Zayden tampak berjalan masuk ke dalam mansionnya sembari berbicara dengan seseorang melalui seberang telepon.“Kau sudah mengaturnya?”“Sudah Tuan, besok Anda bisa langsung ke sana,” jawab orang dari seberang telepon yang tak lain adalah Sam.“Bagus.” Setelah itu sambungan pun terputus, Zayden tampak begitu puas dengan hasil pekerjaan dari Sam. Dia memperlebar langkahnya untuk segera sampai ke tempat tujuannya saat ini.Ceklek!Zayden membuka pintu berwarna putih itu, matanya langsung tertuju pada sosok Aara yang saat ini tengah duduk di sofa.Aara juga tampak menoleh kala dia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka itu.Dia langsung hendak berdiri, namun Zayden langsung menahannya.“Tidak usah, duduk saja. Kenapa kau harus membuat dirimu sendiri sulit,” ucapnya yang berhasil membuat Aara hanya menatapnya sambil kembali duduk di sofa.Zayden juga terlihat duduk di sana, dia melihat Aara dan berniat menyampaikan sesuatu.“Apa aku terlalu lama?” tanyanya yang mencoba untuk
“Kau sudah siap?” tanya Zayden yang masuk ke dalam kamar Aara.Dia terdiam, kala melihat Aara yang sepertinya memang telah menyelesaikan persiapannya.Tanpa sadar, netranya itu bergerak dari bawah ke atas menatap penuh kagum pada Aara saat ini.Bagaimana Aara bisa begitu cantik, dress selutut berwarna biru langit itu sangat cocok dengan kulitnya yang putih.“Aku sudah siap,” ucap Aara menjawab Zayden.Namun, Zayden tidak menggubris. Tatapan dan pikirannya itu masih tetap tertuju pada Aara.Aara mengerutkan alisnya, dia tidak tahu kenapa Zayden hanya diam.“Tuan Zayden,” ujarnya. Dan akhirnya sukses menyadarkan Zayden. Dia terkejut karena Aara tiba-tiba sudah berada begitu dekat dengannya.“Saya sudah siap,” ucap Aara lagi.“Oh, ka-kalau begitu kita berangkat sekarang,” ucap Zayden.Aara pun mengangguk, tampak Zayden yang berjalan lebih dulu, lalu disusul Aara di belakangnya.Dalam perjalanan mereka menuju lantai satu, Aara tampak terus menatap Zayden yang berjalan di depann
Zayden dan Aara tampak berjalan bersama masuk ke dalam mansion, mereka lalu menaiki anak tangga dan terus melanjutkan langkah mereka untuk menuju kamar.Sesekali Zayden menoleh ke arah Aara yang ada di sampingnya, dia tersenyum karena merasa begitu senang. Dia belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya, jadi. Apakah seperti ini rasanya akan menjadi seorang ayah. Rasanya hatinya berdetak dengan sangat cepat.Dia mengingat bagaimana di kelas ibu hamil tadi, saat dia menggendong sebuah boneka bayi. Tanpa sadar, dia hampir saja meneteskan air mata karena perasaan yang tidak bisa dia ucapkan dengan kata-kata. Tangan dan kakinya juga tiba-tiba bergetar, rasanya begitu aneh. Tapi dia tidak membencinya, sebaliknya dia justru sangat menyukainya.Drrrtt drrtt!Zayden terkejut sendiri saat merasakan ponselnya itu yang bergetar, dia pun mengambilnya dan melihat ada sebuah pesan dari papanya.[Zay, ada masalah besar. Mamamu bilang dia akan ke rumahmu.]Deg!Mata Zayden membesar kala mem
Sebuah mobil mewah berwarna hitam tampak melaju di sebuah jalanan raya yang terbilang cukup sepi.Di dalam mobil itu tampak Aara dan Aland yang duduk di saling berdampingan.Aland yang sedang menyetir itu terlihat melirik pada Aara yang saat ini hanya diam menunduk dengan jari-jari tangannya yang saling terpaut satu sama lain.“Kenapa? Apa kau menyesal ikut denganku, atau kau sedang memikirkan orang-orang di mansion Zayden?”Aara tidak menjawab, karena sebenarnya dia cukup menyesal ikut dengan Aland. Dia tidak tahu, apa yang Aland rencanakan. Tapi, dia juga penasaran dengan kebenaran yang Aland coba tunjukkan padanya. Terlebih, ini mengenai Zayden.“Jika kau menyesal, itu tidak ada gunanya. Karena kita sudah berada di tengah jalan. Dan jika kau khawatir dengan kebakaran itu. Kau tenang saja, aku tidak sejahat Zayden yang akan menghilangkan nyawa orang begitu saja. Itu hanya kebakaran tipuan untuk memecah konsentrasi mereka. Agar aku bisa masuk ke sana dan menemuimu,” jelasnya.M
Melihat Aara yang berhadapan dengan mamanya itu membuat pikiran Zayden langsung tertuju pada sesuatu yang sudah dia sembunyikan dari Aara. Apakah, Aara sudah mengetahuinya. Apakah mamanya tanpa sengaja mengatakan hal yang selama ini dia takutkan. Menyadari itu, Zayden pun kembali melangkahkan kakinya menghampiri tempat dimana Aara dan mamanya berada. Dia harus memastikan, apakah benar Aara sudah mengetahuinya atau belum. “Aara,” panggilnya. “Kau, ada di sini? Kenapa kau tidak memberitahuku?” Aara tidak menjawab, dia hanya menunduk. Entah kenapa setelah mendengar suara Zayden, membuatnya tersadar dan rasa sakit di dalam hatinya ini semakin terasa. “Aara?” panggil Zayden lagi, entah kenapa diamnya Aara saat ini membuat perasaan takut itu menjadi semakin besar. Sementara Alya terlihat menunjukkan raut kebingungan. Dia tidak tahu, tapi kenapa suasana saat ini menjadi begitu tegang. Secara perlahan, Aara terlihat mulai mengangkat wajahnya. Dia menatap Zayden dengan bola mata hitamnya
“Aara, kau pasti baik-baik saja. Kau harus baik-baik saja,” ucap Zayden seraya mengikuti perawat dan juga dokter yang membawa Aara ke ruang gawat darurat. “Anda silakan tunggu di luar, biarkan kami melakukan tugas kami,” ucap perawat di sana yang kemudian menutup pintu UGD. “Sayang, kemarilah,” ujar Alya yang membawa Zayden mundur dari sana. Zayden terlihat begitu frustrasi, sesekali dia juga mencengkeram rambutnya untuk menunjukkan perasaannya saat ini. “Ini semua salahku Ma, Aara seperti ini karena salahku. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya, apa yang harus aku lakukan nanti?” ucapnya dengan air mata yang sudah mengalir. “Ssttt, jangan bicara seperti itu Nak. Aara pasti baik-baik saja. Jadi, tenanglah.” Alya memegang lembut kedua bahu Zayden, berharap putranya itu akan sedikit merasa tenang. ‘Bagaimana aku bisa tenang? Jika seseorang yang kucintai sedang tidak baik-baik saja, aku sangat takut,’ batinnya. Hingga akhirnya 15 menit pun berlalu, pintu ruang UGD itu tampak terb
Semenjak pembicaraan penuh duri yang Zayden dan Aara lakukan terakhir kali, hubungan mereka saat ini terasa semakin dingin. Zayden merasakan ada begitu jarak, walaupun tidak terlihat.Sikap Aara padanya benar-benar jauh berbeda, tidak ada rasa takut lagi pada dirinya untuknya. Justru sebaliknya, sekarang dialah yang merasa takut. Dia takut Aara benar-benar akan meninggalkannya.Zayden terlihat duduk di sofa yang ada di dalam ruang rawat Aara. Saat ini dia tengah menyiapkan susu hamil yang biasanya memang Aara minum, karena susu ini bisa membantu perkembangan janin yang ada di dalam perutnya. Terlebih saat ini kondisi Aara sedang tidak baik, itu pasti sangat mempengaruhi perkembangan janinnya.Zayden melihat Aara yang tampak hanya terdiam seraya melihat lurus ke arah depannya.Wajahnya masih terlihat begitu pucat, dan dia sama sekali tidak berbicara lagi sejak dia sadar.Zayden lalu berdiri setelah dia selesai membuat susu itu, dia melangkah mendekati Aara. Namun meskipun dia suda
Sam dan Lucas tampak tengah mewawancarai para pelamar untuk dijadikan sebagai pelayan pribadi dari nyonya mereka, Aara.Karakteristik yang diinginkan oleh Zayden begitu spesifik sehingga menyulitkan mereka untuk menemukan pelayan sesuai yang tuan mereka inginkan.Zayden memegangi keningnya yang teras sakit saat dia mengingat hal apa saja yang harus dimiliki oleh pada pelamar.“Dia bukan hanya harus bisa mengurus Aara, tapi dia juga harus bisa membuatnya selalu bahagia. Aku tidak butuh pelayan yang hanya bisa bersih-bersih atau memasak. Yang aku inginkan adalah pelayan yang menjaganya. Dan ya, Aara tidak suka banyak pengawal di dekatnya. Karena itu, carilah pelayan yang juga bisa bela diri. Dengan begitu bukan hanya bisa mengurusnya dia juga bisa menjadi pelindung Aara sekaligus.”“Haaahhhh!” Sam menghela nafasnya dengan begitu berat, apakah dia bisa menemukan kriteria pelayan yang seperti itu.Itu tidak mudah, karena buktinya dari banyaknya pelamar yang dari tadi dia wawancarai t