Share

Terjebak Cinta Segitiga
Terjebak Cinta Segitiga
Author: Respaty legacy

Rei dan Venca

Author: Respaty legacy
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Gadis dua empat tahun itu tersenyum begitu gawainya berdering. Di jam setelah tahajud, pria itu selalu meneleponnya. Dipanggilnya, “Rei.” Nama yang singkat tetapi mampu membuat hati Caca kalang kabut. Berdetak kencang setiap kali diteleponnya. 

Seperti sekarang saat mengobrol dengan pria itu. Rei, mengaku anak petani miskin dari Cilacap. Entah, siapa pun dia, Caca tidak peduli, gadis berhijab itu setia menunggu suaranya, walau di jam orang masih terlelap. 

Freetalk. Adalah, layanan berbicara bebas—gratis selama satu bulan jika mengisi pulsa lima puluh ribu. Ini layanan khusus untuk pelanggan salah satu provider telekomunikasi. Jika masa berlangganan sudah lebih dari satu tahun. 

Layanan ini yang dimanfaatkan oleh Re dan Caca setiap malam untuk saling mengobrol—hingga sebelum fajar menjelang. Mengacak nomor telepon, yang membawa mereka saling kenal beberapa bulan terakhir ini.  

Suara Re, berat tetapi menenangkan, banyak bercerita, tahu tentang banyak hal. Musik, film, dan juga agama, ini yang penting untuk Caca. Sebagai gadis berkerudung dia perlu memilih calon imamnya kelak. 

“Rei, hari ini apa kabar?” tanya Caca malu-malu. Sebagai gadis bermartabat, seharusnya dia tidak melakukan hal ini. Namun apa daya, Rei, mampu melambungkan asa-nya melebihi tinggi angkasa. 

“Baik, Ca. Bapak berhasil panen. Alhamdulillah,” tutur pria yang mengaku berumur dua puluh delapan itu. “Caca enggak ngantuk?” tanyanya, malu-malu. 

“Tadi kan udah tidur, sekarang nungguin adzan Subuh.”

“Sambil ngobrol enggak apa-apa?” tanya Re, suaranya selalu terdengar riang. 

“Enggak apa-apa, Rei,” balasnya. Suara gadis itu terdengar halus, merdu. Siapa pun pasti betah berbicara lama-lama dengannya.

“Ca, boleh enggak Re minta sesuatu?”

“Apa, Rei?”

“Caca tunggu Re datang ke rumah ya, ketemu sama bapak ibu kamu. Tapi, sementara itu, Caca jangan terima cinta dari lelaki lain dulu. Boleh kan, Rei minta begitu?”

Bagi Caca, gadis baik-baik yang selama hidupnya tidak pernah berpacaran, permintaan Rei adalah hal yang bombastis, sanggup menggetarkan jiwa raganya. Dia terduduk lemas di tepi ranjang. 

“Gimana Re bisa yakin, kalo kita jodoh?” tanya Caca, hatinya menghangat tetapi juga diliputi keraguan. 

Belum pernah bertemu, bagaimana Re bisa bilang kalau mereka berjodoh? begitu pikir Caca dalam hati. 

Gadis itu mau saja percaya sepenuhnya kepada Re. Hanya saja, setiap kali dia bercerita tentang Re, kebanyakan tidak percaya pria itu ‘normal’. Apa lagi keluarganya.  

“Apa iya, kalau dia pria normal, bisa mengatakan cinta ke orang yang belum pernah dia temui sebelumnya? Pasti Re itu ada cacat, atau memang pria tua kesepian yang mencari mangsa untuk dia jadikan pelampias nafsu birahi.” Begitu kata mama Caca. 

Apa lagi, keluarga Caca termasuk keluarga terpandang, walau ayahnya membiarkan anak-anaknya berusaha sendiri. Kalau berjodoh dengan seorang petani, walau cerdas, rasanya, ayah Caca tidak memasukkan kriteria itu sebagai calon pendamping anaknya.  

Obrolan itu berlanjut, di seberang sana, Rei, menjawab dengan segenap memantapkan hati juga kalau Caca pilihan hatinya. “Rei, yakin. Sejak pertama kali kita kenalan, Caca baik banget.” Kata pria itu, percaya diri. 

“Masa, si, Rei? Di kampung memang enggak ada cewek yang disuka? Kan enak tuh, Re enggak perlu jauh-jauh mikirin Caca ada di Jakarta. Juga enggak perlu susulin ke sini.” Pancing Caca. “Ongkosnya mahal,” tambahnya lagi. 

Sekilas, Caca hanya berpikir kasihan, kalau Re harus menghabiskan ongkos ke Jakarta. Petani, pasti kehidupannya pun pas-pas-an. 

“Enggak ada yang Re suka. Cinta Re, buat Caca. Kita kan pernah tukaran foto, Re langsung jatuh cinta.”

Sukses membuat gadis itu tersipu malu. Hatinya mengembang, ringan. 

 “Rei, pinter banget ngerayu,” ucap Caca, sambil menundukkan kepala, bergerak serba salah. 

“Enggak merayu. Rei ngomong beneran, jujur dari hati yang paling dalam.”

“Apa iya, Re, kita berjodoh? Kita belum pernah ketemu. Kenalan aja ngacak nomor telepon, Rei. untung-untungan. Untung ketemunya sama Rei, bukan lelaki mesum atau jahat.”

“Caca, kan sholat, masa iya enggak percaya jodoh di tangan Tuhan? Ini cara Tuhan mempertemukan kita, Ca.”

Gadis itu hanya berasumsi, apa yang dikatakan Re itu benar. Dia hanya manggut-manngut terdiam sejenak. Hening. Hingga pria itu memanggilnya. 

“Caca tidur ya?” 

“Eng, enggak, kok, Re.”

“Pasti mau siap-siap kerja, ya?”

“Iya, Re. Caca putus ya, teleponnya.” Pamitnya.

“Iya, Ca. Sampai nanti lagi ya, kabarin kalo udah sampe kantor.”

“Iya, Re. Makasih,” balas Caca. 

Gadis itu menghela napas, menatap ponselnya yang sekarang dia letakkan di atas nakas. Sesaat perasaannya bahagia, Rei menyatakan perasaannya tadi. Walau bagaimana juga, gadis semampai itu berjanji akan menunggu kekasih hatinya. 

Dalam angannya selalu ada Re. Pandangannya beralih ke bingkai kecil yang ada di nakas. Foto Rei, yang sedang memakai celana hitam, kaus putih dan topi caping, khas petani. Hasil bertukar foto beberapa waktu lalu.  

Mukanya, bolehlah. Gadis itu tak karuan hatinya, tersenyum, gemas. Hatinya tergores nama Re sekarang. Tinggi juga, terus, dia rajin sholat. Apa lagi yang dicari dari Re? gumamnya sendiri. Mungkin nanti tinggal bilang sama ayah. Eh, tapi, kapan Re ke rumahnya? batinnya berdiskusi. Kenapa tadi enggak tanya, ya? Nanti aja, ngomongnya, deh. 

Sebelum berangkat dan melakukan aktivitas lain. Keluarga Hadipranoto, berkumpul bersama di meja makan, sarapan. Ruangan ini hanya ramai oleh para penghuni rumah hanya sarapan dan makan malam. 

Venca Hadipranoto atau Caca, sudah ada di kursi tempat dia duduk di meja persegi panjang itu. nasi kuning langganan Mpok Dewi, adalah menu favoritnya. Disusul kakak pertamanya, Rani yang tergesa, hanya mengambil selembar roti tawar lalu menjejal mulutnya, sambil berjalan keluar.

“Eh, Kak!” panggil Caca, “bareng!”

Kakaknya itu menghentikan langkah, menoleh ke belakang. “Buruan!”

Lalu ada adik paling kecil, masih kuliah di tingkat akhir. Raden Hadipranoto. 

“Kak, gue juga!”

Muncul Ibu tetiba dari dapur. 

“Astaga, kalian ini. Kenapa semua cepat-cepat?!”

Ketiga anak itu urung melangkah. Menghambur ke arah wanita lima puluhan, hanya untuk salam takzim.  

“Eh, eh, pelan-pelan!” Rasanya ibu itu kewalahan menahan anak-anak yang terlalu antusias. Sementara, tubuhnya sudah terlalu tua, hingga limbung, lalu terduduk di kursi meja makan. 

“Pergi dulu, Bu!” pekik Raden yang terakhir kali keluar melangkah ke garasi mobil. 

Wanita itu sudah tidak mampu menjawab lagi. Hanya menangguk. 

“Assalamualaikum!” Itu ayah, kepala keluarga ini. Dicium kening istrinya itu.

“Anak-anak udah pergi semua, Bu?”

“Sudah, Pak.”

“Jangan lupa lho, Bu, rencana menjodohkan anak kita. Adikku itu sudah bertanya, kapan mereka akan saling bertemu.”

“Oh, yang sama teman semasa kecil itu ya? Waktu di kampung dulu?” tanya Ibu dengan suara lembut. 

“Nah, kau ingat itu, ‘kan?”

“Iya, aku ingat, Mas. Nanti sore kalau Caca pulang, aku akan ajak ke rumah Dik Amir.”

Ayah, meminum kopinya di cangkir, lalu menaruhnya lagi di meja makan yang terbuat dari trembesi itu.  Melirik arloji di pergelangan kirinya. “Saya berangkat dulu, Bu.”

Lelaki setengah abad itu mencium kening istrinya sekali lagi. “Hati-hati di jalan, Mas.”

“Pasti,” jawabnya sambil mengerling.

“Ih, centil!” 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
riwidy
kerennn smoga complicatednya ga bikin puyeng yeah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Terjebak Cinta Segitiga   Revan

    Andrevan Manantara.[Assalamualaikum, Rei. Caca udah ada di kantor.]Pria bertinggi seratus delapan puluh itu tersenyum. Membaca pesan singkat yang dikirim. Panggilan Caca sepertinya sudah sangat familier di telinga. Apa lagi suaranya yang merdu itu. Waktu rasanya ingin dia berhentikan, hanya ingin mendengarkan tawa renyahnya, atau keluh kesah manja gadis itu.[Iya, Ca, nanti malam kita teleponan lagi, ya.]Untuk Andrevan, dekat dengan seorang gadis rasanya pantang. Melihat wajah sekretarisnya saja dia enggan, bahkan tidak tahu bagaimana rupanya. Padahal, hari-hari harus berurusan dengan perempuan itu.Balasan dari Caca sekali lagi membuat senyuman di bibirnya tiada sirna. [Iya, Re.]Pria itu menuruni tangga panjang menuju meja makan tempat keluarganya sarapan. Dia melihat sudah ada ambu duduk di salah satu kursi.“Repan, kamu sarapan dulu, anak ambu ….”Itu ibu Andrevan, anak itu memang dipanggil Repan oleh ibu tercinta. Sulit baginya mengg

  • Terjebak Cinta Segitiga   Rencana Ibu

    Caca, menjalani hari seperti biasa di tempat dia bekerja. Suatu perusahaan besar Ibu Kota. Walau, ayahnya pejabat, tetap saja anak-anaknya diajarkan untuk mandiri.Kakaknya Rani, bekerja disalah satu perusahaan juga. Sambil merintis usaha sendiri bersama teman kuliahnya.Walau, tidak banyak yang tahu, gadis itu menjalin hubungan yang terlalu dalam dengan seorang pria. Tentu, ibu dan ayah tidak mengetahui hal ini. Rani, perempuan dua puluh delapan itu hanya beranggapan, orang tuanya terlalu acuh. Dia memang enggak seperti Caca yang berkerudung, cantik dan juga lemah lembut.Sedikit serampangan, pertemuannya dengan anak sepupu ayahnya seperti berkah tersendiri untuknya. Ruadiantara Jokosuseno namanya, pria bertinggi seratus delapan puluh senti itu berhasil menggetarkan dinding pertahanan Rani, hingga sanggup memberikan semuanya untuk pria itu.Walau kehormatan perempuan paling penting, tetapi dalam hati Rani, dia tidak peduli. Toh, selama ini ayah d

  • Terjebak Cinta Segitiga   Pria Bernama Tara

    Papa tersenyum lembut, dia hanya berpikir malam ini butuh bantuan anaknya, ada pekerjaan yang tidak bisa dia handle sendiri. Lelaki tengah baya melangkah ke dalam kamar, menepuk pundak anak paling besarnya. “Papa mau bicara, boleh masuk?”“Boleh,” jawab Revan, “kenapa enggak?” Anak itu menggeser badan, papa merangkul bahu anaknya itu, masuk ke dalam kamar, “duduk, Pa,” Papa duduk di kursi meja kerja yang terbuat dari kayu.“Ya,” Mata papa terlihat berkeliling kamar dia menghela napas, lalu menatap anaknya yang duduk di tepian ranjang. “Gini, Re, bulan depan, mau kan kamu temani Papa, ada perjanjian bisnis yang harus disepakati, dan juga ada beberapa hal yang harus dipelajari dari bidang bisnis ini di sana.”Tentu saja, sebagai anak yang berbakti, Revan, mau-mau saja, tidak ada halangan bukan?“Dan juga, papa sekali lagi minta tolong, setelah pul

  • Terjebak Cinta Segitiga   Debat Caca dan Tara

    Tidak tertarik sama sekali dengan pria bernama Tara itu. Lagi pula, dalam hati bukan pria bersih itu yang ada dalam hatinya, tetapi Re.Bude Amir lantas saja menceletuk. “Kalau gitu, kalian ngobrol aja dulu. Mama sama Mbayu Ratna ke dapur dulu, siapin makan siang.”“Venca ikut, deh,” anak itu lantas saja berdiri.“Lho, kamu di sini aja,” sanggah ibu dengan cepat menahan badan Caca berdiri. “Kenalan itu lho, sama Tara,” peremouan bernama Ratna itu melirik pria bercelana pendek itu.Sementara Venca, memutar bola mata protes. Walau protesannya itu tidak ditanggapi dan juga ibu tetap tak acuh, tetap melangkah menyusul Bude Amir.Caca mendengkus, tidak berkata, begitu pun pria bernama Tara, Tara itu. Setengah kesal sebenarnya, sementara Tara, menarik napas, dia juga bingung ada apa, pagi begini mamanya membangunkannya.Bukan membangunkan, menyuruh keluar kamar. Biasanya, Sabtu begini dia jarang keluar kamar. Malas saja rasanya. Apalagi, mal

  • Terjebak Cinta Segitiga   Penolakan Tara

    Tara menghitung waktu, melirik jam digital dan juga menatap mama. Jam berapa kira-kira basa-basi ini akan selesai. Jam dua belas pas, angka di ponselnya. Dia menhitung, mungkin akan pamit sebelum semua ini akan selesai.[Aku jemput di tempat biasa satu jam lagi.]Dalam diam Tara menyelesaikan makannya. Dia menutup sendok dan garpu. Dan bersiap meninggalkan kursi meja makan, dia menggeser kursi.“Lho, kamu udahan, Tar?” Mata mama membesar. Masih mengunyah pisang yang tadi dia ambil selesai makan.“Udah, Ma, Tara mau pergi,” jawabnya, suaranya masih rendah sopan.Tetiba, papa yang pulang golf, menyapa semua orang. “Assalamualaikum!”Semua mata teralih ke sumber suara itu. Tara lantas mencium takzim papa yang baru saja datang.Mata lelaki tua itu mengarah ke Ibu Ratna dan anaknya, Venca.“Lho, jadi, tho, Mbak Ratna datang.” Pakde Amir lantas saja menghampiri, dan Venca yang menyambut dengan senyuman.Lantas lelaki itu

  • Terjebak Cinta Segitiga   Tidak Bisa Berkutik

    Tentu saja, reaksi Tara membuat Caca terkejut setengah mati. Enggak mungkin pria itu mengangguk, walau pelan dan terlihat lemah. Seperti tak bersemangat begitu.“Bagaimana dengan Caca, Pakde? Apa Ibu juga akan mendengarkan permintaan Caca kalau enggak setuju.” Gadis itu memutar badan agar dapat menatap wajah ibu.Ibu Ratna, menggeleng. Hati Caca mencelus, habis sudah semua harapannya bersama Re, pernikahan itu bukan sesuatu yang main-main bukan, begitu pikir Caca. Lalu bagaimana jadinya kalau dia tidak benar-benar mencintai Tara.“Bagaimana dengan Re?” tanya Caca, sambil berharap perjodohan ini mau dibatalkan oleh ibu dan juga pakdenya.“Nah, dia punya pacar juga ‘kan? Apa gue bilang enggak sebaik itu kan cewek berkerudung ini,” tuding Tara lagi. “Katanya orang berekrudung enggka pacaran,” sindir pria itu lagi.Napas Caca semakin tersengal. Menatap tajam Tara, tanpa rasa simpati sedikit pun. Para orang tua tampaknya melihat gelagat Caca y

  • Terjebak Cinta Segitiga   Kegalauan Caca

    Ibu terlihat bingung. “Kamu itu kan, perempuan yang harus dijaga, berhijab, jadi mesti dijaga, keburu disamber orang yang enggak bener macam Revan itu, enggak pernah ketemu ngaku pacar.”Caca hanya menghela napas, lelah. Bagaimana lagi dia harus mengatakan semua hal itu kepada Ibu?“Tapi kalo Caca enggak mau, boleh ‘kan?” tanya gadis itu takut-takut.“Lho ya, gimana enggak mau anaknya ganteng. Mana tahu si Rei itu jelek,” timpal Ibu.Dada Caca terlalu sesak, semakin bingung bagaimana mengatakannya kepada Rei? Dia mencoba membela diri.“Ih, enak aja, kita kan udah pernah tukeran foto.”“Mana tahu itu foto artis, bukan dia,” debat ibu.“Tapi kan liat mukanya Tara aja enggak napsu!”“Hush! Sembarangan kamu, Ca.” Omel Ibu.“Caca enggak mau, lagi pula kenapa enggak Mba Rani aja yang dijodohin, Bu?”“Mbakmu itu udah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.”“Caca juga!” protesnya.“Wes, minggu depan kita ketemuan kelua

  • Terjebak Cinta Segitiga   Keraguan Revan

    “Rei, Caca dijodohin sama orang tua, dan segera melaksanakan pernikahan bulan depan.”“Caca bercanda?” Rei tidak percaya, dalam hati, apakah dia hanya menakutinya, agar mereka cepat bertemu.Caca menarik napas yang terlalu terdengar dipelantang ponsel, lalu, Rei tahu, ini semua bukan permainan atau bukan bualan gadis itu saja.“Terus, rencana Caca apa, kamu tahu kan, bagaimana perasaan Rei?”Jantung Caca menderap tak karuan, tetapi memang dia harus tanyakan juga.“Apa Rei serius sama Caca?”Hening, entah berapa lama, haraoan Caca hanya pada Rei seorang, tiada yang lain, dan juga berharap saat ini Rei mengungkapkan semua cintanya. Tidak, mungkin sekadar beri pengharapan minggu depan dia akan datang ke Jakarta, walau tidak mungkin.Rei menghela napas dalam. “Caca masih ragu?”“Ragu Rei, Caca enggak tahu apakan memang benar yang Ibu bilang tadi, perasaan yang Rei punya itu hanya ilusi Caca aja, dan semua pengharapan ini hanya

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Segitiga   Hidup yang Terus Berjalan

    Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Ngidam

    Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S

  • Terjebak Cinta Segitiga   Akad Ulang Tara dan Rani

    Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara

  • Terjebak Cinta Segitiga   Tara dan Papa

    "Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Cemburu

    Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj

  • Terjebak Cinta Segitiga   Ancaman untuk Revan

    Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s

  • Terjebak Cinta Segitiga   Malam Pertama yang Tertunda

    Mengendusi rambutnya yang terasa harum. Revan rasanya enggan beranjak ada sesuatu yang bangkit tatkala dia memejam dan merasa terpaku, tidak mau pergi sepertinya.Lantas ada sesuatu menggeliat dalam diri mereka, ketika mata saling bertemu. Tentu saja Venca gugup setengah mati, Revan pun tak kalah gugup.Lantas, wanita itu teringat dalam pejam, dia bangkit lalu menatap suaminya yang ada di depan wajahnya."Makan malamnya jadi, Re?" tanya Venca pelan.Revan langsung menegakkan badan. "Eng, udah datang temenku. Um, aku mandi dulu sebentar," katanya.Venca mengangguk, deru dalam dadanya masih berlanjut. Bagaimana kalau Revan melanjutkan yang tadi? Tentu saja mereka kan sudah berstatus beda, kegiatan ranjang tentu saja menjadi kewajiban bukan?Revan dan Venca tercengang begitu keluar dari kamar. Ruang makan sudah ditata sedemikian rupa. Jadi bernuansa candle light dinner. Tentu saja ini menambah gelegak dalam diri Revan dan Venca.&nbs

  • Terjebak Cinta Segitiga   Malam Pertama

    “Jadi, tadi malam kakak ngapain aja?” tanya Safia penasaran. Sangat.Venca—gadis yang ditanya itu tidak menjawab apa-apa, dia hanya tersipu-sipu penuh arti. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Revan yang duduk di berlainan meja dengannya.“Aku bukain kado. Seru, deh,” jawab Venca.Safia yang mendengar itu melemaskan pundak. Enggak mungkin kalau misalnya hanya buka kado saja. Masa iya?“Masa, si, Kak? Enggak ada adegan di ranjang gitu?” tanya Safia penasaran.Mata Venca membulat. Lantas menggeleng. “Paling di ranjang tadi kita tidur berdua. Terus, ngobrol, terus saling tahu kebiasaan sebelum dan sesudah tidur, begitu aja,” tutur Caca sambil menerawang.Safia menghela napas hampir tak percaya rasanya, kakak iparnya ini ugu sekali. Sarapan kali ini, Revan dan Venca terpaksa turun ke bawah. Bapak Venca yang memintanya pagi ini. Lagi pula Bapak meminta Venc

  • Terjebak Cinta Segitiga   Malam Pertama Venca dan Revan

    Aula hotel seperti disulap menjadi lebih indah.Kalau saja pernikahan pertama Venca besar-besaran, tak kalah, pernikahan keduanya pun megah.Revan anak pertama, dan juga anak lelaki satu-satunya, tidak mungkin kalau pernikahannya biasa-biasa saja.Meski Venca menyandang status janda. Dan Revan setengah mati meyakinkan Ambu soal statusnya ini.Dalam hati Ambu yakin, kalau Venca jujur soal dia bilang tidak pernah disentuh oleh mantan suaminya.Hari bersejarah untuk Revan dan Venca tiba.Meski dalam hati Venca sempat malu akan statusnya. Bukannya apa-apa, keluarga Revan sangat terhormat. Tampil jadi saksi akad nikah saja, walikota Bandung. Bagaimana Venca tidak minder?Venca mungkin minder, tetapi, bapak Venca bangga bisa sebelah-sebelahan dengan walikota. Meski dia juga kadang bertemu dengan pejabat-pejabat daerah.Prosesi akad dipimpin oleh penghulu, sementara Venca akan keluar dari ruang tunggu ketika akad s

DMCA.com Protection Status