"Pak Davindra Wijaya. Apa benar nyonya Lavida Veronika adalah istri Anda?" Salah satu juri bertanya untuk memastikan.Vida menelan saliva, ada rasa was-was yang menyambangi hati. Meski sejak malam panas setibanya di Bali, sikap Davin memang lebih hangat dari sebelumnya, tapi bukankah mereka akan segera bercerai? Apa Davin masih mau mengakuinya sebagai istri di depan khalayak ramai?Davin menaikkan kedua alisnya sekilas, kemudian menurunkan tangannya yang sedari tadi melipat di dada. Lantas menjawab santai. "Benar, Vida memang istri saya."Seketika Vida langsung menegakkan kepala, menatap paras tampan sang suami yang berdiri gagah di depan sana.Semua orang semakin riuh termasuk para juri yang juga merasa dibohongi. Tidak sedikit tatapan sinis yang tertuju pada Vida, namun perempuan itu terlihat tidak peduli, fokusnya masih pada sang suami."Tapi bukan berarti penilaian kompetisi ini tidak adil. Semua murni dari penilaian para juri, saya juga tidak pernah ikut campur dengan masalah desa
Senyum Davin luruh, bersamaan dengan pupil hitam yang melebar menunjukan rona keterkejutan yang teramat sangat. Terlihat sosok cantik yang akhir-akhir ini dia abaikan panggilannya tiba-tiba hadir di hadapannya."Fani, kamu ada di sini?" gumam Davin lirih.'Fani?' seketika Vida terkesiap mendengar nama yang diucapkan suaminya.Rasa sesak tiba-tiba menjalar di setiap persendian, hingga Vida mulai merasa beku dan kehilangan kekuatan. Sendok dan garpu yang dia pegang jatuh begitu saja, kala melihat sosok cantik nan sempurna, dengan senyum merekah di bibirnya.Bahkan rasa sesak itu telah berubah menjadi jutaan jarum yang menusuk-nusuk jantung, hingga Vida hanya bisa merasakan sakit yang tidak terkira, kala perempuan cantik itu tanpa canggung langsung duduk di pangkuan suaminya, sembari berkata. "Kamu terkejut?"Untuk beberapa saat Davin terdiam tak mampu menjawab pertanyaan kekasihnya yang baru saja tiba.Vida yang hampir melupakan perceraiannya karena sikap hangat yang diperlihatkan Davin,
Vida melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Bukan tidak mau membela diri, tapi Vida sudah muak berurusan dengan manusia penuh topeng seperti mereka. Sudah cukup dia menderita tekanan batin selama satu bulan ini. Dia ingin kembali ke Jakarta.Tidak ingin memberi kesempatan pada Davin untuk memikirkan istrinya, Fani bergegas memeluk tubuh tegap Davin."Davin, jangan tinggalkan aku. Aku tahu kamu tidak mencintainya, semua ini hanya karena tekanan nenek bukan?"Sikap diam Davin, membuat Fani menampakan senyum tersembunyi saat dia menunduk. Sesungguhnya Fani memang sudah tahu jika Davin telah menikah. Sebelum mengancam Davin di kafe merah, Dion sudah memberi kabar terlebih dulu kepada Fani. Namun kabar yang dia kirim ternyata tidak begitu berpengaruh pada Fani.Meski awalnya ada rasa terkejut dan marah, tapi rasa itu hilang seketika, kala Davin masih sering menghubunginya, dia sangat yakin Davin menikahi Vida hanya karena wanita tua menjengkelkan yang memintanya untuk segera menikah dengan Dav
"Tuan Davindra Wijaya, apa kamu kecanduan menjadi penjahat?" Vida sudah tak bisa menahan untuk menyemburkan kata pencegahan, ketika arlet berbahaya berbunyi di otaknya. Tangannya bergerak refleks menahan dada Davin untuk tidak mendekat.Senyum lebar tanpa seringaian jahat kembali terbit. Wajah memerah, gugup, dan takut, yang diperlihatkan Vida memang tampak begitu indah. Tapi lagi-lagi kata 'penjahat' kembali menguar menusuk gendang telinga Davin."Aku tidak tahu definisi jahat dari sudut pandangmu. Bisa kamu jelaskan dimana letak kejahatanku?" Suara bernada rendah tersebut masih mengalun lembut tepat di depan wajah Vida.Vida enggan menjawab, bibir yang mengerucut sebal terkatup rapat, dan terlihat sangat menggemaskan. Vida benar-benar tidak suka dengan senyum menjengkelkan yang terbit tepat di depan wajahnya.Jantungnya bergemuruh hebat ketika Davin meraih kedua tangannya dan mengunci di atas kepala. Vida nyaris tak bisa bernapas kala hidung Davin menyentuh daun telinganya, dan berbi
"Sampai sini aku sudah mencium aroma kekalahanmu, Fani," cibir Dion melihat Fani geram.Dion sendiri sebenarnya cukup tercengang dengan pemandangan yang dia lihat, pengakuan Vida saat berbicara dengan Erick sebelum melakukan presentasi, jelas menunjukan bahwa Davin dan Vida tidak saling mencintai, tapi gestur tubuh yang ditunjukan pasutri itu malam ini sama sekali tidak memperlihatkan jika mereka akan segera berpisah. Matanya pun memicing dan berbisik dalam hati, 'mungkinkah ada sesuatu yang tidak aku ketahui?'Dion sangat mengenal Davin yang tidak mudah jatuh cinta pada seorang gadis, tidak mungkin dia berpindah ke lain hati dengan begitu cepat. Bahkan dulu dia pernah hampir mati karena dicekik Davin gara-gara menginginkan Fani. Jadi mustahil jika Davin meninggalkan Fani hanya untuk perempuan yang belum lama datang di kehidupannya.'Sepertinya aku harus mencari tahu kebenarannya.' Dion kembali bergumam dalam hati.Sementara wajah Fani semakin memerah dipenuhi amarah, melihat mantan ke
Wajah Davin terlihat tenang, tidak ingin terpengaruh oleh isi pesan yang baru saja dia terima. Dia menguatkan hati, bahwa dia hanya menginginkan Vida. Lantas menegakkan wajah dan mendapati Vida yang menatapnya dingin. Jelas perempuan itu curiga, namun tak ingin bertanya.Davin mengulas senyum hangat, kilat matanya juga lembut tanpa kemarahan, meski Vida masih menunjukan sikap yang mengundang permusuhan.Setelah menyimpan ponsel ke dalam saku, Davin kembali meraih jemari Vida, dan berucap. "Sudah hampir pukul tiga dini hari, ayo kita kembali."Kedua pasang kaki tengah melangkah menapaki pasir putih, tatkala seseorang berteriak. "Ada perempuan tenggelam!""Apa dia sudah gila, berenang di lautan pada jam begini?""Orang waras tidak mungkin mencoba bunuh diri!"Sepasang mata pekat Davin melebar, dan melepaskan genggamannya pada tangan Vida. Ketika mulut yang mempunyai bibir tipis itu tiba-tiba menyerukan kata, "Fani!"Mendadak Vida membeku menatap tangan yang baru saja ditinggalkan suaminy
Vida sudah tiba di Jakarta beberapa saat yang lalu, tertegun sendirian di dalam taksi menuju rumah ayahnya. Mengubur pikiran yang berkecamuk, hanya ingin menikmati sisa liburan yang hanya tinggal tiga hari.Dia pikir tiga hari ini akan dia gunakan untuk mencari tempat tinggal baru. Sebelum kembali masuk kuliah dan bekerja di perusahaan FN. Dia juga harus mengurus perceraiannya dengan Davin.Taksi hampir sampai di rumah ayahnya ketika Vida menerima telepon dari kediaman Wijaya. Matanya menyipit tampak enggan menerima telepon, dia ingin memutus hubungan dengan keluarga itu. Untuk apa terlalu pusing memikirkan segala keribetan di keluarga tersebut, Vida memutus panggilan tanpa mau mengangkatnya. Tapi panggilan itu berkali-kali hadir, hingga dia sedikit sungkan dengan sopir taksi yang meliriknya dari spion dalam.Vida mengusap ikon warna hijau di layar ponselnya dan menyapa. "Halo.""Halo Mbak Vida, kesehatan nyonya Rumi sedang tidak baik. Saya mencoba menghubungi mas Davin, tapi tidak dia
Nenek Rumi terkekeh menebar kebahagiaan di wajah yang senja. Davin memang segera menghubunginya setelah Vida pergi dengan membawa kemarahan. Dan itu malah membuat nenek Rumi sangat bahagia. Akhirnya jebakannya berhasil menembus ke dasar hati cucunya, hingga kini tak mampu berpaling dari wanita pilihannya."Nenek senang kamu telah mengambil keputusan yang baik untuk masa depanmu. Nenek harap kamu tidak mengecewakan Vida." Nenek Rumi bertutur lembut sembari menatap dalam sang cucu yang mendadak terdiam.Alis pekat Davin yang memanjang terangkat sekilas, kemudian berkata pelan. "Aku masih berusaha mengejarnya, Nek. Dia belum menerimaku."Nenek Rumi kembali menatap cucunya dalam, dan melihat kegelisahan pada sepasang mata kelam di depannya. Meski nenek Rumi tidak menyukai kepedulian Davin terhadap Fani, tapi dia juga tidak bisa menyalahkan cucunya, dia begitu memahami posisi Davin pada saat itu. Membiarkan wanita gila mati di tengah lautan, tentu saja juga bukan hal yang baik."Kamu memang
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah