Sesaat setelah kepergian Alana dan kakaknya, Braden melempar lap dengan kesal. Dia tidak tahu apa yang membuatnya kesal pagi itu. Beberapa hari terakhir moodnya benar-benar kacau. Itu pula alasan mengapa dia ada di rumah sekarang.Braden menjadi sangat menyebalkan jika sedang berada dalam suasana hati yang buruk. Dan kalau sudah seperti itu, biasanya teman-temannya akan menghindar sampai suasana hati pemuda itu kembali membaik.Dengan jengkel diambilnya lagi lap yang dia lempar sebelumnya. Lalu digosokkannya dengan keras pada body motor yang sebenarnya sudah mengkilap. Sebenarnya Braden masih butuh pelampiasan, tetapi kini setiap jengkal motor itu sudah sangat bersih. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.“Tumben kamu di rumah?” tanya Sherly pada putranya ketika melihat pemuda itu memasuki rumah.“Mama tidak suka aku di rumah?”“Bukan begitu. Kamu kan nyaris tidak pernah ada di rumah akhir-akhir ini. Sebenarnya kamu ke mana saja, sih? Mama kan jadi khawatir kalau kamu tidak pulang.” T
Pagi setelah sarapan Steve memanggil Alana ke ruang kerja. Dia sangat bahagia karena akhirnya bisa bersatu dengan putrinya setelah bertahun-tahun menunggu. Sangat berat bagi Steve harus berpisah dengan putri tunggalnya itu bertahun-tahun silam.Terlebih ketika mantan istrinya mempersulit komunikasi dan pertemuannya dengan Alana. Dia selalu mencoba bersabar dan mencari jalan keluar, tetapi tidak pernah berhasil. Dia juga tidak tahu apa saja yang Claudia cekokkan pada pikiran gadis itu.Karena makin lama hubungan Steve dan putrinya menjadi makin renggang. Dan Steve ingin memperbaiki hal itu. Dia tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Claudia, yang pasti itu sangat buruk jika Alana sampai kabur dan menemui dirinya.“Papa memanggilku?” tanpa dia sadari Alana sudah berdiri di ambang pintu.“Ya, masuklah. Ada yang ingin Papa bicarakan.”Alana duduk di sofa panjang, seperti biasa. Dan Steve berdiri dari meja kerjanya lalu duduk di samping Alana.“Mamamu menghubungi Papa. Sebenarnya dari se
Sudah dua minggu Alana tinggal bersama keluarga Papanya. Dan itu berarti sudah selama itu pula sejak dia meninggalkan rumah. Selama itu dia berusaha menyesuaikan diri dan beradaptasi. Alana bahkan sudah hafal dengan rutinitas masing-masing orang di rumah itu.Semua orang turun untuk sarapan pada pukul tujuh pagi, kecuali Braden yang terkadang bangun siang. Pukul setengah delapan Adrian dan Steve akan berangkat bekerja, karena kantor buka pada pukul delapan. Kadang mereka berangkat bersama, kadang juga sendiri-sendiri.Mereka menjalankan sebuah perusahaan pengolahan kayu, usaha yang Steve rintis bersama salah seorang rekan kerjanya, Anthony, yang merupakan mendiang suami Sherly.Setelah sarapan, kalau kebetulan bangun pagi, Braden juga biasanya akan langsung pergi entah ke mana. Sedangkan Sherly biasanya akan memeriksa keadaan dapur dan seluruh rumah. Membuat catatan resep, catatan belanja dan keuangan.Dia akan memastikan semua keadaan di rumah berjalan dengan baik. Dia juga sering se
Alana berbalik dan mendapati mimpi buruknya menjelma di hadapannya. “A-aku ... ““Siapa yang mengizinkanmu masuk kemari?!” Braden menatapnya dengan penuh amarah.Alana tidak tahu mengapa pemuda itu selalu saja berjalan tanpa suara. Hal itu selalu saja membuatnya terkejut. Apalagi memang sebelumnya Alana dengan sengaja membiarkan pintu kamar tetap terbuka, sehingga Braden bisa masuk tanpa dia ketahui sebelumnya.“Dan siapa yang memperbolehkanmu menyentuh barang-barangku?” Braden menyambar bingkai foto yang masih dipegang oleh gadis itu. “Keluar dari kamarku!”“Maafkan aku.” Alana mencari-cari keranjang baju yang tadi dibawanya.“Ku bilang keluar! Keluar sekarang juga!” Kali ini Braden menarik lengan Alana dan mendorongnya keluar untuk kemudian membanting pintu menutup tepat di depan wajah gadis itu. Alana terbelalak ngeri dengan apa yang terjadi.Dia tidak menyangka Braden akan kembali secepat itu. Dan dia menyalahkan dirinya sendiri yang mempunyai rasa ingin tahu sehingga berada di k
Braden mengancingkan resleting jaketnya dan menuruni tangga menuju lantai satu. Liburan telah berakhir dan dia harus kembali pada rutinitasnya sebagai mahasiswa. Braden mlirik jam tangannya. Pukul setengah sembilan pagi, masih satu jam sebelum kuliah dimulai.“Braden, tolong bawa Lana sekalian, ya. Pak Darmo sedang antar Om Steve ke bandara, jadi Lana tidak ada yang antar.” Kata Sherly yang tiba-tiba muncul.Pak Darmo adalah sopir di rumah itu, yang juga merangkap sebagai tukang kebun.“Dia kan bisa berangkat sendiri, Ma. Atau Mama saja yang antar,” jawab Braden.“Ya kan sekalian. Jadwal kuliah kalian kan sama hari ini. Tempat tujuan kalian juga sama. Jadi kenapa harus berangkat sendiri-sendiri? Lagi pula Lana kan masih baru di kota ini. Dia masih belum familier dengan jalanan di sini.”“Tidak bisa. Aku harus jemput teman.”“Teman yang mana? Jangan bohong kamu. Kamu kan tidak pernah jemput teman,” kata Sherly dengan tatapan menyelidik.“Aku tidak bohong, Ma. Untuk apa aku bohong?” Bra
Seperti kesepakatan, ketika berada di kampus Alana tidak pernah repot-repot menyapa saat bertemu dengan Braden. Dia juga bersikap seolah tidak mengenal pemuda itu. Dan Braden juga melakukan hal yang sama pada Alana.Sialnya, ternyata mereka berdua sering bertemu meski Alana sudah berusaha untuk menghindari hal itu.“Hei, lihat. Itu Kak Braden. Dia salah satu mahasiswa paling populer di jurusan kita.” Renata, teman yang baru dua jam terakhir dikenalnya, mencoba memberi tahu.“Oh, ya? Kenapa? Apa karena dia pintar?” tanya Alana sambil mengamati Braden yang berada di ujung lorong.“Tentu saja karena dia sangat tampan.”“Tampan? Dia?” tanya Alana keheranan, sejenak dia mengamati pemuda itu.Apa kau bercanda? Batin Alana. Dilihat dari sudut mana pun dia hanya terlihat menyebalkan.“Tentu saja. Sayang sekali dia sangat sulit didekati. Jadi kau tidak perlu repot-repot mendekati yang satu itu. Dia hanya akan membuatmu patah hati.”Oh, tidak akan. Yang akan kulakukan justru sebaliknya.Dari ke
Hari sudah cukup siang saat Braden membuka mata. Dia tidak turun untuk sarapan, karena ingin tidur lebih lama. Sinar matahari menerobos sela-sela tirai yang tidak tertutup rapat, membuatnya mengernyitkan dahi saat seberkas sinar jatuh ke matanya yang terpejam.Braden selalu menghabiskan pagi akhir pekan dengan tidur, karena semalaman begadang atau pergi nongkrong bersama teman-temannya. Dia berguling miring dan mengerjapkan mata. Menggeliat untuk melemaskan otot lalu menguap.Setelah mandi singkat baru dia turun ke bawah mencari sesuatu yang bisa dimakan. Di dalam lemari penyimpanan makanan Braden mengambil sepotong roti bakar yang kini sudah dingin.Lalu sepotong ayam goreng yang dimakannya sambil berjalan ke arah kulkas untuk menuang segelas susu putih rendah kalori dari kotak karton. Braden mendapati rumah kosong dan sepi, tidak seperti biasanya.Ke mana orang-orang?Setelah menelan beberapa teguk susu dingin, Braden mulai mendapatkan kesadaran penuh. Dan samar-samar dia mendengar
Braden mencium aroma harum saat memasuki rumah. Aroma itu bahkan samar-samar sudah tercium dari halaman depan saat dia baru datang. Dan di dapur Braden mendapati ibunya dan Alana sedang berkutat dengan adonan krim. Mereka berdua mengenakan celemek berenda bermotif bunga-bunga yang feminim.Di atas kabinet terdapat berbagai bahan dan cetakan kue, membuat dapur terlihat berantakan. Sudah sangat lama Braden tidak melihat ibunya memanggang kue. Ada seloyang brownis yang baru saja dikeluarkan dari cetakan dan masih menguarkan aroma wangi mentega.Mungkin itu salah satu alasan ibunya sangat mendambakan anak perempuan. Ada seseorang yang bisa diajaknya memanggang kue dan berbagi resep. Bukannya anak lelaki yang gemar berbuat onar dan hanya akan membuatnya sakit kepala.“Braden, kamu sudah pulang?” Sherly melirik sekilas putranya dan kembali meneruskan pekerjaannya.“Heemm ... “ gumam Braden sebagai jawaban.Braden bertemu pandang dengan Alana dan gadis itu memalingkan wajah, berpura-pura sib
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga
“Tidak―” Braden menjatuhkan handphonenya, membuat Adrian makin panik.“Braden, Braden ada apa? Apa Alana baik-baik saja? Halo? Braden, jawab Aku!” Adrian terus berteriak menuntut jawaban, tetapi kini dia sudah diabaikan sepenuhnya oleh sang adik.Braden berlari menyeberangi ruangan, tempat Alana terbaring di lantai dengan muka pucat. Kini ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Hal seperti inilah yang dia takutkan sejak awal.“Lana! Lana, bangun!” Braden mengguncang tubuh lemas Alana dengan putus asa dan air mata tertahan. “Kumohon, bangunlah! Lana!”Braden sudah menyelipkan sebelah lengan ke punggung gadis itu dan bersiap mengangkatnya saat Alana membuka mata dan melotot, membuat Braden terperanjat kaget. “Apa yang kau lakukan?” Alana duduk dan menggeliat, kemudian melepas headshet yang menempel di telinganya.“K-Kau tidak pingsan?”“Kau pikir aku pingan? Aku baik-baik saja.”“Astaga, kau membuatku khawatir! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tadi. Jantungku hampir lepas saat meli
“Apa? Minta maaf?” Alana tertawa. “Dia yang salah kenapa aku yang harus meminta maaf?”“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!”“Kakak menyebutku kekanak-kanakan? Kekasih Kakak yang tidak tahu diri itulah yang bersikap kekanakan. Dia tidak bisa bersikap layaknya orang dewasa! Asal Kakak tahu saja, dia tidak sebaik yang Kakak kira. Kakak hanya sudah terperdaya oleh perangkap busuknya, sehingga tidak bisa melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya!”“Hentikan, Lana. Cukup! Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk mengenai Greta. Bahkan jika itu adalah kau!”Alana tersentak. Tidak pernah sekali pun Adrian membentaknya. Adrian yang begitu lembut dan baik hati, kini membentak Alana demi membela gadis seperti Greta.“Aku akan mengatakannya sekali lagi padamu. Kau harus meminta maaf pada Greta. Kau harus meminta maaf atas semua tuduhanmu dan karena kau sudah membuat dia menangis karena keisenganmu.”“Tidak!” kata Alana. “Aku tidak akan pernah meminta maaf padanya!”Adrian terlih
Mereka pergi ke sebuah restoran seafood yang berada di tepi pantai. Mereka semua bergembira, menikmati makanan enak serta pemandangan laut yang indah. Bahkan untuk sekali ini Steve tidak mempedulikan tingginya kandungan kolestrol dalam makanannya.Semua orang senang kecuali Greta. Gadis itu makan dalam diam, tampak tidak antusias seperti yang lainnya. Dia juga sesekali melirik Alana dengan penuh kebencian, namun tidak mengatakan apa pun. Setelah makan, mereka mengunjungi dermaga kecil yang berada tidak jauh dari sana.Mengabadikan momen dengan berfoto dan menikmati semilir angin yang sejuk di hari yang cerah itu. “Sayang, bajumu kotor. Kau pasti bersandar entah di mana tadi.” Sherly berusaha menghilangkan noda di baju putih Greta yang bagian punggungnya kotor.“Ah, biar saja Tante. Mungkin karena aku baru saja bersandar di pagar.” Greta tersenyum pada Sherly, tetapi saat dia kembali sendirian, Greta kembali menunjukkan kekesalannya.Mereka kembali ke villa ketika hari sudah malam. Mer