Pernyataan tentang uang yang tidak bisa membeli kenyamanan jelas tak seratus persen benar, saat ini karena uang Isaak bisa istirahat dan mendapatkan perawatan baik di kamar kelas VVIP yang bahkan dia sendiri tidak perlu bersusah payah membayar karena Oriaga sudah mengurus semuanya. Isaak berbaring memandang langit-langit kamar, beberapa saat yang lalu dia meminta Leonel pergi ke rumah utama untuk mengambil ponselnya. Isaak tahu kalau Pak Wira pasti akan lupa dengan pesanannya karena harus mengurus banyak hal di rumah Oriaga. Sedangkan Shanaya juga seperti tidak seratus persen peduli padanya. Terlebih jika Oriaga melarang atau sudah memberi perintah, semua orang pasti tidak ada yang berani membantah.“Dia itu anakku, tapi istri sahabatku. Kira-kira bagaimana aku memberitahunya kalau aku ini ayahnya? Apa Shanaya akan menerima? Atau dia malah akan membenciku karena sudah menghamili dan meninggalkan ibunya?” Isaak mengembuskan napas lalu menumpuk dua tangannya ke atas dada, dia kaget se
Oriaga diam memandangi Shanaya yang sibuk menyisir rambut di depan cermin. Sesekali Oriaga menyandarkan punggung ke kursi kerja, menegakkan punggung, menggaruk leher dengan telunjuk bahkan mengetuk-ngetuk meja. “Apa semua wanita itu sama? Mereka bisa bersikap dingin kalau sedang kesal. Bukankah Shanaya sudah selesai mendapatkan tamu bulanan? Kenapa tingkahnya seperti perempuan yang sedang PMS.” Oriaga berbicara dengan dirinya sendiri. Sejujurnya dia sedang merasa malu saat ini, pasalnya Amora yang tadi menghubunginya berujung berkata tak peduli dengan kondisi Isaak. “Kenapa mahkluk Tuhan yang bernama perempuan itu aneh sekali, jinak-jinak merpati. Aku pikir ungkapan itu sudah basi.” Oriaga masih saja bergulat dengan pikirannya sendiri, sampai Shanaya menoleh dan membuatnya gelagapan. “Apa yang Oom bicarakan tadi?” Tanpa basa-basi Shanaya bertanya, dia penasaran dan merasa harus tahu siapa saja wanita yang dekat dengan Oriaga. Tentu saja, Shanaya belum tahu bagaimana rumitnya hubun
Kirana terlihat kesal mendengar pertanyaan Elkan. Dia sewot karena setelah lama ditunggu Elkan malah menanyakan keberadaan Shanaya. Hingga dia pun menjawab ketus. “Paling di kamar sedang bercinta dengan suaminya.” Tentu saja Elkan langsung terlihat kecewa. Pemuda itu diam mendengar balasan Kirana dan membuang muka ke arah lain untuk menyembunyikan ekspresi wajahnya. “Sudah, tidak usah mencari orang yang tidak ada. Kita bergabung saja dengan yang lain,” ajak Kirana saat melihat Elkan kecewa. Elkan pun mau tak mau menuruti ajakan Kirana, hingga melihat Andra yang juga ada di pesta itu. Elkan pun tiba-tiba tersenyum licik karena malam ini dia akan memberikan kejutan yang tak terduga untuk Andra dan yang lainnya. Elkan tahu jika paman Kirana dekat dengan kakak iparnya, tapi dia belum tahu kalau Isaak tinggal di sana dan kini sedang terbaring di rumah sakit. Kirana sendiri memilih untuk tidak bercerita, karena berpikir jika hal itu tidak penting untuk disampaikan ke Elkan. “Kasihan
Kirana gemetaran, bukan karena Oriaga marah. Pamannya itu bahkan bicara menggunakan nada lembut.Oriaga tahu, semenjak ada Shanaya, Kirana pasti merasa tersisihkan. Dia tidak ingin keponakannya itu semakin membenci istrinya karena dia bersikap berlebihan mengenai hal-hal yang bukan murni kesalahan Kirana."Nar-narkoba? Polisi? Apa maksudnya Paman? Aku sama sekali tidak mengerti. Apa ada temanku yang menjadi cepu? Transaksi di pestaku?" Kirana syok sampai hanya bisa terus bertanya. Dia jelas tidak ingin berurusan dengan polisi. "Siapa? Siapa temanku yang membawa narkoba? Siapa temanku yang pecandu?" Kirana menunduk memandang lantai pos keamanan dengan bola mata bergerak ke kiri dan kanan. Meskipun hidup di keluarga modern dan mengutamakan kebebasan, tapi Kirana sama sekali tidak pernah tertarik, atau penasaran dengan benda haram yang sejak kecil diajarkan para orangtua untuk dihindari itu."Aku juga tidak tahu, untung masalah ini sampai di telingaku sebelum polisi benar-benar datang,"
Shanaya membungkam mulutnya karena kaget. Dia gemetaran bingung harus bersikap bagaimana. Hatinya merasa terbelah, di satu sisi iba melihat Andra tersungkur dengan sudut bibir mengeluarkan darah karena pukulan Oriaga, di sisi lain dia juga kesal karena merasa pemuda itu bersikap kurang ajar padanya. Dari membungkam mulut, kini Shanaya menutup bibir dengan punggung tangan. Dia kehilangan kata-kata dan semakin gemetaran saat Pak Wira dan Masayu datang. "Itu hukuman karena kamu berani bersikap kurang ajar pada istriku!" Rahang Oriaga mengetat, dadanya terasa terbakar.Sama seperti Shanaya, Oriaga juga merasa bingung menyikapi kondisi ini. Tak hanya karena marah, dia juga kecewa dan merasa bersalah ke Andra. Terlampau emosi, Oriaga bahkan sampai memejamkan mata dan mengepalkan telapak tangan di samping badan untuk meredam, mencegah hal buruk terjadi pada dirinya sendiri."Sampai aku mengambil keputusan tentang masalah ini, kamu tidak boleh keluar dari rumah." Nada bicara Oriaga mulai
Shanaya kebingungan karena Oriaga tidak memperbolehkannya keluar dari kamar. Dia hanya mondar-mandir tak jelas karena tidak tahu harus bagaimana.Ini hari minggu, Shanaya sebenarnya ingin pergi ke rumah sang ayah. Namun, karena kejadian semalam, membuat dia harus terkurung di kamar.“Ke mana dia? Aku diminta tetap di kamar, tapi dia malah pergi entah ke mana sejak tadi,” gerutu Shanaya kesal. Dia pun duduk di tepian ranjang sambil melipat kedua tangan dengan bibir mengerucut. Hingga tiba-tiba pintu kamar terbuka, Shanaya melihat Oriaga yang baru saja kembali ke kamar entah dari mana.“Oom dari mana?” tanya Shanaya.“Dari perpustakaan,” jawab Oriaga lantas meninggalkan Shanaya lagi untuk pergi ke kamar ganti.Shanaya pun menyusul Oriaga, tanpa basa-basi gadis itu melontarkan pertanyaan atas sikap suaminya ini.“Kenapa sikap Oom berubah sejak semalam? Bukannya yang salah itu Andra, dia yang menciumku kebih dulu dan bukan aku yang keganjenan merayu,” ujar Shanaya sambil memasang wajah ma
"Ada orang yang mengirimkan banyak makanan, tapi tidak mau bilang dari siapa. Aku pikir dari suamimu, tapi ternyata tidak."Shanaya tentu penasaran. Dia bahkan sampai memutar tumit kembali agar bisa mendengar cerita versi lengkap dari Ricky. "Apa Mas Ricky terima?" Tanya Shanaya. "Tentu saja aku terima, kenapa tidak?" Ricky tertawa kemudian berdiri memakai jaket. Kebetulan dia memang hendak keluar tadi saat Shanaya datang."Orang miskin itu tidak boleh menolak berkah seperti itu, Shana. Kita tidak dilahirkan untuk menjadi sombong, itu pasti yang ada di pikiran suamimu."Ricky bicara sembarangan, tapi karena suasana hatinya sedang tidak baik, Shanaya pun menanggapi berbeda. Gadis itu menganggap Oriaga memang berpikiran seperti itu terhadap dia dan keluarganya."Siapapun orang yang mengirimkan banyak makanan ke kita, dia pasti orang yang tidak tahu kalau Shanaya istri pria kaya." Ricky tertawa mencibir lantas berlalu. Shanaya sendiri hanya bisa mematung di depan pintu menatap punggun
Arumi pergi dengan senyuman mengembang di bibir, tentu saja ini karena dia dan Farah sudah menyepakati beberapa hal. Dia memutuskan untuk mengambil langkah sendiri menyingkirkan Shanaya karena Masayu saat ini sedang bingung karena masalah yang menimpa Andra.“Setelah Shanaya berhasil disingkirkan, apa mungkin Kak Oliv akan menjadi musuhku selanjutnya?” Gumam Arumi seraya masuk ke dalam mobil. Dia tidak tahu Farah masih menatapnya dari dalam toko kue.Farah menyipitkan mata, dia tersenyum miring melihat Arumi berpikir dirinya akan mudah dijadikan alat untuk menghancurkan Shanaya.“Apa kamu pikir aku bodoh. Kalau sampai Shanaya dan suaminya berpisah, maka aku akan maju untuk menggantikan posisi Shanaya. Sepertinya pria bernama Oriaga itu menyukai gadis miskin yang sengsara,” lirih Farah. Dia mengedikkan bahu setelah itu berpaling untuk kembali ke belakang meja kasir.Sejak tahu kalau suami Shanaya adalah pria kaya yang ingin memakai jasanya sebagai wanita malam, Farah pun menyesal kenap
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu