"Apa hamil?" Perempuan paruh baya yang baru saja membuka pintu kamar memekik terkejut.Vida dan Pam juga terbengong beberapa detik. Tapi Vida segera tersadar dan berhambur mendekati suaminya. Tangan kanannya merengkuh lengan Davin. Sementara tangan kirinya merebut ponsel dan mematikan panggilan terhadap Mee Noi."Bibi, jangan terlalu terkejut. Kak Davin memang suka bercanda, jangan pedulikan ucapannya." Vida mulai berdalih untuk menghindari ketegangan di wajah Pam dan juga ibunya.Sementara ibunya Pam langsung menelisik paras tampan Davin yang terlihat tenang tanpa senyuman. Hatinya seakan menolak semua ucapan yang dilontarkan Vida. 'Masa iya, orang yang pendiam dan jarang menampakan senyum seperti itu, suka bercanda?'Vida mulai sedikit was-was melihat tatapan ibunya Pam yang menelisik suaminya, dia kembali mengambil inisiatif untuk pergi dari tempat itu, sembari tersenyum tipis. "Bibi, sebaiknya kami pulang dulu, biar Pam bisa istirahat. Pam, cepat sembuh ya, kami pulang dulu. Ayo, K
Suara gemericik air terdengar begitu nyaring ketika Davin menyusul Vida ke kamar. Sepertinya Vida benar-benar mandi setelah meninggalkannya di meja makan dengan binar kemarahan.Sampai gemericik itu tak lagi terdengar, Vida belum juga muncul dari balik pintu kamar mandi, membuat Davin tak tahan untuk berdiam diri dan menunggu. Dia segera membuka pintu sliding yang berbahan kaca buram, dan mendapati Vida yang sedang gosok gigi.Cermin lebar yang terpasang di depan wastafel menunjukan Vida yang berbalut handuk putih yang melilit di dada, hingga tampak dari belakang punggung ramping dengan kulit putih yang cerah terawat, saat rambut hitam yang biasanya menjuntai panjang ditekuk ke atas dan digulung dengan handuk putih pula.Diam-diam Davin mendekat dan memeluk Vida dengan lembut dari belakang. Tidak berucap apa-apa, hanya sesekali mencium pundak dan punggung Vida yang terbuka dengan begitu menghayati. Vida juga tak berucap apa-apa, dia masih melanjutkan aktivitasnya menggosok gigi."Apa y
"Aku tahu kamu menyukai Vida. Aku bisa membantumu mendapatkan Vida jika kamu mau."Pam menatap Fani tajam, lantas mengembuskan napas kasar sembari tersenyum remeh. Tangannya juga bergerak perlahan, kemudian melipat di depan dada sembari menyandarkan punggungnya ke belakang. Belum berucap apa-apa masih menatap Fani lekat."Bagaimana?" Suara Fani kembali mengalun lembut terbawa angin pantai yang yang sedang berembus.Pam tersenyum miring dan berucap. "Hanya orang bodoh yang mau mempercayaimu. Kamu berusaha mencelakai Vida."Senyum Fani terus mengembang indah sama sekali tak terpengaruh dengan dengan ucapan Pam yang ketus. "Nama mu Pam 'kan?"Pam tidak menjawab, dia malah membuang pandangan dengan acuh tak acuh ke arah lain."Pam, maaf ya, saat itu aku berusaha menyakiti Vida. Dulu aku merasa hanya sendirian, jadi aku berusaha mendapatkan apa yang aku miliki dengan caraku sendiri. Jika aku tahu kamu menyukai Vida, aku tidak akan mungkin berusaha melukainya, sebenarnya aku juga sangat men
Meski Thailand sedang musim hujan. Udara panas di bulan Agustus memang cukup tinggi, tapi nyatanya tak menyurutkan para pelancong yang ingin menikmati indahnya suasana pantai Pattaya. Bangku berpayung yang berjajar rapi di pinggir pantai menampakan puluhan turis yang sedang bersantai menikmati limun segar. Menyibukkan restoran kecil yang tampak ramai sore ini."27,5 baht," ucap Kla sembari menyodorkan limun segar pada pelanggan."Wow, tapi di list harganya 55 baht.""Iya, hari ini putri kami ulang tahun jadi diskon 50%," terang Kla ramah."Oh, terima kasih."Dari arah lain seorang wanita paruh baya yang baru saja melayani pelanggan segera bersuara ketika melihat putrinya membawa dua piring besar yang berisi aneka olahan seafood yang baru saja di masak oleh koki."Vida, kenapa kamu yang membawanya? Kamu istirahat saja, ini adalah hari spesial untukmu. Kamu harus menjadi putri raja hari ini." Nia mengambil alih piring yang ada di tangan Vida."Ibu, jangan berlebihan. Ini bukan ulang ta
"Hai, Vida. Tadinya aku ingin makan malam di restoran ini, tapi ternyata kamu sedang ulang tahun. Aku tidak bisa menahan diri untuk menyapamu. Selamat ulang tahun ya, semoga apa kamu inginkan tercapai di umurmu sekarang." Seperti biasa tak ada sedikitpun binar jahat yang terpancar dari wajah cantik Fani, begitu lembut dengan senyum yang terlihat tulus.Vida perlahan menarik senyum samar dan berucap datar. "Terima kasih.""Ayo-ayo, segera duduk dan nyalakan lilinnya." Nia memecah kekakuan dengan suaranya yang renyah dan riang mengembalikan atmosfer ruangan menjadi menyenangkan seperti sebelumnya.Lilin yang menyala sudah ditiup setelah Vida make a wish. Suara tepukan tangan menyambut diiringi suara gelak tawa yang menyenangkan. Kue yang di potong Vida segera melayang ke mulut Davin, Nia, dan Kla secara bergantian saat Vida menyuapi mereka."Giliranku." Pam juga tak ingin melewatkan jatah suapan dari tangan Vida yang menurutnya sangat membahagiakan.Meski alis tebalnya sedikit terangkat,
"Ah!" teriakan terdengar bersamaan dengan tumpahnya kuah tom yam panas ke lantai. Bukan dari mulut Vida, melainkan Davin. Dia baru saja meninju panci panas agar Vida tidak menubruk panci tersebut. Sementara tangan kirinya menahan tubuh Vida agar perutnya tidak membentur meja.Seketika perhatian semua orang tertuju pada suara panci yang jatuh dengan keras ke lantai juga kuah merah yang muncrat kemana-mana. Musik segera dimatikan dan berhambur menghampiri Vida yang tampak panik."Kak, tanganmu terkena panci dan kuah panas!""Astaga ... Bagaimana ini bisa terjadi?" Nia juga terlihat sangat khawatir."Bilas dengan air mengalir!" Kla juga berseru dengan panik.Dengan cepat Vida menarik Davin menuju wastafel dan menyiram tangan suaminya yang tampak merah, dengan raut wajah suram penuh kecemasan."Bagaimana bisa terjadi?" Semua orang masih membuntut untuk menengok keadaan Davin sekarang.Dicemaskan oleh begitu banyak orang tentu saja membuat Davin tidak nyaman. Dia tidak suka dikasihani seper
"Tidak akan pernah!" Davin tak kalah tegas dibanding Vida. Kilat mata nya masih terarah pada Fani dengan penuh kebencian. "Mencoba menyakitimu dan bayi kita. Aku tidak akan pernah mengampuninya!"Vida berusaha melepaskan botol itu dari tangan Davin, tapi nyatanya genggaman dari tangan kekar itu sangat kuat hingga Vida benar-benar sangat kesulitan."Kak, lepaskan botolnya!" Vida berteriak tapi tak ada tanggapan dari Davin, hingga pikirannya mulai kacau, memicunya melakukan sesuatau yang seharusnya tidak dia lakukan di saat genting seperti ini. Kedua tangan Vida tiba-tiba meraih pipi Davin dan mencium bibirnya dengan begitu dalam, membuat Davin tersentak dan terkejut dibuatnya.Seketika tubuh Davin yang tadinya begitu tegang tiba-tiba menjadi melemah saat matanya terbuka lebar, merasakan ciuman Vida yang begitu menekan dan teramat dalam, hingga menghentikan napasnya untuk beberapa detik.Perlahan Mee Noi melepaskan Davin saat tubuh tegap itu tak lagi melakukan perlawanan. Dia sendiri mul
Hari telah berganti, namun suara rintik hujan terdengar bergemericik, menyemarakkan pagi yang dingin, hingga membuat Vida tak bisa melakukan aktivitas rutin pagi ini. Jalan-jalan.Davin sendiri sedang duduk dengan tenang menatap laptopnya. Tidak perlu bersembunyi lagi setelah Vida mengetahui semuanya. Meski sampai sekarang Vida juga belum mau diajak pulang.Sementara Vida tampak bermalas-malasan di tempat tidur, sembari memandang suaminya yang duduk dengan tenang dan mengabaikannya. Senyum Vida melengkung tipis, ada kekaguman yang dia tunjukkan pada sorot mata. Sosok tampan yang terlihat sempurna, dia juga mampu mengelola bisnis secara rapi meski dari jarak jauh. Tapi siapa yang menyangka jika laki-laki itu memiliki pengendalian diri yang sangat buruk.Vida tak bisa lagi berdiam diri. Ketampanan itu terasa mengganggu hingga dia tak tahan untuk mendekat. Davin pun hanya tersenyum ketika Vida tiba-tiba duduk di pangkuan, dan merengkuh lehernya lembut dengan kedua tangan."Apakah aku meng
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah