Aara tampak baru saja bangun dari tidurnya, dia membuka matanya. Melihat pada langit-langit kamarnya yang berwarna putih.Pandangan samar itu secara perlahan mulai menjelas, dan membuatnya tersadar sepenuhnya.“Aku ... ahh.” Aara merasa tubuhnya ini begitu sakit, dia seperti habis dipukuli oleh banyak orang yang membuatnya bahkan tidak bisa bergerak.“Entah berapa kali dia melakukannya semalam. Aku tidak tahu, yang jelas dia seperti tidak ingin berhenti. Apakah dia sengaja, karena dia tahu inilah hasil dari perbuatannya semalam. Tapi kenapa dia ....”Aara mengingat kembali apa yang terjadi semalam, terutama saat dia melihat tatapan Zayden yang menurutnya begitu aneh. Zayden mengatakan sesuatu yang tidak pernah dia duga sebelumnya.Semalam.“Buka matamu.”Deg!Aara yang memang tengah menutup matanya itu merasa terkejut dengan apa yang baru saja Zayden katakan.“Buka matamu dan lihat aku,” ucapnya lagi.Mendengar ucapan itu untuk yang kedua kalinya. Aara pun merasa terhipnotis
Melihat itu, Aara pun merasa bingung. Dia gugup, apakah sikapnya tadi sudah sesuai dengan yang Zayden inginkan. Atau justru tidak, karena jika tidak. Mungkin, ayahnya akan benar-benar dalam bahaya.‘Bagaimana ini? Apakah dia tidak puas?’ batinnya.Arah pandang Aara terus melihat ke mana Zayden pergi. Matanya tiba-tiba membelalak kala melihat Zayden yang menanggalkan jubah mandinya begitu saja tepat di depan Aara.Aara yang syok itu tidak bisa berkata apa pun, dia hanya terus melihat pada Zayden dengan matanya yang masih melebar.Tampak, Zayden yang dengan santainya memakai pakaian kantornya. Seakan dia tidak malu dengan apa yang dia lakukan saat ini.‘Ada apa dengannya, apa dia sudah gila? Bagaimana dia bisa telanjang bulat di depanku bahkan dengan begitu santai,’ batinnya yang tampak masih begitu syok.Zayden menoleh, melihat pada Aara. Sebelah alisnya tampak terangkat, ketika melihat ekspresi Aara saat ini.“Apa kau akan terus melihatku?”Deg!Aara tersentak, hingga tersada
Zayden keluar dari dalam ruangannya, seraya berjalan menuju pintu, dia melirik tajam pada Aara yang duduk di mejanya.Aara yang mendapat tatapan itu pun langsung merasa bingung. Ada apa lagi, kenapa dia terlihat marah? Apa aku melakukan kesalahan? Batinnya.Arah pandang Aara terus mengikuti ke mana Zayden pergi, hingga dia membuka pintu dan keluar dari sana.“Dia mau ke mana. Dan kenapa dia tampak begitu marah padaku?” gumamnya.Seketika, Aara pun terdiam. Tampak tangannya yang berada di atas meja itu dia gunakan untuk memangku wajahnya.Aara mengingat sikap aneh Zayden akhir-akhir ini. Terutama, jika mereka melakukan itu.Padahal, dia terus mengatainya sebagai wanita kotor. Tapi, kenapa akhir-akhir ini dia terus menyentuhnya?Dan setelah bersikap aneh selama dua hari ini, sekarang. Tatapan tajamnya itu kembali dia perlihatkan.Entahlah, sekali lagi. Aara benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran pria itu.***Zayden sudah berada di depan ruangan presdir saat ini
“Tuan, apakah mungkin. Anda sedang sakit?” tanyanya.Zayden menoleh lagi pada Aara. “Tidak,” jawabnya singkat.“Tapi, Anda terlihat—““Aku bilang tidak, pergi sana!” usirnya kemudian.Mendapat tatapan dingin Zayden yang semakin terlihat jelas, Aara yang merasa takut itu pun akhirnya menurut.Dia berbalik, lalu pergi dari sana. Walaupun hatinya merasa ragu, karena di matanya Zayden tampak begitu pucat.Tapi apa hendak di kata, dia tidak bisa melawan perintah Zayden.Setelah kepergian Aara, Zayden langsung menyandarkan punggung pada kursi kerjanya.Dia memegangi keningnya dengan suara nafasnya yang terdengar memburu.“Kepalaku sakit sekali,” gumamnya.Sementara itu di luar, Aara yang sudah kembali duduk di tempatnya itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari ruangan Zayden.Dari dinding kaca itu, Aara bisa melihat dengan jelas keadaan Zayden saat ini.“Bukankah dia benar-benar terlihat sakit?” gumamnya.Namun, sekali lagi. Walaupun itu benar, Aara tidak bisa melakukan apa
“Duduklah Tuan,” ucapnya.Zayden menurut, dalam diamnya dia pun duduk di kursi kerjanya.Matanya itu terus melihat Aara yang sibuk membuka bungkusan yang tadi dibawanya.Dia mengambil plester penurun panas dan menempelkannya pada Zayden.“Apa ini? Kau pikir aku anak kecil?” tanyanya.“Ini plester penurun panas, dan ini untuk orang dewasa,” jawabnya.Zayden kembali diam. “Saya juga membeli obat untuk Anda. Tapi sebelum itu, Anda harus makan dulu. Saya sudah membelinya di luar tadi,” ucapnya.Aara lalu membuka bungkusan lainnya yang tak lain adalah semangkuk bubur.“Silakan Tuan,” ujarnya.Zayden menatap bubur itu, dilihat dari penampilannya sudah jelas jika bubur ini dia beli di tempat kaki lima.Tapi, sebenarnya dua tidak mempermasalahkan hal itu. Karena sewaktu kecil, dia bersama mamanya juga selalu makan makanan pinggir jalan.Yang menjadi masalahnya adalah, bubur ini dibawa oleh wanita yang amat dibencinya.Zayden mendongak melihat pada Aara. Wanita yang menjadi pelampi
Saat di perjalanan pulang, Aara tampak risih dengan Zayden yang terus menatapnya bahkan teralih sedikit pun.Aara berusaha untuk tetap menunduk, berusaha menghindari tatapan Zayden.Namun, semua itu percuma. Karena Zayden menatapnya terang-terangan hingga membuat Aara menyadarinya walaupun tidak secara langsung melihatnya.‘Dia kenapa sih, kok ngeliatin aku terus? Apa ada yang salah denganku?’ batinnya.Aara terus berusaha menghiraukan hal itu, namun ternyata itu tidak mudah.Dia pun lalu mengangkat wajahnya dan menoleh pada Zayden.“Apa ada sesuatu di wajah saya, Tuan?” tanyanya.“Tidak ada,” jawab Zayden apa adanya.“Lalu, kenapa Anda terus melihat saya?”“Melihatmu?” Zayden mengerutkan keningnya. “Aku melihat jendela di sampingmu,” lanjutnya.Deg!Mendengar itu, seketika Aara pun melihat ke arah jendela di sampingnya. Matanya langsung tertutup, karena rasa malu yang dia rasakan saat ini.‘Kenapa aku bisa berpikir dia melihat ke arahku? Padahal kan itu tidak mungkin, das
Di dalam perjalanan menuju tempat pesta, Aara tampak terus melirik pada Zayden yang hanya melihat lurus ke arah depannya. Dia masih memikirkan apa yang tadi Zayden lakukan padanya. Hatinya terus bertanya-tanya sebenarnya apa maksud Zayden melakukan hal itu. Lalu, kenapa dia juga mengatakan hal seperti itu padanya. ‘Apakah di matanya, saat ini aku sungguh terlihat sempurna?’ batin Aara. Dia kemudian menggeleng, setelah apa yang baru saja dia pikirkan. ‘Tidak mungkin, dia pasti mengatakan itu untuk menggodaku. Dia ingin aku berpikir yang aneh-aneh dan akhirnya hanya mempermalukan diriku sendiri. Bukankah dia iblis, dia tidak mungkin memuji seseorang. Apa lagi aku,’ lanjutnya. Tak lama, Aara merasakan laju mobil yang mulai melambat. Dia lalu melihat ke arah jendela kaca mobil yang ada di sampingnya. Mulutnya terbuka, karena kagum dengan taman yang saat ini dia lewati. “Indah sekali,” gumamnya. Zayden menoleh, karena sebenarnya dia mendengar apa yang baru saja Aara gumamnya. “Jadi
Dia terdiam, dan melihat kedua orang tuanya yang memang baru saja masuk ke aula pesta.‘Akhirnya, tamu yang kutunggu-tunggu datang juga. Aku ingin tahu, apa reaksinya. Jika dia tahu wanita simpanannya ini ada di sini. Apakah dia akan tetap bersikap tidak tahu malu. Atau justru, dia akan lebih mengutamakan harga dirinya. Tapi, tentu saja aku tidak akan membiarkan mama sakit hati,’ batinnya seraya melihat kepada mamanya yang berjalan di samping papanya.Ekor mata Zayden tampak melirik pada Aara yang juga hendak melihat ke arah pintu masuk.Namun, tentu saja Zayden tidak membiarkannya. Dia langsung menyentuh bahu Aara, dan menempatkannya kembali ke arah depan.“Kalai begitu, kami akan menemui tamu lainnya,” ujar Zayden yang dijawab anggukan oleh Rain.Aara yang masih terlihat bingung dengan tingkah Zayden itu pun, hanya bisa mengikuti Zayden dengan raut kebingungan di wajahnya.“Tuan, tunggu sebentar. Anda menarik saya terlalu kuat. Tangan saya sakit!”Mendengar itu, Zayden pun la