Anne hanya menarik sudut bibir lantas pergi meninggalkan Oriaga tanpa sepatah kata. Dia bahkan tak menoleh Aston yang membungkuk memberinya hormat. Wanita itu tak peduli orang lain menganggapnya kejam atau bahkan tak berperasaan. Baginya apa yang dia lakukan itu benar. Sebenarnya Anne datang menemui Oriaga hanya untuk memastikan saja, jika Oriaga bersikap baik maka dia akan memerintahkan anak buahnya mengambil Kai dengan cara halus, dan jika Oriaga bersikap arogan maka dia tak segan memberi perintah orang-orangnya membawa Kai secara paksa. Anne tersenyum miring, dia mengirim pesan ke orang suruhannya yang sudah siaga di dekat rumah Oriaga untuk membawa Kai secara paksa. “Ambil anak itu! Hajar saja jika ada orang yang berani menghalangi,” ucap Anne. Tak lama setelah wanita itu pergi, Oriaga pun keluar. Dia membuat Aston terkejut karena tampak cemas dan terburu-buru. “Aku harus segera pulang ke rumah,” ucap Oriaga seraya mendial nomor ponsel Pak Wira. Oriaga berjalan pergi meningg
Shanaya perlahan bangkit, gadis itu bangun lalu duduk di meja belajar. Dia mengambil botol air minum dan snack bar di dalam tas kuliahnya lalu mulai makan.Oriaga mencoba menurunkan ego dengan menghampiri Shanaya yang sedang duduk. Dia pun berdiri di dekat gadis itu, tapi Shanaya tak peduli bahkan seperi enggan menatapnya. “Aku sudah memutuskan akan mengirim Andra ke luar negeri, tepatnya ke Belanda agar Isaak membantu mengawasinya,” ucap Oriaga. “Terserah bagaimana keputusan Oom, toh Oom tahu mana yang baik untuk Andra karena jauh lebih lama mengenalnya,” balas Shanaya. Oriaga tahu sikap Shanaya ini berakar dari Andra. Dia tidak ingin hal seperti ini berlarut lantas memilih membicarakannya saat itu juga.“Kenapa sejak kejadian Andra malam itu, kamu sedikit berubah?” tanya Oriaga sambil terus menatap lekat Shanaya. “Karena aku bukan dewa atau paranormal yang bisa membaca isi hati orang. Aku tidak tahu apa rencana Oom ke depan, aku tahu aku tidak lebih berharga di mata Oom dari And
"Apa kamu senang jalan-jalan bersama Isaak?"Oriaga memilih pulang lebih dulu dari pantai agar Shanaya tidak menyadari. Dia bertanya tanpa memandang dan sibuk bermain ponsel saat Shanaya baru saja masuk ke dalam."Hm ... aku senang sekali, tidak menyangka kencan pertamaku dengan seorang pria malah bersama Paman Isaak."Jawaban Shanaya membuat Oriaga terkejut. Dia mengangkat kepala dan ternyata Shanaya masih berdiri menatap padanya. Oriaga tak tahu harus menjawab bagaimana, hingga mengalihkan fokus Shanaya dengan berkata Isaak akan pulang ke Belanda nanti malam."Paman Isaak sudah memberitahu, kami juga bertukar nomor telepon," balas Shanaya. Dalam hati dia sengaja mengatakan itu supaya Oriaga cemburu. Namun, di luar dugaan Oriaga ternyata tak merespon berlebihan ucapannya. Tentu saja hal ini karena mereka memiliki cara pandang yang berbeda terhadap siapa Isaak. “Nanti malam aku juga ingin mengantar Paman Isaak ke bandara.” “Aku juga akan mengantarnya, kita berangkat bersama,” balas
Shanaya tak memiliki pilihan selain menuruti ajakan Oriaga, tapi setelah masuk ke mobil dia protes karena tak membawa satupun barang pribadinya kecuali telepon genggam.“Sayang, aku tidak menbawa tas, aku juga tidak bawa dompet dan KTP,” omel Shanaya.“Minta saja Pak Wira untuk menyiapkannya, tidak perlu cemas, percayalah padaku!” Balas Oriaga. Sikapnya membuat Shanaya sedikit bingung, sedangkan Pak Ali terlihat tersenyum memandang dari kaca spion tengah. Shanaya pun pasrah, dengan baju rumah alakadarnya dia harus rela berada di bandara untuk menunggu penerbangan ke sebuah pulau yang cukup terkenal di negaranya."Benarkah kita akan ke sana?" Tanya Shanaya yang tak percaya saat Oriaga mengatakan mereka akan pergi ke pulau Kilikili seraya berjalan menuju ruang tunggu. "Apa aku pernah berbohong?" Shanaya berdecak lidah saat mendengar lemparan balik pertanyaan dari Oriaga. Gadis itu pun menagih kontrak pernikahan yang sampai saat ini masih belum Oriaga berikan padanya. "Kenapa kamu mas
Shanaya tak menyangka ada pulau yang sangat indah di negaranya selain Pulau Dewata. Dia pun menyadari bisa datang ke sana karena menjadi istri Oriaga, jika tidak mana mungkin hal ini bisa terjadi. Untuk naik pesawat saja dia merasa tidak mampu, apalagi menyewa kamar dengan harga yang lumayan dan jelas membutuhkan banyak uang."Apa kamu menyukai tempat ini?" Oriaga bertanya sambil melingkarkan tangan ke pinggang Shanaya. Dia memeluk istrinya itu dari belakang lantas menyandarkan dagu ke bahu Shanaya yang sedang menikmati pemandangan. “Aku sangat menyukainya, ini indah. Terima kasih sudah membawaku ke sini." Shanaya memulas senyum tipis. Dia benar-benar merasa kagum dan seketika mengingat mendiang Seruli."Aku yakin seandainya Bunda masih hidup, beliau pasti akan sangat senang melihat keindahan pantai pulau ini," imbuh Shanaya.“Hm … Aku pikir juga begitu,” balas Oriaga. Dia semakin memeluk Shanaya erat kemudian menelengkan kepala memandang Shanaya.Oriaga mengecup lembut pipi gadis it
Di waktu yang sama, tak diduga Anne pergi ke rumah utama. Tentu saja tujuan wanita itu adalah ingin bicara dan mengemukakan niatnya agar Oriaga mau melakukan tes guna mendonorkan sumsum tulang belakang jika memang cocok dengan Ermanu. Namun, tak Anne sangka dia tidak bisa menemui putranya itu, bahkan setelah awalnya sudah datang dulu ke perusahaan Oriaga.“Tuan Oriaga sedang tidak ada di rumah, dia ada urusan ke luar kota,” ucap Pak Wira yang menemui Anne secara langsung karena memang wanita itu berkata tidak mau bicara dengan pelayan selain Pak Wira.Tentu saja Anne sangat terkejut mendengar ucapan Pak Wira, dia juga sedikit kecewa hingga kemudian bertanya, “Kapan dia pulang?” “Saya tidak tahu pastinya kapan karena beliau pergi liburan bersama istrinya,” jawab Pak Wira. Agak kesal juga dia rasakan di dalam hati karena ucapan Anne terdengar sedikit ketus.Anne benar-benar kecewa karena tidak bisa menemui Oriaga. Dia menjadi kesal karena Pak Wira tidak mau menjawab kira-kira kapan Or
Ingin rasanya Amora menolak ucapan Isaak itu, tapi Issa memilih merajuk lebih dulu seolah paham dengan niat di hati sang mama.“Ayolah, Ma. Aku mau jalan-jalan sama Papa dan Mama. Ini mimpiku sejak lama.” Issa mengeluarkan jurus merayu. Kata-kata bocah berumur lima tahun itu terdengar seperti orang yang sudah dewasa."Mama! Ayo Ma." Issa mulai merengek sambil mengguncang lengan Amora.Amora akhirnya tak bisa menolak hingga akhirnya memilih setuju dengan permintaan Isaak. Pria yang masih berstatus suaminya itu tertawa senang, terlebih melihat Issa melompat-lompat kegirangan. Sedangkan Amora sendiri memilih membuang muka sambil mengembuskan napas kasar.Isaak pun akhirnya mengantar Amora bertemu dengan teman-temannya di sebuah restoran mewah. Di sana dia juga memesan satu tempat yang tak jauh dari meja yang ditempati Amora dan teman-temannya.Amora sesekali melirik Isaak yang terlihat bermain dengan Issa, hingga salah satu temannya berbisik ke telinga untuk menggoda.“Apa hari ini akan
Setelah dua hari berlibur, Oriaga dan Shanaya pun akhirnya pulang. Keduanya terlihat sangat bahagia. Aura yang terpancar dari wajah mereka membuat pelayan rumah utama terutama Pak Wira merasa senang."Tuan, Nona, apa ada yang Anda butuhkan?" Tanya Pak Wira sopan selepas meminta pelayan membawakan koper Oriaga juga Shanaya ke kamar."Belum ada. Kami mau istirahat di kamar, jangan diganggu! Kalau butuh sesuatu aku pasti akan menghubungi Pak Wira," ucap Oriaga.Pak Wira mengangguk sambil memulas senyum tipis, dia memandang tangan Oriaga yang sejak tadi tak lepas menggenggam erat tangan Shanaya. Sementara Shanaya sendiri terlihat kuyu seperti orang yang kurang tidur. Hal ini membuat bagian otak Pak Wira yang sedikit kotor menduga-duga kalau Nonanya itu harus bekerja keras selama liburan di Kilikili.Oriaga pun memengajak Shanaya ke kamar. Sesaat setelah masuk, Shanaya meminta izin untuk mencuci muka, sedangkan Oriaga sendiri memilih mengaktifkan kembali ponsel yang kemarin sengaja dia mat
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu