Shanaya kebingungan karena Oriaga tidak memperbolehkannya keluar dari kamar. Dia hanya mondar-mandir tak jelas karena tidak tahu harus bagaimana.Ini hari minggu, Shanaya sebenarnya ingin pergi ke rumah sang ayah. Namun, karena kejadian semalam, membuat dia harus terkurung di kamar.“Ke mana dia? Aku diminta tetap di kamar, tapi dia malah pergi entah ke mana sejak tadi,” gerutu Shanaya kesal. Dia pun duduk di tepian ranjang sambil melipat kedua tangan dengan bibir mengerucut. Hingga tiba-tiba pintu kamar terbuka, Shanaya melihat Oriaga yang baru saja kembali ke kamar entah dari mana.“Oom dari mana?” tanya Shanaya.“Dari perpustakaan,” jawab Oriaga lantas meninggalkan Shanaya lagi untuk pergi ke kamar ganti.Shanaya pun menyusul Oriaga, tanpa basa-basi gadis itu melontarkan pertanyaan atas sikap suaminya ini.“Kenapa sikap Oom berubah sejak semalam? Bukannya yang salah itu Andra, dia yang menciumku kebih dulu dan bukan aku yang keganjenan merayu,” ujar Shanaya sambil memasang wajah ma
"Ada orang yang mengirimkan banyak makanan, tapi tidak mau bilang dari siapa. Aku pikir dari suamimu, tapi ternyata tidak."Shanaya tentu penasaran. Dia bahkan sampai memutar tumit kembali agar bisa mendengar cerita versi lengkap dari Ricky. "Apa Mas Ricky terima?" Tanya Shanaya. "Tentu saja aku terima, kenapa tidak?" Ricky tertawa kemudian berdiri memakai jaket. Kebetulan dia memang hendak keluar tadi saat Shanaya datang."Orang miskin itu tidak boleh menolak berkah seperti itu, Shana. Kita tidak dilahirkan untuk menjadi sombong, itu pasti yang ada di pikiran suamimu."Ricky bicara sembarangan, tapi karena suasana hatinya sedang tidak baik, Shanaya pun menanggapi berbeda. Gadis itu menganggap Oriaga memang berpikiran seperti itu terhadap dia dan keluarganya."Siapapun orang yang mengirimkan banyak makanan ke kita, dia pasti orang yang tidak tahu kalau Shanaya istri pria kaya." Ricky tertawa mencibir lantas berlalu. Shanaya sendiri hanya bisa mematung di depan pintu menatap punggun
Arumi pergi dengan senyuman mengembang di bibir, tentu saja ini karena dia dan Farah sudah menyepakati beberapa hal. Dia memutuskan untuk mengambil langkah sendiri menyingkirkan Shanaya karena Masayu saat ini sedang bingung karena masalah yang menimpa Andra.“Setelah Shanaya berhasil disingkirkan, apa mungkin Kak Oliv akan menjadi musuhku selanjutnya?” Gumam Arumi seraya masuk ke dalam mobil. Dia tidak tahu Farah masih menatapnya dari dalam toko kue.Farah menyipitkan mata, dia tersenyum miring melihat Arumi berpikir dirinya akan mudah dijadikan alat untuk menghancurkan Shanaya.“Apa kamu pikir aku bodoh. Kalau sampai Shanaya dan suaminya berpisah, maka aku akan maju untuk menggantikan posisi Shanaya. Sepertinya pria bernama Oriaga itu menyukai gadis miskin yang sengsara,” lirih Farah. Dia mengedikkan bahu setelah itu berpaling untuk kembali ke belakang meja kasir.Sejak tahu kalau suami Shanaya adalah pria kaya yang ingin memakai jasanya sebagai wanita malam, Farah pun menyesal kenap
Elisa pun meminta izin untuk melihat Kai yang sedang bermain di halaman belakang. Wanita itu terlihat menahan tangis dan berusaha menahan rasa sesak dengan memegangi dada. Elisa memulas senyum, lantas menoleh Pak Wira yang mengantarnya ke sana. Pria paruh baya itu kembali menawarkan pada Elisa untuk menyapa Kai, tapi sama seperti sebelumnya, Elisa tetap menolak. “Suasana hati Kai kadang tidak bisa ditebak, kemarin dia mungkin tidak mau ikut bersamaku, tapi bisa jadi saat aku muncul sekarang dia akan menangis dan mintaku membawanya pulang,” ujar Elisa. “Saya tahu bagaimana perasaan Anda, pasti berat saat mengetahui Kai berbeda dari anak seusia yang lain,” balas Pak Wira. “Saya juga memiliki anak yang spesial seperti Kai,”imbuhnya. Elisa memandang Pak Wira dengan sorot mata sendu seolah merasa bahwa dia dan pria itu merasakan hal yang sama karena memiliki nasib yang serupa.“Anda sangat hebat karena bisa merawat Kai hingga dia bisa seperti anak yang lain. Kai bahkan tidak pernah tant
Meski banyak masalah di luar pekerjaan, tapi Oriaga tetap berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Semalam, dia sempat berbincang dengan Isaak. Berbicara dari hati ke hati tentang masalah yang mereka alami masing-masing. Lantas dari perbincangan itu Oriaga baru menyadari bahwa ternyata Isaak yang dianggapnya tidak lebih serius dalam menjalani hidup ternyata lebih bijak darinya.Oriaga merasa tertampar, ucapan dan pertanyaan Isaak membuatnya bingung sampai terdiam membisu."Kita tidak akan selamanya hidup. Apa kamu pikir orang-orang setulus itu tunduk pada kita? Kita ini pemilik perusahaan tentu saja mereka akan baik pada kita karena kita memegang peran penting dalam hidup mereka," ucap Isaak."Tapi, saat kita sakit dan sendirian, apa mereka peduli? Tidak Ori, yang akan ada di samping kita pada akhirnya hanya keluarga. Dan aku menyadari kemarin saat sakit bahwa bagaimana mungkin Amora akan menganggapku keluarga jika aku sejak dulu saja bersikap jahat padanya." Isaak ters
Anne hanya menarik sudut bibir lantas pergi meninggalkan Oriaga tanpa sepatah kata. Dia bahkan tak menoleh Aston yang membungkuk memberinya hormat. Wanita itu tak peduli orang lain menganggapnya kejam atau bahkan tak berperasaan. Baginya apa yang dia lakukan itu benar. Sebenarnya Anne datang menemui Oriaga hanya untuk memastikan saja, jika Oriaga bersikap baik maka dia akan memerintahkan anak buahnya mengambil Kai dengan cara halus, dan jika Oriaga bersikap arogan maka dia tak segan memberi perintah orang-orangnya membawa Kai secara paksa. Anne tersenyum miring, dia mengirim pesan ke orang suruhannya yang sudah siaga di dekat rumah Oriaga untuk membawa Kai secara paksa. “Ambil anak itu! Hajar saja jika ada orang yang berani menghalangi,” ucap Anne. Tak lama setelah wanita itu pergi, Oriaga pun keluar. Dia membuat Aston terkejut karena tampak cemas dan terburu-buru. “Aku harus segera pulang ke rumah,” ucap Oriaga seraya mendial nomor ponsel Pak Wira. Oriaga berjalan pergi meningg
Shanaya perlahan bangkit, gadis itu bangun lalu duduk di meja belajar. Dia mengambil botol air minum dan snack bar di dalam tas kuliahnya lalu mulai makan.Oriaga mencoba menurunkan ego dengan menghampiri Shanaya yang sedang duduk. Dia pun berdiri di dekat gadis itu, tapi Shanaya tak peduli bahkan seperi enggan menatapnya. “Aku sudah memutuskan akan mengirim Andra ke luar negeri, tepatnya ke Belanda agar Isaak membantu mengawasinya,” ucap Oriaga. “Terserah bagaimana keputusan Oom, toh Oom tahu mana yang baik untuk Andra karena jauh lebih lama mengenalnya,” balas Shanaya. Oriaga tahu sikap Shanaya ini berakar dari Andra. Dia tidak ingin hal seperti ini berlarut lantas memilih membicarakannya saat itu juga.“Kenapa sejak kejadian Andra malam itu, kamu sedikit berubah?” tanya Oriaga sambil terus menatap lekat Shanaya. “Karena aku bukan dewa atau paranormal yang bisa membaca isi hati orang. Aku tidak tahu apa rencana Oom ke depan, aku tahu aku tidak lebih berharga di mata Oom dari And
"Apa kamu senang jalan-jalan bersama Isaak?"Oriaga memilih pulang lebih dulu dari pantai agar Shanaya tidak menyadari. Dia bertanya tanpa memandang dan sibuk bermain ponsel saat Shanaya baru saja masuk ke dalam."Hm ... aku senang sekali, tidak menyangka kencan pertamaku dengan seorang pria malah bersama Paman Isaak."Jawaban Shanaya membuat Oriaga terkejut. Dia mengangkat kepala dan ternyata Shanaya masih berdiri menatap padanya. Oriaga tak tahu harus menjawab bagaimana, hingga mengalihkan fokus Shanaya dengan berkata Isaak akan pulang ke Belanda nanti malam."Paman Isaak sudah memberitahu, kami juga bertukar nomor telepon," balas Shanaya. Dalam hati dia sengaja mengatakan itu supaya Oriaga cemburu. Namun, di luar dugaan Oriaga ternyata tak merespon berlebihan ucapannya. Tentu saja hal ini karena mereka memiliki cara pandang yang berbeda terhadap siapa Isaak. “Nanti malam aku juga ingin mengantar Paman Isaak ke bandara.” “Aku juga akan mengantarnya, kita berangkat bersama,” balas
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu