Sementara, Tara di Jakarta masih kebingungan, perihal Venca yang masih belum bisa ditemukan. Ke mana dia?
Juga, dia harus memberikan jawaban kepada orang tua Venca yang tadi menanyakan anaknya itu.
Malam ini pun masih sama seperti kemarin, pikirannya melayang, ponsel istri sah—nya itu aktif, namun tak satu pun pesan dibalas, atau teleponnya diangkat. Kesal sebenarnya, Mama dan Papa ngotot supaya Tara dan Venca tinggal di rumah mereka. Kepalanya tetiba pusing, mau pecah rasanya.
Venca sengaja menyetel diam ponselnya. Dia tak ingin diganggu dulu oleh siapa pun!
Rani yang sedang menonton tivi di sampig Tara merasakan kegelisahan suaminya itu. Tentu saja, suaminya tak pernah bercerita apa pun, apalagi soal malam itu. Ketika Venca tetiba menghilang.
Tara tidak tinggal diam sebenarnya, dia juga mencari ke indekos Venca. Bertanya ke satpam yang mejaga. Keterangan satpam itu, Venca tidak pulang sejak kemarin malam.
Ternyata, Venca mengi
Malam itu berhasil dilewati Tara paling tidak Rani tertidur setelah lelaki itu mengelus punggungnya pelan dan lembut. Dan memang selama ini sentuhan Tara selalu berhasil meredam segala perasaan Rani. Emosi atau juga kemarahan, perempuan itu terpejam, walau sebenarnya, dia masih bisa tahu sedang apa Tara di sampingnya.Raga Rani masih ingin lebih sentuhan Tara, seperti tadi bercinta gila-gilaan, perempuan itu senang, tidak memikirkan apa pun! Terkutuklah hormon ini, perempuan itu tidak bisa menahannya sama sekali. Dia tertidur, sebentar mungkin.Tara terjaga, dia masih memikirkan Venca, ada di mana dia? Dan bagaimana apakah dia baik-baik saja? Apa sudah makan atau bagaimana?Rasanya tidak cukup mencarinya kemarin. Padahal setelah dari indekosnya, dia sengaja ke kantornya, menunggu di lobi mendekati jam pulang kerja. Tetapi nihil, gadis itu tidak terlihat sama sekali.Lelaki itu menghela napas, lelah. Apa yang akan dia jelaskan nanti kepada Ibu dan Bapak Ve
Mungkin, pagi yang dialami Tara dan Venca berbeda.Gadis itu pagi ini, mulai berbenah di kantor yang Revan akan tutup.Dibantu beberapa karyawan yang ada di sana. Gadis itu sibuk mempersiapkan berkas dan juga sebagian dokumen yang akan dikirim ke pengacara yang akan menangani perusahaan ini. Dia berkutat sendiri di meja kubikal yang dipinjamkan sekretaris Gibran.Sementara itu, di ruangan Revan. Gibran—yang sempat kaget soal penutupan perushaan, sekali lagi meyakinkan Revan.“Lo yakin soal keputusan ini, Re?” tanya Gibran, sungguh dia tak percaya juga sementara masih ada beberapa pekerjaan yang belum diselesaikan.“Yakin. Perusahaan bokap di Jakarta butuh kerja keras banget ngebangunnya. Makanya gue perlu beberapa karyawa di sini buat pindah ke sana, termasuk elo,” tukas Revan. Dia memasukkan beberapa barang ke dalam kardus yang ada di atas meja.Sementara Gibran memerhatikan gelagat sahabatnya itu
Mata Tara membelalak, tak percaya. Juga sejujurnya dalam hati dia tidak tahu ke mana Venca pergi. Kasih kabar saja tidak.“Kamu mulai bohong, Tar?”Lagi-lagi, semua omongan Mama membuat lelaki itu membeku di tempat, Dia mencoba berlaku se-normal mungkin. Lantas meletakkan cangkir kopinya di atas meja.“Aku enggak bohong, Ma. Cuma tadi, Tara lupa ke mana Venca pergi. Karena dia buru-buru,” balas anak itu lagi.“Mama ndak suka kalo kau bohong, Tara,” ucap Mama, mata wanita tua itu berkaca-kaca.Hati Tara tak kalah kebat-kebit, di dalam dia mengkhawatirkan segala hal yang buruk. Ingin rasanya dia berteriak sekeras mungkin. Agar beban ini sedikit ringan.“Lagi pula, udah Mama bilangi, Venca itu berhenti kerja saja. Kenapa, si, kalian ini enggak pernah mau dengar perkataan Mama.”“Tara cuma pikir, itu kesenangan buat Venca. Mana tega ngelarang kalau dia sangat menyukai pek
“Sejujurnya, Tara akan menceraikan Venca. Dia berhak bahagia. Tara sudah tak peduli lagi, meski semua akan dibekukan, atau hidup tanpa fasilitas. Venca berhak memilih suami yang lebih baik dari Tara,” tuturnya lagi dengan mantap dan tenang. Seperti itu dia bersikap, lantas bangkit dari duduknya. Dengan bendungan air mata dan kemarahan yang selama ini lelaki itu tahan.Sementara, dada Mama makin sesak mendengar hal itu. Badannya semakin melemas terduduk di sofa.Lantas, Papa bertitah. Dalam hatinya geram sangat, segala jerih payahnya akan hancur, gegara anaknya durhaka!“Jangan harap hidup kamu akan tenang, Tar bila kamu memilih perempuan itu. Semua itu bukan akhir dari segalanya. Lihat saja, Papa tidak peduli, meski kamu anak satu-satunya.”Ancaman Papa sempat menghentikan langkah Tara menuju pintu keluar. Namun, dia menguatkan hatinya agar tidak tergantung lagi ke Mama dan Papanya. Mungkin dia akan mengundurkan
Sementara itu, Venca menghadiri makan malam bersama Revan. Tentu saja dia masih ada di Bandung.“Kak, pakai baju ini aja,” Safia yang saat itu sudah duluan siap, memutuskan unyik mengunjungi Venca di hotel tempat dia menginap. Walau Ambu sedikit sinis menanggapi ini, tetapi kehadiran Ayah mampu meredam kemarahan Ambu.Safia menunjukkan gaun yang dia pinjamkan dari butik langganannya. Warna pink, penuh dengan mute-mute, bermodel sederhana. Entah rasanya Venca hanya tidak ingin berlebihan, ini ‘kan sekadar makan malam, begitu pikirnya.“Kayaknya aku enggak pake baju sebegitu mewahnya, Fi,” tolak Venca halus. Dia memilih kemeja formal saja dengan celana bahan serta kerudung warna senada.Safia melemaskan bahu.Venca melihat gelagat Safia seperti kecewa, lantas, gadis itu melihat lagi, baju—yang Safia kenakan. Gaun formal, Caca lantas tidak enak sendiri, dia langsung mengambil baju yang masih Safia pega
Mata Revan tidak bisa berkedip begitu melihat Venca melangkah menelusuri ruangan, lalu mendekat ke meja yang sudah dipesan itu. Semua Gerakan yang dibuat gadis itu seperti Gerakan lambat, tentu saja terpana melihat Venca malam ini, gaunnya begitu pas di badan. Riasa wajah yang biasanya sangat sederhana, kali ini menonjol, walau tak terlalu medok terlihat. Pria itu berdiri menyambutnya, lalu menahan napas saat Venca bersalaman dengan Ambu dan juga Ayah, jangan sampai sikap benci Ambu merusak suasana malam ini. Namun Revan mungkin salah, Ambu turut menyambut dengan senyuman ketika menjabat tangan gadis itu. Sungguh, dalam hati Ambu hanya ingin mengerti perasaan anaknya—yang mati-matian mencintai gadis ini. Gibran yang menangkap gelagat Revan yang terbengong-bengong menepuk pundak sahabatnya itu. “Inget, jangan terbang kelamaan,” peringatnya. Lantas suara sahabatnya itu membuat Revan mengerjap. Lantas menoleh ke Gibran.—lel
“Ja—jadi, mulai senin besok, saya enggak jadi sekretaris Pak Revan lagi?” tanya Venca lagi, tentu saja dia tak percaya dengan jabatan ini.“Ayolah, Ca, jangan panggil ‘Pak’” Revan kesal mendengarnya, sungguh!“Panggil mas aja,”celetuk Gibran. Dia lantas meminum air mineral yang ada di sampingnya.Revan mendengkus, tentu saja makin kesal dalam hati.“Menurut Ayah, apa yang kamu putuskan ini sudah benar, Re,” tuturnya lelaki tengah baya itu. Mulutnya dia elap dengan serbet yang ada di pangkuannya.“Ya, Ayah. Jadi, nanti, Gibran baru akan menyusul dua minggu kemudian. Sementara, Ca, kamu bisa masih bantuin aku selama dua minggu ini. Da dua minggu ke depan, tolong persiapkan rapat dengan semua karyawan. Aku akan mengadakan perombakan besar-besaran soal susunan karyawan.”Ayah manggut-manggut mendengar itu semua. Sementara, Revan menatap mata Ayah, seperti meminta perse
“Jadi ada yang request lagu “Cinta kan Membawamu,” tebak dari siapa?!” pekiknya sambil tersenyum. “Jangan takut, kita akan mainkan, ada, Adinda yang bernyanyi dan, Bagas yang bermain keyboard. Dan Revan, ini lagu kamu,” serunya sambil menatap ke kursi yang ada di depan panggung.Mata Venca membesar, mulutnya menganga menatap Revan tak percaya. Selera musiknya mengapa hampir sama seperti dirinya?Revan hanya membalas tatapan Caca yang terlihat lucu itu, dengan senyuman juga—yang paling teduh yang pernah Revan berikan. Entah apa maksud dari Revan memilihkan lagu itu dan apakah itu untuk Venca mungkin juga iya.Lagu mulai memgalun, diiringi permainan keyboard yang cantik. Penoton seolah terhanyut juga. Walau sesekali terdengar juga suara yang lain. Ditambah suara Adinda yang merdu dan terdengar bening seperti hal yang paling indah yang pernah Venca rasakan sepanjang hidupnya.Tiba saat mengertiJer
Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,
Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S
Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara
"Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b
Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj
Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s
Mengendusi rambutnya yang terasa harum. Revan rasanya enggan beranjak ada sesuatu yang bangkit tatkala dia memejam dan merasa terpaku, tidak mau pergi sepertinya.Lantas ada sesuatu menggeliat dalam diri mereka, ketika mata saling bertemu. Tentu saja Venca gugup setengah mati, Revan pun tak kalah gugup.Lantas, wanita itu teringat dalam pejam, dia bangkit lalu menatap suaminya yang ada di depan wajahnya."Makan malamnya jadi, Re?" tanya Venca pelan.Revan langsung menegakkan badan. "Eng, udah datang temenku. Um, aku mandi dulu sebentar," katanya.Venca mengangguk, deru dalam dadanya masih berlanjut. Bagaimana kalau Revan melanjutkan yang tadi? Tentu saja mereka kan sudah berstatus beda, kegiatan ranjang tentu saja menjadi kewajiban bukan?Revan dan Venca tercengang begitu keluar dari kamar. Ruang makan sudah ditata sedemikian rupa. Jadi bernuansa candle light dinner. Tentu saja ini menambah gelegak dalam diri Revan dan Venca.&nbs
“Jadi, tadi malam kakak ngapain aja?” tanya Safia penasaran. Sangat.Venca—gadis yang ditanya itu tidak menjawab apa-apa, dia hanya tersipu-sipu penuh arti. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Revan yang duduk di berlainan meja dengannya.“Aku bukain kado. Seru, deh,” jawab Venca.Safia yang mendengar itu melemaskan pundak. Enggak mungkin kalau misalnya hanya buka kado saja. Masa iya?“Masa, si, Kak? Enggak ada adegan di ranjang gitu?” tanya Safia penasaran.Mata Venca membulat. Lantas menggeleng. “Paling di ranjang tadi kita tidur berdua. Terus, ngobrol, terus saling tahu kebiasaan sebelum dan sesudah tidur, begitu aja,” tutur Caca sambil menerawang.Safia menghela napas hampir tak percaya rasanya, kakak iparnya ini ugu sekali. Sarapan kali ini, Revan dan Venca terpaksa turun ke bawah. Bapak Venca yang memintanya pagi ini. Lagi pula Bapak meminta Venc
Aula hotel seperti disulap menjadi lebih indah.Kalau saja pernikahan pertama Venca besar-besaran, tak kalah, pernikahan keduanya pun megah.Revan anak pertama, dan juga anak lelaki satu-satunya, tidak mungkin kalau pernikahannya biasa-biasa saja.Meski Venca menyandang status janda. Dan Revan setengah mati meyakinkan Ambu soal statusnya ini.Dalam hati Ambu yakin, kalau Venca jujur soal dia bilang tidak pernah disentuh oleh mantan suaminya.Hari bersejarah untuk Revan dan Venca tiba.Meski dalam hati Venca sempat malu akan statusnya. Bukannya apa-apa, keluarga Revan sangat terhormat. Tampil jadi saksi akad nikah saja, walikota Bandung. Bagaimana Venca tidak minder?Venca mungkin minder, tetapi, bapak Venca bangga bisa sebelah-sebelahan dengan walikota. Meski dia juga kadang bertemu dengan pejabat-pejabat daerah.Prosesi akad dipimpin oleh penghulu, sementara Venca akan keluar dari ruang tunggu ketika akad s