Rani mengerucutkan bibir ketika Tara mengeluarkan kotak bekal dan bilang, itu bekal dari Ibu mertuanya. Matanya mendelik, membuang pandangan lantas mendengkus. Ingat kemarin Tara akan bersama Venca saja, membuat dia enggak bisa tidur. Sekarang, Tara memberikan makanan yang katanya buatan Venca, rasanya jantung Rani mau meledak.Tetapi dalam hati penasaran juga. "Dibawain bekal apa?" tanyanya ketus. Sambil menyilangkan tangan di dada."Ini cuma tumis sayur toge, kata Venca begitu, tapi enggak tahu juga apa isinya," tutur Tara, dia menyodorkan kotaknya ke Rani.Dalam hati Rani menggerutu, kalau sekadar tumis, Rani juga bisa. Dahulu, Ibu kan mengajarinya masak juga, walau perempuan itu kadang malas membantu di dapur.Tara seperti mengerti kelakuan istrinya ini. Tetapi dia masih menebak, apakah Rani cemburu. "Kamu—enggak apa-apa 'kan?" tanyanya hati-hati. Wajahnya berubah, dia sangat menjaga perasaan istrinya satu ini, di samping harus m
Tara akhirnya sampai di tempat janjian dengan Papa Venca. Di melihat lelaki itu memilih tempat di tengah-tengah restoran yang padat akan pengunjung.Tara tersenyum ketika dia duduk di depan bapak Venca."Kamu udah makan, Tar?" tanya bapak Venca dengan lembut tetapi berwibawa.Tara bingung jawab apa. "Um, udah, Pa," jawabnya terbata"Ck, jangan malu-malu, saya kan bapak kamu juga. Silakan, pesan saja, mau makan apa?" Wajah Bapak terlihat ramah, membuat Tara nyaman, tentu saja.Tara melihat daftar menu yang tertulis di buku menu. "Chicken masala dan air mineral," katanya sambil mengembalikan buku menu ke pelayan yang berdiri di sampingnya.Bapak tersenyum penuh arti."Ada apa, Pak? Apa ada hal yang penting?" tanya Tara. Lelaki tegap itu tahu begitu Bapak menanyakan hal ini, dalam hati dia menyusun sebuah rencana dadakan lagi, kalau-kalau Bapak menanyakan hal lain—yang lebih berat lagi."Enggak ada," jawab Bapak sebe
"Bapak tidak melihat kalau kamu menyayangi Venca, Tar."Bagai bom yang dijatuhkan, Tara menegakkan badan, hampir saja tersedak."Saya—saya bilang akan belajar menyayangi Venca dengan tulus," jawabnya terbata, dia menunduk, entah memandangi apa."Sebaiknya kamu coba sebaik mungkin. Ingat, perusahaan papa kamu bisa saya jungkir balikkan, menjadi bangkrut."Jantung Tara berhenti sepersekian detik. Membeku, menatap mertuanya dengan kosong. Tidak tahu mau apa, pasrah, mungkin? Entahlah. Lebih baik dalam situasi seperti ini lelaki itu memilih diam.Bapak bangkit dari kursinya, mendengkus, terlihat di wajahnya. Gumpalan amarah di dadanya siap meledak. Memang Venca dan Tara dinilahkan demi keutuhan perusahaan papa Tara, tetapi bukan berarti, Tara bisa seenaknya dengan Venca. Apalagi, kalau lelaki itu tidak mencintai Venca sama sekali.Bapak menatap Tara yang terlihat ketakutan. "Bilang saja, Tara, kalau kamu tidak mencintai Venca. Biar B
Tara kalut dan juga marah masih membara di dada."Bokap lo ngancem, supaya gue sayang sama lo."Venca tersenyum miris. Rasanya dia baru tahu sosok Bapaknya selama ini."Bisanya ngancem doang," cibir Venca."Halah, kayak berani aja," ledek Tara balik."Berani. Gue akan bilang sekarang juga, status kita. Sekarang, beneran, gue tunggu bokap di rumah."Tara mendengkus, melempar pandangan ke luar. Mana mungkin dia biarkan Venca mengatakan yang sebenarnya? Bisa-bisa uang bulanan kurang."Paling enggak tunggu Rani lahiran, kita pisah. Gue janji!"Venca menengok Tara sekilas. Dia menengadah. "Uang belanja jangan lupa!" peringatnya.Tara menghela napas, enggak ada salahnya. Venca biar bagaimana pun, istrinya juga. "Gue transfer aja, bulan depan juga transfer aja.""Boleh. Jangan lupa uang listrik, kemaren gue yang terpaksa bayar, supaya enggak diputus." Venca membuka ponselnya, mencari nomor rekeningnya lan
Mama Tara terlihat kecewa, dia menunduk sambil mengaduk makanannya.Venca tidak ingin berbaik hati kepada mertuanya ini. Dia tahu, sekali memberinya angin, pasti akan membumbung tinggi prasangkanya.Mungkin Papa yang mengambil insiatif. "Apa kalian sengaja menundanya?" suara berat itu memecah keheningan yang beberapa detik tadi.Tara bingung harus jawab apa, dia menggeleng pada akhirnya. Venca juga serba salah, dalam hal ini, dia berpikir, Tara yang lebih mengenal Papa dan Mamanya, jadk, dia menutup mulut rapat."Venca, apa kamu ada masalah?" tanya Mama lagi.Mata bulat Caca menatap Mama. "Masalah apa, Ma?"Tara spontan menendang kaki Venca. Gadis itu aneh sendiri, meringis sendiri, Tara menendang kencang juga."Apa kamu sedang sakit? Atau baru-baru ini sakit parah? Apa kabar bulan madu kalian?"Tara tersedak. Venca serba salah, meminta pertolongan kepada Tara yang sedang menenggak air.Papa juga sepert
"Ca, masih di situ 'kan?" tanya Revan, di seberang telepon.Venca melihat Tara melangkah, dari dalam rumah. Wajah lelaki itu makin kencang. Entah ada apa lagi yang terjadi."Ya, ya, bisa, Pak," jawabnya, dia tidak mau pembicaraan ini jadi panjang."Oke, besok jam tujuh pagi.""Oke, Pak, saya datang." Venca buru-buru memutus sambungan telepon."Tar?" Lelaki itu berjalan melewati Venca. Gadis itu hanya bengong, tak mengerti apa yang terjadi dengan suami—sahnya itu.Hingga Tara masuk ke mobil. Venca mengikuti saja, duduk di jok penumpang."Kita mau pulang, Tar?" tanya Venca pelan.Tara membisu, entah apa yang terjadi dengannya. Venca ikut membisu, dia tidak ingin merusak suasana hati Tara.Mobil yang dikendarai suaminya itu memasuki kawasan indekos Venca. Hingga berhenti di depan gerbang."Turun!" titah Tara, suaranya datar dan tidak menatap Venca.Sekilas, gadis itu membuka kenop pintu. Namun sebelum
Revan pagi ini cukup gelisah, kedatangan Caca tentu saja yang dia tunggu.Saking gelisah, dia menyiapkan sarapan dua macam, bubur ayam dan pancake. Ada kopi, teh dan juga jus dalam kemasan.Pria itu menarik napas, laptopnya sudah siap untuk sambungan internasional.Tidak lama, bel apartemennya berdentang. Pria itu membeku, bukannya bahagian menyambut pujaan hati.Bel berdentang dua kali.Revan cepat-cepat ke depan pintu. Dia menarik napas, memasang senyum terbaik.Gadis cantik itu ada di ambang pintu. "Hai!" sapa pria itu.Tentu saja, membuat kesan yang baik, Caca menjawab dengan senyuman. Hari ini dia begitu bersinar dipandangan Revan. Lebih cantik."Assalamualaikum!" salam Caca, tentu saja.Revan sambil menggeser badan, agar gadis itu bisa masuk."Silakan, masuk dulu. Jangan takut, ada penjaga, jadi enggak mungkin aku berbuat macam-macam," ujar Revan lagi.Tanpa ragu gadis itu masuk ke apartemen Revan y
"Aku terima telepon ini dulu. Dari Ambu."Venca mengangguk, dengan senyuman. Dia melanjutkan membereskan laptop dan juga dokumen yang lain. Serta mencatat apa saja poin penting yang tadi dalam rapat.Revan melirik ke Venca yang sedikit sibuk membereskan aneka barang. Pria itu menutup pintu kamar."Hallo?""Assalamualaikum, Repan ..." Peringat Ambu di seberang sana."Iya, Ambu, maaf, assalamualaikum ...""Waalaikumsalam," jawab Ambu pada akhirnya."Ada apa, Bu?""Emang Ambu enggak boleh telepon anak sendiri?" canda Ambu terdengar segar pagi ini."Ya, boleh, Bu. Biasanya, Ambu telepon pas malem, atau enggak abis Re pulang kerja.""Iya, Ambu teh enggak sabar, kamu sebulan enggak pulang, Ambu kangen ..." rajuk wanita lanjut usia itu. Suaranya terdengar lirih."Iya, Re pulang, Mbu, Sabtu Minggu khusus waktu buat Ambu. Sekalian tengokin perusahaan di sana.""Eta perusahaan teh, lancar apa naon, Re? A
Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,
Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S
Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara
"Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b
Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj
Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s
Mengendusi rambutnya yang terasa harum. Revan rasanya enggan beranjak ada sesuatu yang bangkit tatkala dia memejam dan merasa terpaku, tidak mau pergi sepertinya.Lantas ada sesuatu menggeliat dalam diri mereka, ketika mata saling bertemu. Tentu saja Venca gugup setengah mati, Revan pun tak kalah gugup.Lantas, wanita itu teringat dalam pejam, dia bangkit lalu menatap suaminya yang ada di depan wajahnya."Makan malamnya jadi, Re?" tanya Venca pelan.Revan langsung menegakkan badan. "Eng, udah datang temenku. Um, aku mandi dulu sebentar," katanya.Venca mengangguk, deru dalam dadanya masih berlanjut. Bagaimana kalau Revan melanjutkan yang tadi? Tentu saja mereka kan sudah berstatus beda, kegiatan ranjang tentu saja menjadi kewajiban bukan?Revan dan Venca tercengang begitu keluar dari kamar. Ruang makan sudah ditata sedemikian rupa. Jadi bernuansa candle light dinner. Tentu saja ini menambah gelegak dalam diri Revan dan Venca.&nbs
“Jadi, tadi malam kakak ngapain aja?” tanya Safia penasaran. Sangat.Venca—gadis yang ditanya itu tidak menjawab apa-apa, dia hanya tersipu-sipu penuh arti. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Revan yang duduk di berlainan meja dengannya.“Aku bukain kado. Seru, deh,” jawab Venca.Safia yang mendengar itu melemaskan pundak. Enggak mungkin kalau misalnya hanya buka kado saja. Masa iya?“Masa, si, Kak? Enggak ada adegan di ranjang gitu?” tanya Safia penasaran.Mata Venca membulat. Lantas menggeleng. “Paling di ranjang tadi kita tidur berdua. Terus, ngobrol, terus saling tahu kebiasaan sebelum dan sesudah tidur, begitu aja,” tutur Caca sambil menerawang.Safia menghela napas hampir tak percaya rasanya, kakak iparnya ini ugu sekali. Sarapan kali ini, Revan dan Venca terpaksa turun ke bawah. Bapak Venca yang memintanya pagi ini. Lagi pula Bapak meminta Venc
Aula hotel seperti disulap menjadi lebih indah.Kalau saja pernikahan pertama Venca besar-besaran, tak kalah, pernikahan keduanya pun megah.Revan anak pertama, dan juga anak lelaki satu-satunya, tidak mungkin kalau pernikahannya biasa-biasa saja.Meski Venca menyandang status janda. Dan Revan setengah mati meyakinkan Ambu soal statusnya ini.Dalam hati Ambu yakin, kalau Venca jujur soal dia bilang tidak pernah disentuh oleh mantan suaminya.Hari bersejarah untuk Revan dan Venca tiba.Meski dalam hati Venca sempat malu akan statusnya. Bukannya apa-apa, keluarga Revan sangat terhormat. Tampil jadi saksi akad nikah saja, walikota Bandung. Bagaimana Venca tidak minder?Venca mungkin minder, tetapi, bapak Venca bangga bisa sebelah-sebelahan dengan walikota. Meski dia juga kadang bertemu dengan pejabat-pejabat daerah.Prosesi akad dipimpin oleh penghulu, sementara Venca akan keluar dari ruang tunggu ketika akad s