Pagi itu, Gibran stand by di rumah sakit menjemput Revan. Dia menepati janji untuk mengantarnya ke Jakarta.
Sahabat itu tentu saja melihat Revan semringah—yang rapi dengan balutan kemeja batik. Mirip orang mau lamaran. “Wah, keren banget, lo. Nggak sangka totalitas juga.”Revan hanya tertawa kecil, “ya, tentu saja. Oh iya, Bran, kayaknya mesti ngerepotin elo ni, ambu gue mau ikut, jadi jemput dulu ke rumah gue,” kata Revan dengan santun. Tentu saja, dia sangat berterima kasih kepada Gibran yang mau menyetir ke Jakarta dan juga menemaninya. “Ay, ay, Captain! Alhamdulillah lagian kalo nyokap elo mau ikut,” tutur Gibran tulus. Revan hanya tersenyum lebar, tidak terbayangkan sebelumnya, hari ini, hari yang paling membahagiakan untuknya. Semalam dia memimpikan bagaimana wajah gadisnya nanti. “Lo bawa cincinnya ‘kan?” tanya Gibran, lelaki itu memutar setir, menuju rumah mewah milik orang tua Revan yang ada di kawasan Kota Bandung.&“Tidak bisa begitu, Venca!” sentak bapak langsung, tanpa segan atau apa, dia sudah tidak memikirkan lagi perasaan anaknya atau apa. Yang ada dalam pikirannya, malu, jika anaknya menyukai orang lain.“Tapi, Pak, paling enggak, Bapak dengarkan alasan Rei kenapa kemarin dia enggak datang ke sini,” mohon Venca dengan mata yang berkaca-kaca dan juga suara yang bergetar.“Kemarin Bapak sudah beri dia kesempatan, bukan? Kenapa tidak datang? Sekarang, sore nanti, Tara akan datang untuk lamaran dan tunangan, malu kalau kamu menolak dia demi bersama Rei, Rei yang enggak jelas itu. Mau ditaruh di mana muka Bapak dan Ibu, Venca?” suara Bapak menggelegar dengan mata yang merah menyala.Caca tidak bisa apa-apa, dia hanya menunduk sedih. Entah berapa lama dan sedang di jalan mana Rei sekarang, hatinya beku, hingga tubuhnya dingin.Di meja makan dia terisak, dipandangi Ibu dan Bapak.Sementara, Raden memilih diam, melihat amarah Bapak yang sepertinya mel
Revan, mengakui semuanya, dalam hatinya, dia ingin Venca menerima apa adanya.Namun, sepertinya, gadis itu terlanjur kecewa, Rei berbohong. Andai saja dia mau terus terang, mungkin bapak Caca mau mempertimbangkan menerima pemuda itu.Rei, menunduk, serba salah, dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Lantas saja, dia melanjutkan apa yang tadi dijelaskan.“Saat ini, saya sedang merintis usaha sendiri di Bandung, bidang kontraktor. Dan, Alhamdulillah, sedang berkembang,” katanya lagi.Bapak Hadipranoto—ayah Venca masih menatap Rei dengan tajam. Tangannya bersedekap, dia menunggu semua penjelasan dari Revan, satu hal yang ada dalam pikirannya: tidak boleh Venca berjodoh dengan orang selain dari daerah asal bapaknya. Tidak boleh, bisa jadi aib untuknya.Hening sejenak, tegang dan juga diwarnai dengan kecanggungan. “Revan, apa kamu asli orang Bandung?” Suaranya sedikit rendah sekarang.“Iya, Pak, ambu dan ayah asli sana, teta
Rani hanya teringat tadi ketika Tara hanya menghubungi lewat sambungan telepon. Tetapi mampu membuat perempuan itu ketakutan. Tepat, sebelum dia pulang dari kantor.Tara juga ketakutan atas ancaman papanya. Lantas saja dia menekan pacarnya. Entah, semuanya begitu gelap, terus terang, lelaki itu juga memikirkan tanpa fasilitas papa, dia bisa apa?“Bagaimana, Ran, kamu sudah periksa lagi, soal telat datang bulan kamu?”“Belum,” jawabnya singkat. Dia tahu persis, akhir-akhir ini Tara berubahm bukan seperti cowok yang Rani kenal dahulu.“Kenapa belum?”“Aku belum sempat, lagi pula, rasanya semua itu enggak mungkin.”“Jangan main-main, Ran, ini masalah yang serius.”“Aku enggak main-main, Tar,” air mata Rani hampir berlinang. Dadanya seringkali sesak ketika dia harus berbicara dengan lelaki ini. Perempuan itu menghela napas. “Lagi pula, kalau memang kamu mau, aku bersedia pergi, agar kamu berbahagia dengan adikku.”Tara menggera
Satu hal yang tidak Venca mengerti tentang omongan ibu tentang cinta. Bagaimana mungkin bisa menjalani segala sesuatu dengan penuh rasa ikhlas, ada rasa saja tidak.Acara pertungan dan lamaran malam ini, harusnya, Venca bahagia. Atau Tara yang harusnya senang, paling tidak, mama tadi berkata. “Disodorin perempuan cantik dan perawan harusnya ya, seneng.”Namun, hal itu tidak berlalu untuk lelaki itu.Acara itu berlangsung khidmat dan juga lancar. Para orang tua yang bahagia ketika anak-anak mereka bertukar cincin.Ketika juru foto mengabadikan, pasangan itu hanya memasang wajah masam dan tegang.Ibu yang selalu membisikkan kata-kata sepanjang acara ditelinga Venca.“Senyum sedikit, Nduk,” katanya.Venca menanggapi dengan biasa. Tidak mampu tersenyum, sulit rasanya. Dadanya kalau bisa diganti sementara, dia ingin mengganti dengan apa pun di dunia ini ya g bisa membuatnya bisa bernapas leluasa.Tiada kata, dari Venca dan Tara,
Sekilas, Ayah tersenyum, mendengar Revan yang curhat, dan menunduk pada akhirnya."Revan, apa rencana kamu selanjutnya? Paling tidak, soal jodoh?"Revan mengangkat kepala, menatap Ayah yang makin hari kian bertambah usianya. Rambutnya makin putih, lalu, masalah kesehatannya. Revan bingung harus jawab apa. Enggak adil rasanya kalau memang harus membebani pikiran Ayah."Ini Ayah, Revan, apa pun yang kamu rasa, coba, bicarakan ke Ayah." Kali ini lelaki itu berwajah serius. Tampaknya apa pun soal anak, dia selalu menganggap itu serius.Revan menarik napas dan memejam. "Wajar kalo Revan masih menginginkan Venca?"Ayah tersenyum. "Apakah gadis itu juga masih menginginkan kamu?"Revan mengendikkan bahu, berpaling dari tatapan ayah."Yakin saja, Rei," ujar ayah. Revan menatap ayah lagi, lelaki setengah baya itu mengangkat alisnya, dan bergumam. "Hm?""Apa iya, dia mau menerima Revan lagi, setelah dibohongi?""Ayah, enggak
[Hai, Ca, apa kabar? Kangen!]Ya, Gibran hanya menyuarakan apa yang dia lihat beberapa minggu ini di depan matanya. Kenyataannya Revan galau.Beberapa kali dia pergoki ada perempuan mencari Revan via telepon kantor. Diterima sambungan itu di ruangan rapat waktu itu, tetapi sikap sahabatnya itu biasa saja.Padahal, Gibran bisa pastikan, suara di seberang sana sangat ramah dan juga menggoda.Revan, hanya menerima begitu saja ponsel yang baru saja dipakan Gibran. Tanpa bertanya apa isinya, dan juga dia tidak melihat kotak keluar. Langsung memasukkan alat komunikasi itu ke dalam kantong jasnya.***[Hai, Ca, apa kabar? Kangen!]Venca, siang itu sedang fitting pakaian pengantin untuk minggu depan.Ya, pernikahan akan dilaksanakan minggu depan. Dan ini dipercepat, Caca dan Tara hanya menerima saja. Enggan komentar atau menyambut dengan senyuman."Karena itu sangat melelahkan," begitu pikir Caca.Dia ha
Venca hanya menunggu, menatap atasannya itu. Apa mungkin, Ibu Regina akan menyuruhnya pindah ke ruangan horor? Jantung gadis itu hampir saja mencelus, jawaban dari manajer SDM itu lama sekali.“Nanti, kamu akan pindah tugas, ya.”“M—maksudnya, Bu?”“Kamu akan jadi sekretaris dirut,” jawab Bu Regina pendek. Dia lantas saja masuk ke dalam ruangannya yang—tidak terlalu lebar.Venca melemaskan bahu. Sedikit lega di hati, walau tanggung jawab pekerjaannya semakin berat. Tidak masalah bukan? Dia meyakinkan dalam hati.“Jadi elo bakalan jadi sekretaris dirut?” tanya Silvi, teman satu ruangan Venca. Kepalanya nongol di meja kubikal.“Yup, mungkin mulai bulan depan.”“Ho, katanya dia cowok dingin, galak. Lo tahu kan, Mba Bunga yang anaknya Bapak Reno itu, masa dicuekin sama dia.”“Dia masih sendiri?” Caca mengalihkan pandangan ke wajah Silvi. “Ya iyalah, menurut lo? Kan gue bilang cowok.”“Ap
Rani, menangis sambil menggigil ketakutan. Dia bingung harus ke mana? Air mata masih deras mengalir, kosong sungguh hatinya, memeluk tas slempang yang dia bawa.Rintik hujan mengisi Jakarta pagi menjelang siang itu.Sementara, Venca masih sibuk memutar setir. Sama bingungnya dengan kakak—tiri yang barusan Ibu lantang katakan.Sesekali, adiknya menoleh ke Mbaknya yang masih sesengukan. Tak kalah memang hatinya pun sakit mendengar Ibu mengusir Mbaknya tadi. Apa lantaran hamil? Mengapa semua kehormatan keluarga itu penting sekali untuk Ibu dan Bapaknya."Kita—makan dulu aja, Mbak, gimana? Caca lapar."Rani mengangguk pasrah. Tidak bohong memang dirinya pun kelaparan, memang beberapa minggu ini selalu kelaparan begini. Dia baru tahu tadi pagi kalau dirinya berbadan dua, mungkin karena ini yang membuatnya selalu kelaparan.Caca memutar setir, berhenti di pelataran parkir restoran makanan khas Korea."Lo kan enggak suka makan di s
Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,
Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S
Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara
"Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b
Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj
Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s
Mengendusi rambutnya yang terasa harum. Revan rasanya enggan beranjak ada sesuatu yang bangkit tatkala dia memejam dan merasa terpaku, tidak mau pergi sepertinya.Lantas ada sesuatu menggeliat dalam diri mereka, ketika mata saling bertemu. Tentu saja Venca gugup setengah mati, Revan pun tak kalah gugup.Lantas, wanita itu teringat dalam pejam, dia bangkit lalu menatap suaminya yang ada di depan wajahnya."Makan malamnya jadi, Re?" tanya Venca pelan.Revan langsung menegakkan badan. "Eng, udah datang temenku. Um, aku mandi dulu sebentar," katanya.Venca mengangguk, deru dalam dadanya masih berlanjut. Bagaimana kalau Revan melanjutkan yang tadi? Tentu saja mereka kan sudah berstatus beda, kegiatan ranjang tentu saja menjadi kewajiban bukan?Revan dan Venca tercengang begitu keluar dari kamar. Ruang makan sudah ditata sedemikian rupa. Jadi bernuansa candle light dinner. Tentu saja ini menambah gelegak dalam diri Revan dan Venca.&nbs
“Jadi, tadi malam kakak ngapain aja?” tanya Safia penasaran. Sangat.Venca—gadis yang ditanya itu tidak menjawab apa-apa, dia hanya tersipu-sipu penuh arti. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Revan yang duduk di berlainan meja dengannya.“Aku bukain kado. Seru, deh,” jawab Venca.Safia yang mendengar itu melemaskan pundak. Enggak mungkin kalau misalnya hanya buka kado saja. Masa iya?“Masa, si, Kak? Enggak ada adegan di ranjang gitu?” tanya Safia penasaran.Mata Venca membulat. Lantas menggeleng. “Paling di ranjang tadi kita tidur berdua. Terus, ngobrol, terus saling tahu kebiasaan sebelum dan sesudah tidur, begitu aja,” tutur Caca sambil menerawang.Safia menghela napas hampir tak percaya rasanya, kakak iparnya ini ugu sekali. Sarapan kali ini, Revan dan Venca terpaksa turun ke bawah. Bapak Venca yang memintanya pagi ini. Lagi pula Bapak meminta Venc
Aula hotel seperti disulap menjadi lebih indah.Kalau saja pernikahan pertama Venca besar-besaran, tak kalah, pernikahan keduanya pun megah.Revan anak pertama, dan juga anak lelaki satu-satunya, tidak mungkin kalau pernikahannya biasa-biasa saja.Meski Venca menyandang status janda. Dan Revan setengah mati meyakinkan Ambu soal statusnya ini.Dalam hati Ambu yakin, kalau Venca jujur soal dia bilang tidak pernah disentuh oleh mantan suaminya.Hari bersejarah untuk Revan dan Venca tiba.Meski dalam hati Venca sempat malu akan statusnya. Bukannya apa-apa, keluarga Revan sangat terhormat. Tampil jadi saksi akad nikah saja, walikota Bandung. Bagaimana Venca tidak minder?Venca mungkin minder, tetapi, bapak Venca bangga bisa sebelah-sebelahan dengan walikota. Meski dia juga kadang bertemu dengan pejabat-pejabat daerah.Prosesi akad dipimpin oleh penghulu, sementara Venca akan keluar dari ruang tunggu ketika akad s