"Aku sudah membuat janji dengan dokter Jho. Tapi aku tidak bisa menyertaimu ke rumah sakit, ada sedikit masalah dengan proyek yang ada di Bali. Aku harus segera menuntaskannya." Suara berat Davin terdengar rendah kala Vida mengikat dasi dengan telaten melalui jari lentiknya, diikuti gumaman lirih dari mulut Vida yang tekatup rapat. "Hmm ...." Davin terus menatap lembut wajah cantik yang tak menampilkan ekspresi sedikit pun, bahkan manik hitamnya tak bergeser dari dasi yang mengikat lehernya, seperti tak tergiur oleh ketampananan yang layak untuk dipuji. "Aku akan sibuk sampai acara final kompetisi desain di Bali selesai. Jadi kemungkinan aku tidak akan pulang seminggu ini," imbuh Davin, dan lagi-lagi Davin hanya mendapatan gumaman lirih dari mulut Vida yang terkatup rapat. Sedikit kecewa, namun akan terlihat lucu jika dia terlalu menuntut istrinya untuk bersikap manis kepadanya. "Sudah selesai, aku akan mengemasi pakaianmu yang akan kamu bawa ke Bali." Vida sama sekali tak menatap
Vida tertegun untuk beberapa detik, mendengar tuduhan Fino yang sama sekali tidak dia mengerti. Dengan sedikit gugup dia memberanikan diri untuk bertanya. "Maksud Bapak apa? Mohon dijelaskan, saya kurang paham dengan tuduhan Bapak?"Fino masih memberi Vida tatapan tajam, dia sangat bisa merasakan kemarahan Fino begitu memuncak, hingga mata yang biasanya terlihat ramah, kini terlihat lebar menonjolkan bola mata hitam yang seakan ingin meloncat keluar dari kelopak mata.Setelah beberapa detik terdiam, kemudian Fino berucap dingin. "Ke ruanganku sekarang!"Fino berbalik dan berjalan penuh amarah menuju ke ruangannya.Vida menelan saliva dengan kasar, baru saja dia merasa senang karena mendapatkan menstruasi, tapi tiba-tiba kesenangannya dihancurkan begitu saja oleh hardikan keras atasannya. Masalah apa lagi yang harus dia hadapi kali ini?"Vid, biar gue temeni lo ke ruangan pak Fino." Erick yang bersimpati menawarkan diri untuk menemani.Vida menatap Erick sekilas dan berkata. "Tidak per
Vida menatap layar monitornya dengan tenang, menguras otak mencari ide bagaimana mengubah desain arsitektur yang hampir selesai tersebut menjadi desain yang lebih menarik. Tapi sungguh disayangkan ternyata sampai jam makan siang tiba Vida belum menemukan ide yang cocok untuk mengubah desain tersebut. Desahan frustasi keluar dari hidung sekaligus mulut yang sedikit terbuka secara bersamaan. Mengundang Erick yang duduk di sebelahnya menatap prihatin."Vid, makan siang dulu saja. Siapa tahu nanti dapat ide cemerlang setalah kita istirahat," ajak Erick mencoba mengurangi ketegangan di otak Vida.Tapi manik pekat Vida tak sekalipun bergeser dari layar monitor, dia hanya berucap dingin tanpa menoleh pada Erick. "Lo istirahat duluan saja, ntar gue nyusul."Erick tidak mungkin memaksa, terlebih dia memang tidak pernah memaksa Vida. Dia cukup mengenal gadis itu sangat keras kepala dan teguh pendirian, hingga saat dia berkata tidak, maka tidak ada yang bisa membantahnya."Gue akan beliin jus j
Mobil yang di kendarai Iko segera membelok di pelataran perusahaan Dion. Tidak menunggu Iko membukakan pintu, Vida segera keluar dalam mobil. Dia melihat sepuluh mobil sedan sesuai permintaannya juga baru saja berhenti di belakang mobilnya.Dengan senyum seringai yang begitu jahat, Vida segera masuk ke dalam kantor milik Dion. Iko yang mengetahui itu segera mengekor, setelah mengerlingkan mata pada empat pria berbadan besar yang baru saja keluar dari dalam mobil. Empat pria tersebut segera mengikuti Iko yang mengejar Vida masuk ke dalam kantor Dion.Sementara tiga puluh enam pria berbadan besar lain yang baru saja keluar dari mobil, terlihat berdiri dengan dengan sigap juga balok kayu di genggaman tangan mereka masing-masing, siap memporak-porandakan kantor Dion jika Vida memerintah.Sekretaris Dion yang mengetahui serangan mendadak tersebut, segera berlari menuju ruangan Dion."Pak, gawat! Kantor kita diserang," ucap perempuan cantik dengan gagap dipenuhi ketakutan."Hah? Siapa yang b
Nama Vida akhirnya bersih setelah dia menyerahkan video pengakuan Dion kepada Fino. Tapi Fino belum juga puas, karena desain perusahaannya telah dicuri oleh pihak kompetitor, dia masih memantau janji Vida untuk memperbaiki keteledorannya.Dan memang Vida terlihat berusaha keras membuat desain baru dengan sisa waktu yang cukup singkat. Dia sering kerja lembur sampai larut malam, ditemani Erick yang selalu setia menunggunya.Vida sampai lupa memberitahu Davin bahwa dia tidak hamil. Fokusnya terus tertuju pada pekerjaan. Dia pikir urusan perceraian bisa dipikirkan nanti, setelah dia menyelesaikan urusan desain arsitektur yang sangat menyita waktu dan pikirannya tersebut. Toh, Davin juga masih sibuk dengan bisnisnya di Bali, dengan tidak hamil tentu saja sudah membuat Vida lega dan tidak terlalu pusing memikirkan Davin.Tapi hal tersebut malah menciptakan kernyitan tajam pada alis senja yang baru saja mendengar bisikan dari Naya, pelayan kepercayaannya tersebut baru saja menemukan pembalu
"Jadi bagaimana, Vida? Kamu ingin bertukar atau tidak?" Sekretaris Fino mulai memperjelas pertanyaannya melihat keterkejutan di wajah Vida.Vida hanya menarik salah satu sudut bibirnya ke samping juga hidung yang terlihat nyengir, bagaimanapun keduanya bukanlah pilihan yang baik untuknya. Haruskah dia menginap sekamar dengan pria lain, saat statusnya masih istri orang? Vida masih ingat kemarahan Davin di dalam mobil saat menegaskan harus menjaga sikap selama menjadi istrinya."Tenang saja, Vida. Ruangannya memiliki double bed kok. Tendang saja dia jika macam-macam denganmu," imbuh sekretaris Fino yang dibumbui sedikit ledekan.Erick mulai mendengus kesal menatap Vida. "Lo lagi mikir apa, Vid? Jangan mikir yang tidak-tidak ya!""Tch ...." Vida hanya berdecak lirih.Sekretaris Fino tertawa ringan melihat sikap dua muda mudi yang masih tampak polos tersebut."Sudah ya, berarti sudah diputuskan kalian berdua tidur sekamar, tidak perlu ada pertukaran lagi," pungkas sekretaris Fino dan berl
Vida terkesiap mendapati suaminya ternyata juga berada di hotel yang sama. Dia ingin menyapa, namun urung dia lakukan. Vida malah berteriak terkejut, manakala Davin melangkah maju, dan mengangkat tubuhnya begitu saja pada pundak kokoh yang dia miliki."Kak, kamu ini apa-apaan? Turunkan aku! Aku haus, aku ingin membeli minum!" Vida meronta dan memukul-mukul punggung Davin, berharap suaminya akan melepaskannya.Tapi tentu saja Davin tidak mengindahkan pekikan istrinya. Dengan wajah dingin yang teramat serius dia terus melangkahkan kaki panjangnya menuju ruang presidential suite yang dia singgahi selama berada di Bali.Iko hanya bisa terbengong menatap pasutri yang baru saja bertemu tersebut, tak sedikitpun dia berani membuka mulut untuk mengomentari kelakuan Davin kepada sang istri. Apalagi dia sempat melihat ada raut kemarahan sebelum pintu lift terbuka.Tapi mendadak lengkungan senyum hadir pada garis bibir yang tampak menipis. Iko yang tadinya ingin mengikuti Davin, segera mengurungka
Dokter baru saja tiba di ruangan Davin bersama Iko. Dia segera masuk ke dalam kamar, sementara Iko langsung berdiri kaku dan sedikit gemetar tatkala mendapati tatapan tajam dari Davin. Bahkan dia tersentak dan tertegun setelah Davin menutup pintu secara mendadak tepat di depan hidungnya, jika dia maju sedikit saja sudah pasti darah segar mengalir dari lubang pernapasan, akibat hantaman kuat dari benda keras yang menjadi penutup ruangan yang sangat pribadi tersebut.Melihat betapa kacau ruangan tersebut, dokter sudah dapat menebak apa yang baru saja terjadi, dia sudah sering mendapati pasien dangan kondisi seperti ini di hotel. Dengan tenang dan sangat profesional, dokter segera memeriksa keadaan Vida yang masih terkulai lemas dengan mata terpejam.Sementara Davin terus memperhatikan dokter yang masih memeriksa istrinya, tak bisa menyembunyikan binar cemas yang sejak tadi mengitari parasnya yang tegang. Rasa sesak juga kian menghimpit, membuat Davin tak bisa bernapas dengan leluasa, seb
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah