Ingin rasanya Amora menolak ucapan Isaak itu, tapi Issa memilih merajuk lebih dulu seolah paham dengan niat di hati sang mama.“Ayolah, Ma. Aku mau jalan-jalan sama Papa dan Mama. Ini mimpiku sejak lama.” Issa mengeluarkan jurus merayu. Kata-kata bocah berumur lima tahun itu terdengar seperti orang yang sudah dewasa."Mama! Ayo Ma." Issa mulai merengek sambil mengguncang lengan Amora.Amora akhirnya tak bisa menolak hingga akhirnya memilih setuju dengan permintaan Isaak. Pria yang masih berstatus suaminya itu tertawa senang, terlebih melihat Issa melompat-lompat kegirangan. Sedangkan Amora sendiri memilih membuang muka sambil mengembuskan napas kasar.Isaak pun akhirnya mengantar Amora bertemu dengan teman-temannya di sebuah restoran mewah. Di sana dia juga memesan satu tempat yang tak jauh dari meja yang ditempati Amora dan teman-temannya.Amora sesekali melirik Isaak yang terlihat bermain dengan Issa, hingga salah satu temannya berbisik ke telinga untuk menggoda.“Apa hari ini akan
Setelah dua hari berlibur, Oriaga dan Shanaya pun akhirnya pulang. Keduanya terlihat sangat bahagia. Aura yang terpancar dari wajah mereka membuat pelayan rumah utama terutama Pak Wira merasa senang."Tuan, Nona, apa ada yang Anda butuhkan?" Tanya Pak Wira sopan selepas meminta pelayan membawakan koper Oriaga juga Shanaya ke kamar."Belum ada. Kami mau istirahat di kamar, jangan diganggu! Kalau butuh sesuatu aku pasti akan menghubungi Pak Wira," ucap Oriaga.Pak Wira mengangguk sambil memulas senyum tipis, dia memandang tangan Oriaga yang sejak tadi tak lepas menggenggam erat tangan Shanaya. Sementara Shanaya sendiri terlihat kuyu seperti orang yang kurang tidur. Hal ini membuat bagian otak Pak Wira yang sedikit kotor menduga-duga kalau Nonanya itu harus bekerja keras selama liburan di Kilikili.Oriaga pun memengajak Shanaya ke kamar. Sesaat setelah masuk, Shanaya meminta izin untuk mencuci muka, sedangkan Oriaga sendiri memilih mengaktifkan kembali ponsel yang kemarin sengaja dia mat
Sore harinya Shanaya pulang dari kampus dan merasa sedikit letih. Dia baru saja masuk rumah dan melihat Aditya yang sedang bicara dengan Pak Wira di ruang tamu juga Pak Ali.“Apa Pak Oriaga menghubungimu?” tanya Aditya saat melihat Shanaya datang.Shanaya sedikit bingung mendengar pertanyaan Aditya, dia sampai menatap pria itu, Pak Wira juga Pak Ali bergantian.“Tidak,” jawab Shanaya, “apa terjadi sesuatu dengannya?” tanya Shanaya yang seketika panik.“Tuan Oriaga dan Aston tidak bisa dihubungi sejak pagi, Kami tidak tahu mereka ke mana karena hanya Aston yang tahu jadwal Tuan Oriaga," ujar Pak Wira menjelaskan."Setelah mengantar Tuan ke kantor, Tuan meminta saya kembali ke rumah karena beliau akan seharian sibuk bersama Mas Aston." Pak Ali ikut menjelaskan.Shanaya pun kebingungan kemudian membalas, “Harusnya pagi ini suamiku melakukan check up rutin ke rumah sakit.”Aditya dan Pak Wira saling pandang, keduanya pun mengangguk lantas mengajak Shanaya bergegas pergi ke rumah sakit.Sha
"Tidak ada yang perlu disesali. Aku bahkan meminta maaf berkali-kali karena merasa sangat bersalah pada Pak Ori, tapi tidak pernah aku melihatnya sepasrah ini selama menjadi sekretarisnya," ucap Aston.Pak Wira dan Aditya diam mendengarkan dengan seksama perkataan Aston yang sejak kejadian terus bersama Oriaga."Pak Ori bilang tidak perlu cemas, dia baik-baik saja tapi aku tadi melihat bekas suntikan alat untuk mengambil sampel sumsum tulang itu, karena Pak Ori meminta diambil fotonya."Mendengar itu Pak Wira seketika bisa menerka satu hal. Oriaga mungkin berencana menuntut perbuatan Anne ini ke ranah hukum. "Apa Pak Ori .... " Pak Wira menggantung lisan. Dia ragu, karena meskipun membenci Anne tapi Pak Wira tahu kalau Oriaga sangat merindukan kasih sayang wanita itu.Seolah tahu maksud dari Pak Wira, Aston pun mengangguk. Dia menjelaskan kalau Oriaga tadi memintanya untuk mengambil foto beberapa bukti dan juga sudah menghubungi pengacara. "Tidak hanya ibunya, tapi Pak Oriaga juga a
Ermanu berada di mobil dalam perjalanan menemui orang-orang dari partai yang mengusungnya. Dia memandang jalanan yang dilewati, hingga mobilnya sampai di tempat bertemu para petinggi partai.“Kami sudah melihat berita yang beredar. Jadi kami memintamu datang untuk memastikan, apakah berita itu benar atau tidak?” tanya salah satu pengurus partai saat bertemu dengan Ermanu.Ermanu menarik napas panjang lantas mengembuskan perlahan.“Ya, itu benar. Saya memang mengidap kanker dan entah apa bisa sembuh atau tidak,” jawab Ermanu jujur.Semua pengurus pun terkejut, mereka langsung saling bisik tanpa memikirkan perasaan Ermanu. Ermanu sudah menebak jika tidak akan mungkin bisa maju mencalonkan diri karena memiliki penyakit yang mematikan di mana tingkat kesembuhannya pun terbilang sangat kecil.“Saya tahu kecemasan kalian, karena itu saya memutuskan untuk mengundurkan diri agar tidak ada masalah di belakang,” ucap Ermanu — yang terkesan langsung mengambil keputusan.“Jika memang itu keputusa
Ermanu menemani Anne sendirian hingga akhirnya wanita itu pun sadar. Dia masih tak habis pikir kenapa Anne memilih untuk pergi ke perusahaan Oriaga sendirian. Ermanu malah semakin merasa tak berguna. Selama ini dia selalu mengikuti keinginan Anne, melakukan apa yang wanita itu inginkan dengan tujuan agar Anne bahagia. Namun, nyatanya menuruti apa kata Anne malah menjadi boomerang.Dalam keadaan sakit seperti ini, Ermanu semakin merasa tak berguna. Dia yakin Anne pasti sangat sedih mengingat penyakitnya ini juga dulu yang menyebabkan papanya meninggal.“Ma, sebaiknya hentikan semua ambisi Mama karena aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia, aku tidak ingin berkuasa, aku ingin menghabiskan waktuku bersama merasakan kehangatankeluarga, bersama Mama, Elisa dan anak-anak kami,” ucap Ermanu sambil menatap Anne. Pria itu mencoba meyakinkan ibunya untuk tak lagi meraih keinginan berlandaskan ambisi.“Aku ingin kamu lebih kuat dan berkuasa dari anak Pradipta!” Anne tetap kekeh mempertahankan
“Sayang, apa tidak ada cara agar kamu bisa berbaikan dengan Bu Anne?” tanya Shanaya saat duduk di samping Oriaga yang sedang mengendarai mobil.Shanaya menatap Oriaga yang memasang wajah datar, lantas menoleh dirinya sekilas.“Tidak ada," jawab Oriaga singkat.Meskipun seharusnya tidak terkejut mendengar jawaban Oriaga dan paham karakter pria itu, tapi tetap saja Shanaya merasa ada yang mengganjal.“Dia pernah berkata menyesal melahirkanku. Aku ingat dulu saat masih duduk di sekolah dasar, dia sama sekali tidak pernah mengantar apalagi menghadiri acara sekolah." Oriaga mulai menceritakan luka masa kecilnya yang disebabkan oleh Anne."Sejak aku kecil hingga dewasa. Dia selalu beralasan sibuk, meski aku mengemis dan memohon saat ada acara penting di sekolah pun dia tidak pernah mau datang."Shanaya menelan ludah susah payah mendengar Oriaga menceritakan hal —yang membuatnya benar-benar tak bisa memaafkan Anne. Shanaya diam mencerna tutur kata Oriaga. Ternyata terlalu dini bagi Shanaya m
Pak Wira mengangguk membalas ucapan Oriaga. Tanpa Oriaga perintah pun Pak Wira di dalam hati sudah berkomitmen akan lebih mengawasi kinerja dan tingkah Farah di rumah utama.Setelah bicara dengan Oriaga, Pak Wira pun pamit untuk mengecek pekerjaan para pelayan, hingga dia berpapasan dengan Farah yang hendak pergi ke dapur.Gadis itu langsung menunduk saat berpapasan dengan Pak Wira. Bersikap ramah karena dia tahu Pak Wira tak hanya sekadar kepala pelayan di rumah utama.“Selamat sore, Pak.” “Sore,” balas Pak Wira sambil mengangguk lantas berlalu begitu saja.Farah pun melirik Pak Wira yang pergi seolah tak menganggap keberadaannya. Dia mengingat ucapan Arumi yang mengatakan kalau dirinya juga harus ekstra berhati-hati ke Pak Wira, karena pria itu lebih dipercaya oleh Oriaga jika dibandingkan dengan orang lain di rumah utama termasuk adik-adik Oriaga sendiri.Setelah Pak Wira pergi, Oriaga segera kembali ke kamar. Dia yakin Shanaya pasti sedang menunggunya saat ini. Oriaga tertawa se
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu