"Tidak!" Davin menginterupsi perkataan Vida sebelum perempuan itu menyelesaikan kalimatnya. Nadanya terdengar tinggi hingga Vida sedikit tersentak.Beberapa detik suasana menjadi hening mendadak. Iko juga hanya berdiri tenang sembari melirik Vida yang juga terdiam, menatap Davin yang melontarkan tatapan tegas, lagi galak.Iko mulai tahu diri dan segera pamit. "Nyonya, setelah selesai memilih destinasi mana yang akan di tuju, Anda bisa memberi tahu saya. Saya akan segera mengurus akomodasi dan penerbangannya."Vida mengembuskan napas kasar dan mengangguk. Setelah Iko berlalu, tidak ada gunanya terus berdiri di samping suaminya. Dia juga berjalan lesu menuju meja kerjanya sendiri.Davin dapat melihat raut wajah Vida yang langsung berubah setelah mendengar bentakan keras darinya. Paras cantik itu terlihat suram layaknya berselimut mendung kelabu. Dia hanya diam meraih berkas-berkas yang ada di atas meja dan mulai bekerja.Davin mengela napas sejenak. Hatinya tak tega melihat Vida bersedi
Vida terlalu hanyut pada setiap untaian kata yang diucapkan suaminya. Tapi dia sadar jika masih berada di toko sepatu. Meski mereka duduk di sudut ruangan yang cukup sepi, tapi Vida yakin orang-orang di ujung sana tengah memperhatikannya. Dia segera menyeka air mata yang jauh di pipi dan bersuara pelan. "Kenapa kamu berkata seperti itu? Bukankah kita sudah berjanji akan terus bersama, saat senang ataupun sedih, kaya ataupun miskin, sehat ataupun sakit?" Davin memutar bola mata, entah kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu, hanya saja tadi perasaanya memang mendadak tidak nyaman tanpa sebab. "Entahlah," jawab Davin pelan, lantas membuang pandangan dari Vida, dia juga masih berjongkok di depan istrinya. "Lihat, kamu membuatku menjadi wanita cengeng dan bodoh seperti ini. Aku minta ganti rugi," tukas Vida kembali menyeka air matanya. Davin sedikit menarik senyum dan mengembalikan pandangan pada Vida, lantas berucap pelan. "Katakan." "Temani aku ke puncak, untuk menghadiri acara ula
Vida memekik kencang kala tubuhnya tergelincir dan masuk ke dalam jurang. Tidak begitu tinggi, namun cukup terjal. Dalam kegelapan Vida dapat merasakan jika kakinya teramat sakit karena membentur benda yang sangat keras. Belum bisa berucap 'tolong' karena masih menahan rasa sakit yang teramat sangat di kakinya. Merintih sendirian di tengah kegelapan. Mungkin jika ada orang yang mendengar, bukannya mendekat, justru malah akan berlari menjauh karena ketakutan. Vida mulai bisa mengendalikan rasa takut dan sakit yang dia rasakan. Dia ingin berdiri, namun kakinya terlalu sakit untuk digunakan menopang tubuh, hingga dia mulai terjatuh kembali ke tanah. Dalam keadaan gelap dan sunyi, Vida mencoba untuk berpikir jernih dan berani. Tapi sungguh sangat menyedihkan, ketika ingin berteriak untuk meminta tolong, tiba-tiba suaranya menjadi serak dan hilang. Tidak ada pilihan lain, selain menghubungi Davin. Tangannya bergerak gemetar meraba tas selempang yang sedari tadi mengalung di pundak. Lantas
"Kamu hamil?" Pertanyaan Davin membuat Vida kembali terkesiap dan membeku beberapa detik. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Kilatan indah berjalan lembut melewati manik hitam kala Vida bertanya. Davin menyipitkan mata, terbersit banyak pertanyaan pada sorot lembut yang jatuh dari pandangan laki-laki berparas tampan tersebut. "Kamu tidak merasakan sesuatu? Akhir-akhir ini kamu sering meminta sesuatu di jam-jam tidak lazim, bukankah itu aneh?" Senyum canggung tertarik dari kedua ujung bibir Vida, kemudian berkata. "Oh, begitu ya?" Alis pekat terangkat perlahan ketika Davin kembali bertanya. "Begitu bagaimana?" Vida menipiskan bibir dengan ekor mata menyamping, dia sendiri terlihat bingung, kemudian berkata pelan. "Aku tidak sadar jika terlihat aneh. Apakah itu sangat menyebalkan?" "Iya." Davin sama sekali tak menyangkal, membuat Vida meluruskan pandangan kembali pada suaminya, meski tak berucap apa-apa. "Tapi aku suka," lanjut Davin dengan senyum mengembang indah, dan sekilas k
Bulu mata hitam nan panjang tampak bergerak-gerak kala Vida membuka matanya perlahan. Manik hitam itu terlihat lemah dan sayu saat menemukan Erick di sampingnya."Rick, kenapa lo ada di sini?" tanya Vida sembari berusaha bangun dari tidurnya."Lo udah sadar, Vid? Gimana keadaan lo sekarang? Kenapa kaki lo bisa diperban kaya gini?" Erick terlihat cemas.Vida menegakkan duduknya dan menjawab. "Tadi malam gue jatuh ke jurang, kayaknya membentur batu atau entahlah, tidak terlihat karena gelap.""Bagaimana bisa? Lalu dimana suami lo, sampai lo bisa jatuh kaya gini?""Tentu saja ada, kalau gak ada dia, siapa yang nolongin gue," terang Vida sedikit tersenyum, sangat bahagia mengingat perhatian Davin yang sangat mengayomi."Tapi kenapa lo dibawa ke gudang ini dengan keadaan tidak sadar? Lo punya masalah dengan seseorang?" Erick mulai curiga dengan kejadian yang baru saja dia lihat, hingga menuntunnya mengikuti Vida sampai ke gudang.Alis Vida mengernyit, dia ingat tadi malam jelas ada orang ya
"Terima kasih, Rick," ucap Vida kala Erick membantu dan mengantarnya naik ke atas."Sama-sama, Vid. Tapi suami lo marah, biar gue bantu ngejelasin semua kesalahpahaman ini padanya." Erick juga merasa bersalah dengan kejadian yang baru saja terjadi."Biar gue coba tangani dulu sendiri. Kak Davin pasti bisa ngerti," tersirat keraguan di wajah Vida ketika dia menjeda ucapannya. "Rick, maafin kak Davin ya, lo jadi kena tonjok lagi tadi.""Gak pa-pa, Vid. Kalau gue jadi suami lo, pasti gue juga begitu. Gue tahu dia seperti itu karena dia sayang sama lo, dengan membiarkan kita tetap bersahabat sebenarnya dia sudah menunjukan bahwa dia sebenarnya laki-laki yang sangat pengertian. Gue tahu dia yang terbaik untuk lo," ucap Erick jujur.Vida mengangguk, lantas kembali berucap. "Segera obati luka di wajah lo. Gue masuk ke dalam dulu."Erick mengangguk dan segera pergi menuju kamarnya sendiri. Sementara Vida langsung mengela napas panjang setelah menemukan bahwa kamarnya kosong tak berpenghuni. Di
"Sepatu rusak? Jadi begitu kamu menggambarkan aku?" Vida tersenyum getir kala mengucapkannya.Kepahitan tercetak jelas di wajah Vida. Kata sepatu rusak itu benar-benar sangat menyakiti perasaannya. Bukankan sepatu rusak berarti layaknya barang yang harus dibuang karena sudah kehilangan fungsinya? Itu kah yang diinginkan Davin saat ini?Perasaan yang tersakiti membuat hati Vida mengeras. Dia yang selama ini tak pernah meminta belas kasih pada siapa pun mulai menegakkan wajahnya. Rona lembut dan hangat yang tadinya Vida perlihatkan sebagai seorang istri yang baik, perlahan meninggalkan parasnya yang cantik. Kini hanya tersisa wajah angkuh dan begitu arogan.Setelah mengembuskan napas kasar Vida mulai berucap dingin. "Aku sudah mengatakan sejujurnya. Aku juga bukan orang yang suka merengek meminta orang untuk mempercayaiku. Sepatu rusak, cih ...."Vida kembali tersenyum getir. Tanpa ragu lagi Vida berbalik dan berjalan menjauh dari Davin, dengan langkah yang sama sekali jauh dari kesempur
"Vid, bagaimana perasaan lo sekarang?" Erick mendekat setelah dokter selesai memeriksa.Kini Vida juga sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Dia tengah duduk bersandar di bantal yang tinggi dengan wajah pias dan pucat."Sudah lebih baik, Rick. Terima kasih sudah membawa gue ke rumah sakit," jawab Vida lemah dan pelan."Iya, Vid. Itulah gunanya sahabat. Tapi sebenarnya suami lo di mana? Bisa-bisanya dia membiarkan lo sendirian berjalan di tengah hujan." Erick jadi emosi ketika ingat Vida bersimpuh di jalan dalam keadaan menyedihkan kala hujan sedang deras-derasnya."Ini gak ada hubungannya dengan dia, Rick. Gue sendiri yang ceroboh jalan di tengah hujan. Sorry ya sudah bikin lo cemas.""Gue sih gak masalah, Vid. Hanya saja hubungan lo dengan suami lo itu gimana? Apa hubungan kalian belum membaik sejak pulang dari puncak kemarin?"Vida tidak menjawab juga tidak menampilkan ekspresi apa-apa, matanya terlihat sayu dan turun ke bawah.Melihat ekspresi sedih Vida, Erick malah semakin emosi.
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah