongan Shanaya dalam kondisi diam dan tenang. Padahal bayi perempuan itu bisa dibilang cukup susah jika bertemu orang asing. Karena selama ini keberadaannya disembunyikan olehnya."Siapa kamu berani ikut bicara?" Bentak Arumi. Shanaya hampir saja membalas ucapan Arumi, tapi dia sadar kalau saat ini tidak ada yang boleh tahu sandiwaranya. Shanaya memandang Andra, seolah mencoba bertanya siapa wanita yang baru saja membentak ini."Shana dia tante Arumi dan ini Mamaku," ucap Andra memperkenalkan dua wanita yang membuatnya malu itu.Shanaya berpura-pura kaget, seolah menyesal dia lantas membungkuk memberi salam pada Masayu dan ArumiMasayu terbengong melihat sikap Shanaya, sedangkan Arumi memilih membuang muka sambil melipat tangan ke depan dada."Maaf kalau aku kurang sopan," kata Shanaya.Di saat mereka masih gaduh seperti ini, Ki
Andra menggeleng menjawab pertanyaan Shanaya lantas berkata,“Tidak, mereka pasti capek setelah perjalanan jauh. Jadi biar istirahat dulu, kedatanganku mungkin saja bisa membuat Issa tak mau tidur."Andra menoleh sekilas Shanaya sebelum kembali fokus ke jalanan. Sedangkan gadis di sebelahnya hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban darinya.Mobil Andra pun melaju menuju gedung tempat tinggal Shanaya, hingga saat sampai di parkiran, Shanaya meminta agar Andra pulang saja. “Kamu tidak perlu mengantarku sampai ke atas Kamu pulang dan istirahatlah,” ucap Shanaya sambil melepas seat belt.“Baiklah,” balas Andra tak mempertanyakan keinginan Shanaya.Shanaya tersenyum tipis menanggapi balasan Andra. Tak menyangka saat hendak turun dari mobil, Andra tiba-tiba menahan pergelangan tangannya.Andra berniat memberikan ciuman perpisahan, tapi Shanaya secara impulsif memundurkan kepala, hingga membuat pemuda itu kaget. Andra menatap Shanaya yang menghindarinya dengan kening berkerut, heran kenapa
Shanaya terus saja memikirkan tentang keberadaan Farah di kediaman Oriaga. Hingga saat masuk ke dalam penthouse-nya dia langsung duduk diam di kursi makan.Wajah Shanaya yang cemberut membuat Isaak dan Amora merasakan ada sesuatu yang janggal."Kamu baik-baik saja 'kan?" Amora bertanya penuh perhatian, dan Shanaya hanya memberikan anggukan kepala pelan sebagai balasan. Untuk menutupi perasaan, gadis itu mengajak Amora dan Isaak untuk menyantap makanan yang sudah dia buat.Bahkan seolah masih melupakan masa lalunya, di depan Amora, Shanaya bersikap sangat manja ke Isaak. Hal ini membuat Isaak merasa miris sekaligus senang. Dia senang karena Shanaya menjadi sosok anak yang amat sayang padanya. Namun, di waktu yang sama miris karena mungkin Shanaya hanya bersandiwara karena ada Amora dan Issa di antara mereka."Shana memang pandai masak, benar-benar tipe istri idaman, kalau begini Andra beruntung sekali mendapatkanmu."Pujian dari Amora membuat Isaak melirik Shanaya. Dia penasaran menun
Setelah kejadian di klub berkuda, Oriaga semakin tak bisa untuk tidak memikirkan Shanaya. Perasaan rindu yang setahun belakangan ini dirinya pendam seolah memenuhi dada dan berkecamuk di sana.Hingga siang itu, Oriaga memilih pulang ke penthouse karena tidak bisa fokus bekerja. Dia bahkan membuat Aston khawatir saat pamit pergi."Pak, Anda baik-baik saja 'kan? Apa perlu saya minta dokter Nadine datang?" tanya Aston sebelum Oriaga benar-benar meninggalkan ruangannya."Tidak, aku hanya butuh istirahat saja. Maaf kalau membuatmu cemas."Aston hanya bisa diam memandang punggung Oriaga menjauh. Dalam hati dia merasa prihatin juga iba ke atasannya itu. "Di umurnya sekarang, seharusnya dia bisa menikmati kebahagiaan bersama istri dan anak-anaknya, tapi malah begini."Aston geleng-geleng, membuang napas kasar sampai pundaknya luruh sebelum mengemasi berkas-berkas yang ada di atas meja Oriaga. Setengah jam kemudian, Oriaga sampai di tempat tinggalnya. Entah kenapa dia berharap bisa bertemu Sh
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu