"Jangan tinggalin gue."
Aldevan lantas menghentikkan langkah, dia menoleh dan melirik sekilas lengan seragamnya yang ditarik oleh Mery. Satu alis Aldevan naik saking bingungnya, entah Mery sedang mimpi atau tidak dia akhirnya memilih kembali duduk di samping kasur cewek itu.
"Ry. Bangun Ry," panggil Aldevan menepuk sebelah pipi Mery.
Kalau saja Mery tidak menarik erat seragamnya, Aldevan pasti sudah pergi dari sini.
Namun hasilnya nihil, Mery tetap menutup rapat matanya dan enggan melepas tangan dari seragam Aldevan.
Aldevan berdecak tidak sabar. "Ry. Aduh nih cewek. Lo itu emang nyusahin. Lepasin baju gue, Ry." Aldevan berujar, mencoba melepaskan tangan Mery dari bajunya.
Mery menggeliat, ia menguap, lalu tanpa sadar tangannya menarik seragam Aldevan hingga wajah mereka kini hanya berjarak beberapa senti.
Sebab itu sekarang Aldevan meneguk salivanya susah payah. Dia bingung berbuat apa, wajah mereka sangat dekat. S
"Permisi, kakak boleh ikut main?" Kedua gadis kecil menoleh, salah satunya adalah Syifa, mereka mendapati Mery dengan senyum mengembang berdiri di depan pagar rumahnya. "Eh, kak Mery? Bentar Ka aku bukain." Syifa berdiri kemudian membukakan pagar untuk Mery, namun wajahnya masih bertanya-tanya mengapa Mery mendadak datang hari ini, biasanya Sabtu atau Minggu saja. Tapi hari ini, hari senin. Senyum Mery tetap mengembang, sore ini ia putuskan kembali bermain bersama Syifa. Meski mereka itu anak kecil, bagi Mery mendapatkan teman bermain dan ngobrol saja sudah menyenangkan. Tak apa jika mereka tidak mengerti yang namanya curhat, setidaknya mereka anak kecil yang bisa diajak ngobrol. "Tumben kak Mery ke sini? Biasanya kan Sabtu atau Minggu?" Tanya Syifa. Mery menyelipkan anak rambutnya ke telinga, rumahnya sepi, itu saja. "Rumah kakak sepi lagi. Temen kakak sibuk semua, Pak Supir juga pulang kampung." "Oh.
"Lo ngapain di rumah gue? Cepet keluar!"Mery menatap Rendi penuh amarah, ketakutan itu berusaha ia tahan meski kini tangannya bergetar. Bagaimana tidak? Kehadiran Rendi benar-benar di luar dugaan."Santai dong sayang, gue cuma mau jenguk kekasih gue yang cantik ini." Rendi mendekat, senyum kecutnya terbit, tangannya mengusap turun rambut Mery. "Kaget ya?"Mery menepis tangan Rendi yang hendak mengusap rambutnya lagi. Kaget? yang pasti itu, tapi Mery tak akan diam saja. "Jangan sentuh gue, nyet! Lo bukan siapa-siapa.""Jangan sentuh?" Rendi tertawa, matanya yang sipit tinggal segaris saja, dia menepuk bahu Mery. "Salah denger gue nih? Bukannya beberapa bulan lalu malah lo yang minta ditidurin.""Itu dulu, Ren. Dulu!" Mery mendorong dada Rendi sekuat tenaga. Cowok itu mundur beberapa langkah darinya. "Sekarang gue khilaf, ngerti? Lo gak punya hak apa pun sama gue."Rendi tertawa lagi, apakah ia tidak salah dengar? Mery yang dulu itu san
"Ngecapt lagi, bos? Bukannya hari ini nggak ada acara apa-apa ya?" tanya Arlan, cowok itu datang seperti biasanya, terlalu semangat dan memasang wajah ganteng. Bajunya setengah keluar, dua kancing atasnya terbuka namun apalah daya jika perutnya yang lumayan buncit itu tidak memadai. Aldevan menatap sekilas, kini mereka berada di sisi lapangan. Sepagi ini juga mereka menjadi tontonan gratis para cewek terutama adik kelas yang lewat. "Gue cuma pengen." "Oh. Kalo besok ada acara lagi, udah dikasih tau belum sama pihak OSIS?" Aldevan nampak tertarik, dia menatap Arlan dan menepikan dulu soal kameranya. "Acara apa?" "Yah, temen gue ketinggalan info." "Jangan basa-basi, nyet!" "Iya-iya, besok sekolah kita kedatangan tamu khusus, kepala sekolah dari SMA Nishida, kalo gak salah juga ada pertunjukan eskul gitu." Kurang mengerti, Aldevan menaikkan alis bingung. Setahunya besok tidak ada acara apa pun kecuali rapat guru-guru y
Jam pelajaran biologi sedang berlangsung, Aldevan yang duduk paling depan menyiapkan mata dan telinganya agar bisa mengerti penjelasan bu guru di depan. Jujur, duduk paling depan bukanlah keinginan Aldevan, ini justru perintah dari wali kelasnya. Seperti yang kalian tahu, duduk di depan bukanlah sesuatu yang enak.Sulit mengobrol, sulit mencontek jika ada tugas, dan harus siaga mata sebab yang di depan sangat rentan kena lirikan."Aldevan stt."Aldevan menoleh mendengar panggilan setengah berbisik, rupanya dari Arlan yang duduk melewati satu barisan di sampingnya.Aldevan hanya mengangkat dagu sebagai bentuk pertanyaannya. Bersuara sedikit saja, dia bisa ketahuan."Tangkap kertasnya, bro."Belum saja Aldevan menjawab, Arlan sudah melempar kertasnya, untung saja Aldevan secepat mungkin menangkapnya hingga tidak ada yang mencurigakan.Lagi, Aldevan mengangkat dagu, maksud bertanya."Buka aja, lo pasti perlu," bisik Arlan me
"Uhk." Mery meraih botol minum dan menenggaknya hingga tersisa setengah. Di balik bias botol bening itu dia melirik wajah Aldevan. Selesai minum, Mery mengatur napasnya yang memburu. "Kenapa? Lo nggak terima? Gue nggak terima penolakan." "Hah?" "Hah hah mulu, lo ngerti nggak?" Mery manggut-manggut paham masih setengah tak percaya. Jika dikategorikan, Mery mungkin bingung harus memasukkan ucapan Aldevan dalam kategori mimpi atau nyata. Antara percaya atau tidak, mau tidak mau Mery mencubit pipinya sendiri. "Aww." Setelah itu, barulah Mery sadar, dia mengerjap tidak percaya. Ini benar-benar nyata woi! Bukan mimpi. Sementara Aldevan di hadapannya hanya mengulum senyum. "I-ini seriusan, gu-gue nggak mimpi ya?" ujar Mery, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Bagaimana bisa ini terjadi secara mendadak, kalau pake cara romantis sih Mery mau saja. Aldevan berdecak. "Masih nggak percaya? Oke gue
Dalam kelas, tepat sekali ketika jam kosong dimulai setelah Adnan memberitahu jika guru-guru sedang mengadakan rapat penting. Adnan mengatakan rapat itu membahas tentang acara besok, yaitu pertunjukan eskul untuk menyambut kunjungan kepala sekolah SMA Nishida.Sebab itu, sekarang Aldevan berkumpul bersama dua temannya di ruang properti eskul, Arlan dan Kevin. Seperti biasa, mereka juga termasuk dalam acara."Ciah, apa gue katakan. Gue bakal menang." Arlan mendaratkan pantatnya di kursi. Tersenyum kemenangan. "Tapi percuma sih gue nagih taruhan lo, lagi pun lo udah nembak Mery secara terang-terangan, cukup memuaskan bagi seorang Arlan," ucap Arlan, dia menepuk bahu Aldevan sekali. Lalu tertawa pelan."Taruhan? Lo bedua taruhan apalagi, kok gue gak diajak?" tanya Kevin, duduk di kursi samping Arlan.Arlan mencibir. "Percuma geb, gue kasih tau pun lo nolak mentah," katanya. "Jarang emang cowok penakut kayak lo mau taruhan. yang ada udah mundur dulu."
Mungkin, bagi Hana masa lalunya dengan Aldevan itu sesuatu yang sulit dilupa. Buktinya, buku album berisi foto kenangan mereka tertata rapi pada rak khusus samping kasur Hana. Dia meraba tiap lembar halaman album itu, foto masa kecil mereka begitu rapi bahkan tak ada yang usang sedikit pun, masih seperti baru saja dicetak. "Gue kangen lo yang dulu, Aldevan." Hana mendekap album itu, tersirat rasa penyelasan mendalam yang ia pendam karena pernah meninggalkan Aldevan dulu. "Gue sekarang ngerti kenapa lo marah, lo pasti kesel gue tinggalin mendadak gitu." Setetes air mata Hana berhasil jatuh. Rasa sesak timbul di dadanya. "Tapi gue bisa apa, gue kepepet banget waktu itu, gue nggak bisa ngomong panjang lebar sama lo. Ayah bilang kalau gue nggak bisa lama-lama di Indonesia." Masih, kehangatan yang pernah ia rasakan dulu rasanya sulit untuk kembali. Hana hampir saja memukul lengannya sendiri. Meskipun Aldevan berada di hadapannya tetap sulit memastikan Aldeva
Selama perjalanan mereka menuju rumah Mery, Aldevan hanya diam tanpa bicara, tangan Mery memeluk perutnya. Sesekali menempelkan wajahnya ke bahu cowok itu. "Gabut banget. Pengen ngelakuin sesuatu, gelitikin lo aja ya?" tanya Mery tanpa dosa. Dia mendongak sayangnya tidak bisa melihat wajah Aldevan. "Tolol! Kalo gue kehilangan keseimbangan terus jatoh gimana?" ketus Aldevan. "Lagian kita lagi di jalan, ngerti dikit kek. Bego jangan dipelihara lama-lama," katanya lagi. Mery mengerucutkan bibir. Daripada mendengar ketusan Aldevan, Mery memilih melihat-lihat jalanan. Pemandangan sore memang begitu indah, langit mulai berwarna jingga dan burung-burung beterbangan di langit cukup membuat Mery terpana. Dia mengangkat telunjuknya berniat menghitung burung-burung itu. "Satu, dua, tiga, em ... sepuluh. Ada sepuluh burung," kata Mery usai menghitung. Dia mendadak haus, ditepuknya bahu Aldevan sekali. "Gue haus, pengen minum. Ke supermarket deh," ajaknya.
ingga saat ini, Nayra tidak bisa meyakinkan hatinya untuk menceritakan kejadian beberapa jam lalu pada Rifdan, meski tak ada luka yang membekas, tetap saja bayangan tragedi tadi melintasi pikirannya. Nayra perlu waktu untuk melupakan semua itu.Nayra berjalan dengan tangan sedikit gemetar, setelah Nickey memberhentikannya tepat di depan pagar, ia meraih handle pintu yang tidak terkunci."Aku pulang."Tidak ada sahutan, kecuali suara detak jam yang menunjukkan pukul 10.15 malam. Lampu ruang tamu juga masih menyala dan sisa bungkus makanan berserakan dimana-mana. Kebiasaan Rifdan seperti ini sungguh membuat Nayra lelah, namun ia tak dapat menyangkal jika ayahnya berubah depresi ringan sepeninggal ibunya.Perubahan perilaku dan emosi ayahnya juga sering dirasakan Nayra.Seperti sekarang perilaku ayahnya yang terkesan kekanakan. Meracau tidak jelas saat tidur dan sesekali menangis di sela tidurnya, sangat menyayat hati Nayra.Andai ibunya
Ketika hati dibutakan oleh cinta, semuanya terasa kelu untuk diucapkan, ketika mereka baru saja bersama dalam waktu sesingkat ini. Apakah Tuhan juga akan memisahkan kurun waktu sesingkat itu juga?Mereka mendekap, saling tenggelam dalam heningnya kejadian beberapa menit lalu sampai akhirnya mereka menyadari suara langkah kaki menggema menuju ruangan yang mereka pijaki.Nayra berusaha menjauhkan tubuhnya dari Nickey saat cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Tangan yang melingkari bahunya terasa menegang menyesakkan dada Nayra.Nayra mendongak sambil mendorong dada bidang Nickey menjauhi dirinya."Aku pengen tau apa maksudnya, mereka bilang kamu cuma bersandiwara, Nickey." Nayra melirih meski hatinya terasa sesak, ia juga perlu penjelasan. Menjelaskan semua pertanyaan di otaknya.Nickey tercekat, lidahnya kelu berucap. Kepala yang menunduk meyakinkan Nayra mengulang lagi pertanyaannya. Namun dengan nada begitu memohon."Tolong jelasin sem
"Iya gue. Danu, penyelamat lo waktu itu."Kalimat itu terdengar untuk kedua kalinya. Nayra mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan sosok di hadapannya.Dia yang dianggap baik hanya ilusi belaka. Meski Nayra jarang bertemu lelaki itu. Ia masih tak percaya faktanya. Memang benar, sesuatu yang baik di luar belum tentu baik di dalam. Hanya sandiwara semata.Nayra menghela dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan dan kakinya masih diikat sehingga ia tak bisa bergerak. Bagaimanapun nanti ia harus bisa keluar dari sini."Lepaskan aku! Emang kamu mau apa?" Nayra menggeram. "Bukannya kamu teman Friska. Kenapa kamu ngelakuin ini?"Danu mendekatkan wajahnya setelah tersenyum sinis, sedikit berjongkok dan menatap lekat-lekat kedua bola mata Nayra. Dengan tangan mencekal dagu Nayra dan mendongakkannya, Danu mencoba menakuti gadis itu."Teman? i not believe friends. Itu cuma omong kosong."Danu menghempas kasar dagu Nayra,
Cowok dengan wajah khawatir berulang kali menekan nomor yang sama. Berkali-kali pula ia memanggil nama itu. Berharap yang dipanggil akan mendengar. Dari kampus yang sepi ini ia tidak melihat siapapun.Pula, berulang kali Nickey memanggilnya. "NAYRA!!"Teriakan itu kembali terdengar di suatu lorong yang sempit. Di belakang kampus. Ia mengenyahkan ketakutannya menelusuri tiap sudut universitas itu. Berkali-kali ia mengerjapkan mata memastikan ada tidaknya keberadaan seseorang di sana.Namun harapan itu pupus ketika ia hanya melihat untaian daun kering bergelantungan diatasnya. Sekali lagi ia mencoba mencari. Tetes demi tetes keringat mengalir di pelipisnya.Nickey yakin gadis itu ada di sini saat suara hentakan dari lantai atas menusuk telinganya.Gedebug gedebugSuara boriton itu membuat Nickey menautkan kedua alisnya. Ia berlari kearah tangga sumber suara.Namun hasilnya tetap sama, ia tak menemukan apapun kecuali satpam y
"Kamu mau pesen yang mana?" Nickey menyodorkan daftar menu pada Nayra.Tidak ada alasan khusus, hanya saja ia ingin menghabiskan setidaknya sedikit waktu saja bersama Nayra. Dan kini mereka berada di salah satu kafe es krim, tidak jauh dari pertigaan jalan menuju rumah Nayra.Nayra mengerjap sekali, menatap daftar menu yang sangat asing di matanya. Yang ia tahu, rasa es krim itu hanya ada dua, coklat dan stoberi. Kolot memang."Atau mau gue pilihin?"Oleh Nickey tangan Friska ditepis, sesaat ingin menjangkau daftar menunya. "Sibuk, biar Nayra yang milih," titah Nickey.Friska mengerucutkan bibir."Apasih lo, gue sahabatnya, yajelas gue paling tau."Nickey hanya memutar bola mata, sedangkan Nayra berdecak berkali-kali."Kalian nggak bisa nggak ribut kalau sehari aja. Itu nggak baik lo kata ayah, harus akur."Senyum Nayra membuat Friska terpaksa menutup mulut rapat-rapat, sementara Nickey tertawa kecil, lalu menatap Na
Bisa dicap hari ini, hari paling berkesan bagi Nayra. Ia baru saja mendapatkan hasil kerja kerasnya, lebih tepatnya hasil dari penjualan kue yang ia buat. Ternyata benar apa kata orang, hasil tidak akan mengkhianati perjuangan. Apalagi perjuangan itu diiringi dengan niat, maka hasilnya pasti lebih sempurna.Perjuangan Nayra yang rela begadang demi membuat kue hingga larut malam. Sebab itu sekarang ia mulai menguap, rasa kantuk dan matanya terasa sangat berat untuk membuka, menemani perjalanan pulangnya dari kampus. Ia sudah lama menahan hal ini terutama saat pelajaran bu Antik, harus sepenuhnya sadar agar tidak dikenai hukuman beliau.Seperti biasa, Friska juga menemaninya sekarang. Cewek itu memainkan ponsel, meski sesekali tertinggal karena harus mengimbangi langkah Nayra yang lumayan cepat."Jalannya cepetin dikit dong Nay, kaki gue jadi pegel kalo lambat gini," keluh Friska yang berada di depan.Nayra menoleh sambil tersenyum, berusaha menyadarkan dir
Mungkin baru kali ini, Nickey terpaku pada seorang gadis yang tengah memungut sampah di sekitar area kelas. Pemandangan itu membuat Nickey yang baru saja melangkah di ambang pintu kelas mengerutkan keningnya beberapa saat.Tidak seperti biasanya, walaupun Nickey mengetahui hari ini jadwal Nayra piket kelas, setidaknya pekerjaan semacam itu tidak cocok dilakukan perempuan.Biasanya ia mendapati Wira atau Erik yang melakukan itu.Nickey menghampiri. "Ngapain ngelakuin itu sih, Nay? Udah tinggalin. Itu tugas Erik sama Wira."Sepertinya Nickey kesal, ia langsung merebut sampah plastik itu dari tangan Nayra kemudian membuangnya sembarang. Nayra pun menatap Nickey heran. Apa salahnya jika ia melakukan hal itu?"Nickey." Nayra beranjak untuk mengambil sampah itu, tapi tangan Nickey menahannya."Aku bilang nggak usah.""Tapi aku nggak masalah. Sekali-kali dong gantian, mereka juga bosan ngelakuin itu terus."Nickey berdecak, ia t
Sejak dua puluh menit yang lalu, tepatnya setelah Nayra menghabiskan makannya, tangan Rifdan terus berada dalam genggamannya. Nayra berharap Rifdan segera sadar, walau tadi dokter sempat mengatakan Rifdan tengah tidur. Kemungkinan akan bangun sekitar satu jam lagi. Itupun hanya perkiraan, selebihnya Tuhan yang menentukan.Bersama Nickey yang berada di sampingnya, duduk menopang dagu. Sesekali mengusap bahu Nayra."Sabar, ayah pasti sadar," ucap Nickey menenangkan. Tetapi jauh di relung hatinya, Nickey mengkhawatirkan sesuatu yang membuatnya ingin lekas pergi dari tempat ini.Nayra mengangguk halus, tangannya tetap setiap mengusap punggung tangan Rifdan sesekali menciumnya. Rifdan selalu mengatakan kalau sentuhan adalah cara paling ampuh untuk berinteraksi dengan seseorang, meski orang itu sedang tidak sadar.Dan benar saja, beberapa menit kemudian jari Rifdan melakukan pergerakan kecil, yang mungkin tidak disadari mereka yang berada lumayan jauh dar
"Permisi."Suara milik dokter itu lantas membangunkan dua orang yang tengah terlelap. Nickey menegakkan punggung, bangun dari sandaran kursinya meski belum sepenuhnya sadar. Sedangkan mata Nayra perlahan membuka, mengucek-nguceknya sebentar kemudian menatap dokter."Maaf mengganggu," ujar dokter itu. Tampak tidak nyaman karena mengganggu tidur mereka.Nayra ikut berdiri. "Nggak papa dok. Terus keadaan ayah gimana?""Ayah kamu baik-baik saja. Tapi jangan sampai telat memeriksa kesehatannya. Maaf lambat memberitahu, saya tidak tega membangunkan kalian tadi.""Nggak masalah dok," jawab Nickey yang sudah berdiri di samping dokter itu. "Terus kapan ayah Nayra bisa pulang?""Sekitar beberapa hari lagi, kami ingin memantau kesehatannya dulu. Dan Nayra, apa ayah kamu selalu teratur minum obat?"Nayra menggeleng. "Ayah sering lupa, obatnya sekarang juga lagi habis."Dokter itu hanya ber-oh sesaat. "Kalo gitu obatnya dokter s