“Om,” panggil Kenzie lirih.“Hmm.” Kenzo berdehem singkat. Apa yang ia lihat tadi, cukup membuat dirinya terpancing emosi hingga tanpa sadar mengusir Amanda. Bahkan sampai ia mendudukkan Kenzie di ranjang mereka pun, emosinya belum reda. Kenzo paling tidak suka, ada orang yang berani menyakiti miliknya.Kenzie melirik Kenzo sejenak, kemudian mengalihkan pandangan. Ia belum berani membuka mulut, sampai akhirnya pertanyaan Kenzo memecah hening di antara mereka. “Ada yang ingin kau katakan hmm?”Kenzie mengangguk cepat. “Apa yang tadi kau ucapkan tidak serius, kan?” Ia bertanya dengan hati-hati.Kenzo melepas setelan jasnya seraya melirik sekilas pada Kenzie. “Memangnya apa? Aku tidak ingat,” balasnya. “Jangan usir Amanda,” pinta Kenzie to the point.Kenzo tak langsung menyahut. Ia menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Kenzie tak tinggal diam, tanpa memikirkan dampak perbuatannya, ia mengekori Kenzo, hingga membuat lelaki itu mengerutkan kening
Beberapa menit sebelumnya“Aku akan memberikannya. Tapi tolong, jangan usir adikku,” ucap Kenzie sembari menundukkan kepala. Dia sengaja menunggu Kenzo selesai mandi dan mengatakannya dalam satu tarikan napas.Sejujurnya, Kenzie benci bersikap selemah ini. Tapi, hanya itu yang bisa dia lakukan agar tetap bisa tinggal bersama kedua adiknya. Selain karena janji pada almarhum kedua orang tua, ada tanggung jawab yang harus dia jalani sebagai kakak tertua. Tidak apa-apa harus mengorbankan harga diri, toh dirinya sudah lebih dulu melakukan itu dengan menikah dengan Kenzo.“Kau yakin?” tanya Kenzo yang tampak begitu tertarik.“Aku akan melakukan apa pun demi kedua adikku.”“Pilihan yang bagus. Kemari!” titah Kenzo. Ia meminta Kenzie mendekat padanya yang baru saja selesai membersihkan diri.Masih dengan menundukkan kepala, Kenzie mendekat. Aroma manly menyeruak, memenuhi inde
Kenzo mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan di tengah gemerciknya hujan yang kembali turun beberapa saat lalu. Matanya memintas segala arah, setiap objek yang memungkinkan dikunjungi Kenzie tak luput dari perhatiannya. Bukan hanya itu, dia juga sudah menelepon Bara—teman sekaligus laki-laki yang berstatus sebagai kakak Anggita untuk menanyakan keberadaan sang istri. Namun nihil, tak ada informasi apa pun yang ia dapatkan.Pikiran Kenzo kacau, ia benar-benar kalut dan khawatir. Suara hujan terdengar semakin deras, membuat rasa takut dan menyesal memenuhi hatinya. Kalau saja dirinya tidak bersikap keterlaluan, hal seperti ini tidak akan terjadi. Kenzie tidak mungkin pergi. Sekarang, saat semuanya sudah terjadi, ke mana lagi dia harus mencari Kenzie?Saat pikiran dan matanya hanya tertuju pada satu nama, ponsel Kenzo berpendar-pendar. Lelaki itu melirik sekilas, dan mendapati salah satu anak buahnya menghubungi. Tanpa pikir panjang, ia menolak
“Ken!” panggil wanita paruh baya yang tak lain adalah Lidia. Ia datang untuk meminta Kenzo menemani Rhea berbelanja. Pasalnya, gadis itu mengeluh tak memiliki teman karena terlalu lama menetap di luar negeri.Kenzo yang masih terlelap seraya memeluk tubuh Kenzie tak menggubris panggilan itu. Bahkan, ia sengaja menutupi tubuh mereka dengan selimut tebal, supaya tak mendengar teriakan menggelegar yang berasal dari ruang tamu.“Di mana Kenzo?” tanya Lidia pada Bi Minah.“Tuan masih di kamarnya, Nyonya.”“Baiklah, aku akan menyusulnya.”“Tapi, Nyonya.” Bi Minah berusaha menahan langkah Lidia. Hingga membuat wanita paruh baya itu mengerutkan kening. “Ada apa?”“Tuan pernah berpesan, tidak ada yang boleh mengetuk pintu kamar jika Tuan dan Nyonya Kenzie berada di dalamnya,” jawab Bi Minah hati-hati. “Kecuali ada hal mendesak,” sambungnya.Tanpa me
Amanda dan Alea melangkah beriringan. Pagi ini mereka berangkat bersama dengan motor pemberian Kenzo. Pemandangan yang jarang terlihat itu membuat keduanya menjadi pusat perhatian. Sudah menjadi rahasaia umum, jika kakak beradik tersebut dikenal tidak terlalu akrab dan memiliki sifat berkebalikan.Jika Amanda cenderung pendiam, pemalu, dan pintar, maka Alea lebih dikenal sebagai sosok periang, humble, dan biasa-biasa saja. Secara akademik, Amanda jauh lebih unggul, namun dalam lingkup sosial, Alea lah pemenangnya. Dua sosok yang saling melengkapi itu berjalan santai tanpa mempedulikan bisik-bisik di sekelilimg mereka.Sampai akhirnya, sebuah tangan besar menahan pergelangan tangan Amanda, yang secara otomastis menghentikan langkah gadis itu.Amanda mengenal pemilik tangan tersebut, dengan satu hentakan ia berhasil melepaskan cengkeraman Gala dan melanjutkan langkah. Di sisi lain, Alea yang melihat kejadian itu menatap iba pada lelaki yang sudah sejak la
“Bagaimana kondisimu?”Kenzie yang sedang asyik menonton drama favoritnya, mengalihkan pandangan dari layar ponsel berukuran 6 inch itu.“Aku sudah sehat.”Kenzo mendekat, punggung tangannya menyentuh kening Kenzie. Benar saja, suhu tubuh wanita itu sudah normal. Sekarang, dia bisa bernapas lega karena sebentar lagi Kenzie akan kembali mengganggu hidupnya. Hari-hari Kenzo terasa sepi sejak wanita tersebut sakit hingga membuatnya berubah menjadi lebih pendiam.“Apa yang kau lihat di layar itu?” tanya Kenzo saat mendapati Kenzi senyum-senyum sendiri, bak pasien yang kabur dari rumah sakit jiwa.Ketenangan Kenzie beberapa jam lalu terusik karena kedatangan Kenzo. Lelaki itu terus saja bertanya, mengacaukan fokusnya yang sedang tertuju pada pemeran utama pria dan wanita yang hendak berciuman di hamparan tanah luas bertabur bintang.“Bukan apa-apa, hanya drama korea,” jawab Kenzie.Jika
“Sebenarnya siapa Aura? Mengapa ada emoji hati di belakang nama kontaknya?”Kenzo tak menjawab, ekspresi wajahnya mendadak berubah. Perubahan tersebut disadari Kenzie. Namun, rasa penasaran membuatnya menutup mata dan memilih menunggu, barangkali Kenzo berkenan menjawab dan menjelaskan tentang siapa wanita bernama Aura dan ada hubungan apa mereka sebenarnya. “Bukan siapa-siapa. Bisakah kau berhenti bertanya soal dia?” tanya Kenzo setelah beberapa saat terdiam. Kenzie menggeleng. “Tidak bisa.”“Memangnya kenapa? Apa dia semenarik itu di matamu?”“Bukan aku, tapi kau,” sahut Kenzie. Kenzo menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Posisi tidurnya tak lagi menyamping dan memeluk Kenzie, melainkan lurus seraya menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang menerawang jauh. Menceritakan soal Aura merupakan satu dari beberapa hal yang tak mau dia bahas. Ia terlalu malas mengingat kembali momen tersebut. Terlalu banyak kenangan pahit yang dia te
Ting!Ting! Ting!Notifikasi pesan masuk secara bersamaan ke ponsel Lidia. Wanita yang sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan itu menghentikan langkah dan mengambil benda pintar dari dalam tasnya.Lidia mengernyitkan kening saat mendapati pesan tersebut berasal dari nomor tak dikenal. Namun, jemarinya tetep menyentuh layar dan membuka deretan pesan anonim di gawainya. Pesan pertama berisi sebuah foto pria dan wanita yang sedang berpelukan, pesan kedua dan ketiga pun sama.Wajah Lidia mengeras, ia yang semula ingin membeli beberapa pakaian, mengurungkan niat tersebut. Wanita paruh baya itu tak jadi berbelanja, dia memutar arah, melangkah lebar kemudian memasuki mobinya.“Antar saya ke rumah Rhea!” titah wanita tersebut.“Baik, Nyonya.”Tak sampai lima belas menit, sedan hitam yang membawa Lidia sudah tiba di pelataran rumah Rhea. Kedatangannya disambut hangat oleh wanita t
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.“Halo.”“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Dua Bulan Kemudian“Lusa, kau harus menemaniku ke luar kota!” titah Kenzo tak mau dibantah.“Untuk apa?”“Urusan pekerjaan,” jawab Kenzo singkat.“Tapi, Tuan, aku sudah berjanji akan berlibur bersama kekasihku.” Gala menolak secara halus. Pasalnya, ia dan Alea sudah sepakat akan pergi ke suatu tempat weekend ini.“Cih! Aku tidak peduli dengan urusan siapa pun!” sungut Kenzo.“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya carilah seseorang yang mau menemani kemanapun kau pergi, bukan…”“Siapa yang mengizinkanmu memberi saran, ha?!” potong Kenzo seraya mendelik.Gala nyaris tergelak melihat ekspresi marah Kenzo. Namun, tentu saja dia tak seberani itu, mengingat siapa Kenzo dan dimana mereka berada sekarang membuatnya harus menjaga sikap.“Tidak ada,” sesalnya seraya menundukkan kepala.“K
Flashback On“Brengsek!”Kenzo segera menghubungi nomor tersebut, usai memastikan Lidia dan Brata tak berada di sekitarnya.“Halo, Tuan,” ucap suara di seberang layar.“Aku tidak mau tahu, cari dia sampai dapat!” titah Kenzo. “Kalau perlu, kerahkan semua anak buahmu!” sambungnya.“Ba…ik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”“Kalau kau tak berhasil menemukannya, maka kepalamu yang akan jadi taruhannya!”Tut!Setelah ujaran bernada ancaman itu terlontar, Kenzo mematikan sambungan teleponnya kemudian menggulir layar. Ia mengotak-atik benda pintar tersebut beberapa saat, hingga senyum puas terbit kala membaca pesan balasan dari seseorang.“Malam ini kau akan masuk perangkapku, Bara!” gumamnya.Tanpa berlama-lama, Kenzo menyambar jaket dan kunci motor, memacu kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya tiba di sebuah klub malam.Bergegas turun dari motor dan melangkah masuk, Kenzo memintas sekeliling, mencari-cari keberadaan Bara di tengah lautan manusia. Suara dentu
“Permisi!”Seorang wanita mengenakan kemeja merah muda dan celana jeans hitam mengetuk pintu beberapa kali. Sambil menunggu pemilik rumah, matanya memintas segala arah, melihat dedaunan kering yang mengganggu penglihatan, juga beberapa bunga dalam pot yang tampilannya menyedihkan—hidup segan mati tak mau.Dalam hati ia bertanya-tanya, tumben sekali penampakan rumah ini seperti tak berpenghuni? Pasalnya, dia tahu betul sang pemilik sosok yang rajin dan menyukai tanaman.Lamunannya buyar kala mendengar suara derit pintu, diikuti wanita berseragam SMA menyembul dari baliknya.“Eh, Kak Anggita, silakan masuk, Kak,” ajak Alea ramah seraya membuka pintu lebih lebar.Anggita tersenyum tipis sembari mengikuti langkah Alea. Rumah minimalis ini tampak sepi, mungkinkah Alea tinggal seorang diri?“Silakan duduk. Maaf masih berantakan, aku sama Kak Manda belum sempet beres-beres, baru pindahan,” ucap Alea memecah hening sekaligus tanya di benak Anggita.Pindahan? Memang mereka darimana? Begitulah
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si