"Mama Papa Sabtu besok mau nginep, lho. Gantian ama ortu lo, inget kan?" Tara berucap kepada Caca. Sore ini, lelaki itu ngotot mau menjemput istri—sahnya di kantor.Bukannya tanpa usaha, Venca menolak sekeras mungkin ketika Tara telepon. Namun, tetiba saja dia melihat mobil Tara melintas di teras lobi gedung kantornya."Apaan? Kan gue bilang ada tugas ke Bandung!" hardik Caca lagi, dia mendengkus pelan. "Lagian sore ini lo semena-mena muncul di teras kantor, padahal enggak ada janji sama sekali. Apa lo enggak pikirin perasaan Rani?"Pertanyaan Caca tepat menohon jantung Tara."Gue 'kan suami lo. Wajar dong, kalo jemput walau dadakan!" sentak Tara lagi, kabin mobil itu serasa menegangkan sekarang, ditambah penghabisa udara panas sore hari, makin membuat hati mereka geram. "Lagi pula, rencana lo keluar kota, emang udah gue bilang setuju?" Tara menyentak tanpa melihat istrinya itu. Tangannya sibuk memutar setir. Wajahnya tiada raut, teg
Malam ini rasanya sulit untuk Tara lewati. Matanya masih mengawasi pintu gerbang indekos Venca dari mobil. Dengan perasaan yang tidam bisa dia jelaskan dengan kata. Beberapa jam berlalu menunggu, gadis itu belum terlihat sama sekali. Dan, lelaki itu mulai kesal, menggeram tak tentu.Dalam hatinya bertarung, buat apa dia menunggu di sini? Sungguh sangat tidak penting. Mengapa tidak telepon saja?Ya, itu telepon. Lelaki itu cepat-cepat keluarkan ponsel.dari saku celana.Namun, Tara lupa, beberapa kali dia coba tidak diangkat, akhirnya tersambung dengan kotak suara. Dari tadi pun sudah begitu. Lagi pula, dia hanya ingin meminta maaf, itu saja.Tidak lama, ponselnya malah berdering.Nama yang muncul, Rani.Tara setenguah mati mengawasi tempat dia berada, jangan sampai Rani tahu dia ada do drpan indekos Venca."Hallo, Ran?" sapa Tara."Sayang, kamu ke mana? Apa nginep di rumah ..."Suara Rani terputus, sebenarnya
“Emang, teteh bener-bener suka sama Bang Re?”Malam itu Safia bertanya dengan lugu ke Venca. Tentu saja, gadis itu melarikan diri sejenak dari Jakarta. Revan mengantarnya ke Bandung. Alih-alih, pria itu minta Venca mengurusi perusahaannya yang akan segera dia tutup di Bandung. Safia menemani Venca menginap di hotel dekat rumah mereka. Sementara Revan, tidur di rumah orang tuanya. Pria itu tentu saja khawatir, dia tahu hancurnya Venca ketika di Jakarta, dan juga membiarkan malam yang penuh pertanyaan dari Revan, lewat begitu saja. Alias, Venca belum mengatakan apa pun!Terang saja, gadis berhijab itu serba salah ditanya begitu. Ada rasa hangat sekaligus dingin menjalari dalam hati. Dan dia tidak tahu apa itu namanya.“Pak Revan,” ujar Venca, suaranya tersendat sambil menatap Safia yang berbaring di sampingnya. “Halah, pake bapak segala,” sangkal Safia dengan riangnya. Gadis itu baru saja mengajak Ven
Sementara, Tara di Jakarta masih kebingungan, perihal Venca yang masih belum bisa ditemukan. Ke mana dia?Juga, dia harus memberikan jawaban kepada orang tua Venca yang tadi menanyakan anaknya itu.Malam ini pun masih sama seperti kemarin, pikirannya melayang, ponsel istri sah—nya itu aktif, namun tak satu pun pesan dibalas, atau teleponnya diangkat. Kesal sebenarnya, Mama dan Papa ngotot supaya Tara dan Venca tinggal di rumah mereka. Kepalanya tetiba pusing, mau pecah rasanya. Venca sengaja menyetel diam ponselnya. Dia tak ingin diganggu dulu oleh siapa pun!Rani yang sedang menonton tivi di sampig Tara merasakan kegelisahan suaminya itu. Tentu saja, suaminya tak pernah bercerita apa pun, apalagi soal malam itu. Ketika Venca tetiba menghilang.Tara tidak tinggal diam sebenarnya, dia juga mencari ke indekos Venca. Bertanya ke satpam yang mejaga. Keterangan satpam itu, Venca tidak pulang sejak kemarin malam.Ternyata, Venca mengi
Malam itu berhasil dilewati Tara paling tidak Rani tertidur setelah lelaki itu mengelus punggungnya pelan dan lembut. Dan memang selama ini sentuhan Tara selalu berhasil meredam segala perasaan Rani. Emosi atau juga kemarahan, perempuan itu terpejam, walau sebenarnya, dia masih bisa tahu sedang apa Tara di sampingnya.Raga Rani masih ingin lebih sentuhan Tara, seperti tadi bercinta gila-gilaan, perempuan itu senang, tidak memikirkan apa pun! Terkutuklah hormon ini, perempuan itu tidak bisa menahannya sama sekali. Dia tertidur, sebentar mungkin.Tara terjaga, dia masih memikirkan Venca, ada di mana dia? Dan bagaimana apakah dia baik-baik saja? Apa sudah makan atau bagaimana?Rasanya tidak cukup mencarinya kemarin. Padahal setelah dari indekosnya, dia sengaja ke kantornya, menunggu di lobi mendekati jam pulang kerja. Tetapi nihil, gadis itu tidak terlihat sama sekali.Lelaki itu menghela napas, lelah. Apa yang akan dia jelaskan nanti kepada Ibu dan Bapak Ve
Mungkin, pagi yang dialami Tara dan Venca berbeda.Gadis itu pagi ini, mulai berbenah di kantor yang Revan akan tutup.Dibantu beberapa karyawan yang ada di sana. Gadis itu sibuk mempersiapkan berkas dan juga sebagian dokumen yang akan dikirim ke pengacara yang akan menangani perusahaan ini. Dia berkutat sendiri di meja kubikal yang dipinjamkan sekretaris Gibran.Sementara itu, di ruangan Revan. Gibran—yang sempat kaget soal penutupan perushaan, sekali lagi meyakinkan Revan.“Lo yakin soal keputusan ini, Re?” tanya Gibran, sungguh dia tak percaya juga sementara masih ada beberapa pekerjaan yang belum diselesaikan.“Yakin. Perusahaan bokap di Jakarta butuh kerja keras banget ngebangunnya. Makanya gue perlu beberapa karyawa di sini buat pindah ke sana, termasuk elo,” tukas Revan. Dia memasukkan beberapa barang ke dalam kardus yang ada di atas meja.Sementara Gibran memerhatikan gelagat sahabatnya itu
Mata Tara membelalak, tak percaya. Juga sejujurnya dalam hati dia tidak tahu ke mana Venca pergi. Kasih kabar saja tidak.“Kamu mulai bohong, Tar?”Lagi-lagi, semua omongan Mama membuat lelaki itu membeku di tempat, Dia mencoba berlaku se-normal mungkin. Lantas meletakkan cangkir kopinya di atas meja.“Aku enggak bohong, Ma. Cuma tadi, Tara lupa ke mana Venca pergi. Karena dia buru-buru,” balas anak itu lagi.“Mama ndak suka kalo kau bohong, Tara,” ucap Mama, mata wanita tua itu berkaca-kaca.Hati Tara tak kalah kebat-kebit, di dalam dia mengkhawatirkan segala hal yang buruk. Ingin rasanya dia berteriak sekeras mungkin. Agar beban ini sedikit ringan.“Lagi pula, udah Mama bilangi, Venca itu berhenti kerja saja. Kenapa, si, kalian ini enggak pernah mau dengar perkataan Mama.”“Tara cuma pikir, itu kesenangan buat Venca. Mana tega ngelarang kalau dia sangat menyukai pek
“Sejujurnya, Tara akan menceraikan Venca. Dia berhak bahagia. Tara sudah tak peduli lagi, meski semua akan dibekukan, atau hidup tanpa fasilitas. Venca berhak memilih suami yang lebih baik dari Tara,” tuturnya lagi dengan mantap dan tenang. Seperti itu dia bersikap, lantas bangkit dari duduknya. Dengan bendungan air mata dan kemarahan yang selama ini lelaki itu tahan.Sementara, dada Mama makin sesak mendengar hal itu. Badannya semakin melemas terduduk di sofa.Lantas, Papa bertitah. Dalam hatinya geram sangat, segala jerih payahnya akan hancur, gegara anaknya durhaka!“Jangan harap hidup kamu akan tenang, Tar bila kamu memilih perempuan itu. Semua itu bukan akhir dari segalanya. Lihat saja, Papa tidak peduli, meski kamu anak satu-satunya.”Ancaman Papa sempat menghentikan langkah Tara menuju pintu keluar. Namun, dia menguatkan hatinya agar tidak tergantung lagi ke Mama dan Papanya. Mungkin dia akan mengundurkan
Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,
Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S
Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara
"Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b
Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj
Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s
Mengendusi rambutnya yang terasa harum. Revan rasanya enggan beranjak ada sesuatu yang bangkit tatkala dia memejam dan merasa terpaku, tidak mau pergi sepertinya.Lantas ada sesuatu menggeliat dalam diri mereka, ketika mata saling bertemu. Tentu saja Venca gugup setengah mati, Revan pun tak kalah gugup.Lantas, wanita itu teringat dalam pejam, dia bangkit lalu menatap suaminya yang ada di depan wajahnya."Makan malamnya jadi, Re?" tanya Venca pelan.Revan langsung menegakkan badan. "Eng, udah datang temenku. Um, aku mandi dulu sebentar," katanya.Venca mengangguk, deru dalam dadanya masih berlanjut. Bagaimana kalau Revan melanjutkan yang tadi? Tentu saja mereka kan sudah berstatus beda, kegiatan ranjang tentu saja menjadi kewajiban bukan?Revan dan Venca tercengang begitu keluar dari kamar. Ruang makan sudah ditata sedemikian rupa. Jadi bernuansa candle light dinner. Tentu saja ini menambah gelegak dalam diri Revan dan Venca.&nbs
“Jadi, tadi malam kakak ngapain aja?” tanya Safia penasaran. Sangat.Venca—gadis yang ditanya itu tidak menjawab apa-apa, dia hanya tersipu-sipu penuh arti. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Revan yang duduk di berlainan meja dengannya.“Aku bukain kado. Seru, deh,” jawab Venca.Safia yang mendengar itu melemaskan pundak. Enggak mungkin kalau misalnya hanya buka kado saja. Masa iya?“Masa, si, Kak? Enggak ada adegan di ranjang gitu?” tanya Safia penasaran.Mata Venca membulat. Lantas menggeleng. “Paling di ranjang tadi kita tidur berdua. Terus, ngobrol, terus saling tahu kebiasaan sebelum dan sesudah tidur, begitu aja,” tutur Caca sambil menerawang.Safia menghela napas hampir tak percaya rasanya, kakak iparnya ini ugu sekali. Sarapan kali ini, Revan dan Venca terpaksa turun ke bawah. Bapak Venca yang memintanya pagi ini. Lagi pula Bapak meminta Venc
Aula hotel seperti disulap menjadi lebih indah.Kalau saja pernikahan pertama Venca besar-besaran, tak kalah, pernikahan keduanya pun megah.Revan anak pertama, dan juga anak lelaki satu-satunya, tidak mungkin kalau pernikahannya biasa-biasa saja.Meski Venca menyandang status janda. Dan Revan setengah mati meyakinkan Ambu soal statusnya ini.Dalam hati Ambu yakin, kalau Venca jujur soal dia bilang tidak pernah disentuh oleh mantan suaminya.Hari bersejarah untuk Revan dan Venca tiba.Meski dalam hati Venca sempat malu akan statusnya. Bukannya apa-apa, keluarga Revan sangat terhormat. Tampil jadi saksi akad nikah saja, walikota Bandung. Bagaimana Venca tidak minder?Venca mungkin minder, tetapi, bapak Venca bangga bisa sebelah-sebelahan dengan walikota. Meski dia juga kadang bertemu dengan pejabat-pejabat daerah.Prosesi akad dipimpin oleh penghulu, sementara Venca akan keluar dari ruang tunggu ketika akad s