Bab 12 KeburukanArdi segera merengkuh tubuh Dena masuk dalam pelukannya."Ar...Ardi...."Dena meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan tubuh atletis Ardi. Sejatinya kenyamanan itu dirasakan Dena, berbeda dengan saat dia bersama Rico. Perasaan was-was itu ada, tetapi tertutupi oleh perlakuan lembut Rico membuat Dena lebih percaya kalau Ardi lebin brengs*k."Lepasin, dasar laki-laki brengs*k. Sudah aku bilang jangan menyentuhku sesukamu!" Dena mendorong tubuh Ardi saat kesempatan pelukan itu melonggar. Gegas Dena memencet lift hingga terbuka. Dia berlari menyusuri lantai mencari anak tangga atau lift lain untuk sampai ke kamarnya. Ardi mematung di tempat. Usahanya ingin merebut hati Dena berujung wanita itu memberinya cap buruk.Ardi tidak berniat mengejar. Dia memilih turun kembali keluar dari hotel tempatnya menginap. Memilih mencari udara segar, ia tidak ingin berlaku buruk lagi pada Dena. Baru sampai lobby, ponsel di saku Ardi berdering."Di mana, Bro. Ayo temani aku minum."
Bab 13 Jangan teruskan Di kamar hotel, Dena bersiap mengepak barang untuk kepulangannya ke kota Yogya. Dia sudah tinggal selama tiga hari di kota pahlawan untuk membahas proyek bisnis ayahnya dengan Rico. Senyumnya tak pernah surut jika mengingat kembali perlakuan Rico padanya. Laki-laki itu terlihat dewasa dan penuh perhatian. Sepertinya, Dena mulai menyukainya. "Ah, jangan sampai aku tergila-gila pada Rico. Aku harus bersikap jual mahal untuk membuktikan ketulusannya." Bel berbunyi, Dena menghentikan aktifitasnya mengepak barang dan juga oleh-oleh untuk orang tuanya. Ia menyambar blazer untuk menutupi sebagian tubuhnya yang hanya memakai tangtop. "Cari siapa, ya?" Laki-laki yang berdiri membelakanginya segera berbalik. Seulas senyum terlukis di wajahnya. "Kamu?!" Dena dengan sigap menutup pintu untuk menghindari Ardi. Namun, sebuah kaki Ardi yang mengenakan sepatu sneakers telah lebih dulu menahan pintu agar tidak tertutup. "Mau apa kamu brengs*k?!" Dena sudah berapi-api seti
Bab 14 Aku MemilihnyaSeminggu setelah pulang dari Surabaya, Dena hanya sesekali ke kantor papanya. Pak Husein dan istrinya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya tiba-tiba seperti gadis ABG. Mendekam di kamar, memasang headphone sampil menggoyangkan tubuh, Dena seolah sedang kasmaran."Dena kenapa sih, Ma?" Pak Husein yang heran pun bertanya pada istrinya. Bu Sinta justru tersenyum senang."Lagi jatuh cinta mungkin, Pa. Sejak pulang dari Surabaya begitu." Bu Sinta mendekati suaminya sambil mengedikkan alis."Masak, sih? Jatuh cinta sama anak Pak Barata atau kolega yang di Surabaya?""Nggak tahu juga, Pa. Mama baru mau menginterogasinya." Bu Sinta hendak pergi ke kamar Dena, tetapi Pak Barata menarik tangannya."Suruh ajak makan malam, Ma. Biar Dena kenalkan sama kita. Kalau perlu mereka tidak usah pacaran langsung nikah saja.""Ya, maunya mama juga gitu, Pa. Tapi tergantung Dena, kita nggak bisa memaksakan kehendak.""Iya, Ma. Papa serahkan mama aja, sana diinterogasi a
Bab 15 Kalung Mutiara"Ma, Dena berangkat dulu, ya." Dena sudah memakai gaun serupa kemben dengan panjang selutut, lalu dilengkapi dengan outer broklat sebagai penutup bagian atas. Terlihat cantik dan seksi memang, tubuh Dena sangat ideal. Tinggi semampai dan berat badannya proporsional."Naik apa, Na?" Pak Husein khawatir anak perempuan satu-satunya kenapa-napa. Terlebih, selama ini Dena belum pernah keluar makan malam dengan laki-laki. Papanya terlalu berharap Dena bisa dekat dengan putra sahabatnya yang tak lain adalah Ardi.Namun, sepertinya angan itu hanya sebuah fatamorgana. Asanya terputus setelah Dena meminta izin makan malam dengan koleganya yang dari Surabaya."Dena naik taksi, Pa, Ma. Janji deh, pulangnya nggak kemalaman.""Ya, hati-hati, Sayang." Bu Sinta dan Pak Husein melepas kepergian Dena dengan senang hati, walah ada sedikit kekhawatiran karena belum mengenal kolega yang dari Surabaya."Semoga Dena segera menemukan jodohnya ya, Pa.""Iya, Ma. Amin."Sepanjang perjalan
Bab 16 Sadar"Astaghfirullah," pekik Dena. Kesadarannya mulai kembali setelah kedua lengan kekar Rico melingkar di pinggangnya. Ia merasa jijik pada diri sendiri karena menikmati aktifitas yang akan berujung pada lembah dosa."Maafkan saya, Dena. Saya tidak bisa menahan diri. "Saya juga minta minta maaf, Ric. Sebagai wanita, saya hanya akan memberikan apa yang saya miliki pada suami nanti."Gegas Dena menjaga jarak terhadap Rico. Laki-laki itu mengerang frustasi seolah menahan beban berat dalam tubuhnya."Jangan dilepas kalungnya. Kumohon, Dena. Itu hadiah untukmu. Nanti aku antar pulang sekalian bertemu orang tuanmu." Dena tertegun, Rico benar-benar ingin mengajaknya ke hubungan yang lebih serius."Apa tidak terlalu cepat?" ungkap Dena."Tidak, Na. Sesuatu yang baik sebaiknya disegerakan. Saya takut khilaf seperti tadi." Penjelasan Rico membuat hati Dena lega. Kenyataan Rico orang yang mau menghargai wanita dan kehormatannya."Baiklah. Terserah Rico. Saya juga tidak ingin kita melak
Bab 17 RestuKeesokan hari, pikiran Ardi berkecamuk. Mendengar kabar Dena mau menikah dengan laki-laki brengs*k itu membuat darahnya mendidih. Ia harus menemui Dena sebelum terlambat. Setidaknya Dena mengurungkan niatnya untuk menikah dengan lelaki yang suka berganti-ganti wanita itu. Ardi khawatir kalau Dena hanya dijadikan pelarian saja. Sudah dua jam Ardi memarkirkan mobil di seberang kantor milik Pak Husein sahabat papanya. Ia harus bertemu langsung dengan Dena. Namun yang dinanti-nanti belum terlihat batang hidungnya. Beberapa menit kemudian, terlihat sebuah mobil berhenti di halaman kantor. Sepertinya mobil itu menurunkan penumpang."Dena?" Benar saja mobil itu sama dengan mobil yang dijumpai Ardi semalam.Gegas Ardi melajukan mobilnya masuk ke halaman kantor setelah mobil yang ditumpangi Dena pergi. Ardi yakin laki-laki semalam adalah pengemudinya.Setelah memarkirkan mobilnya, Ardi bergegas masuk ke gedung yang merupakan kantor milik Pak Husein."Ada yang bisa saya bantu, Pak
Bab 18 Melamar Gelap melipat terang, langit kota Yogya bertaburkan bintang. Meski cahaya bulan sembunyi di peraduan, suasana tampak oleh kerlipan lampu-lampu kota. Sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumah Pak Husein. Rico mengeksekusi niat seriusnya melamar Dena. Berbagai buah tangan telah ia siapkan guna mengambil hati calon mertuanya. "Mari, silakan masuk Nak Rico!" ajak Bu Sinta dengan senyum mengembang. Rico membalasnya dengan tak kalah mengumbar senyum. "Ayo, masuk!" Kali ini Dena menarik sudut bibir tipis yang berhiaskan lipstik warna natural. Rico mengangguk. Gejolak hatinya sudah tak sabar ingin memiliki wanita putra pengusaha ternama di kota ini. "Pa, tamunya sudah datang," seru Bu Sinta. Pak Husein yang mengenakan kaos kasual keluar dari kamar dan bergabung di ruang tamu. "Ini ada sedikit buah tangan Om, Tante," ucap Rico sopan. "Wah, kenapa repot-repot." Bu Sinta semakin merasa bangga punya menantu yang tidak hanya perhatian pada calon istri tetapi juga calon mert
Bab 19 Melepasmu "Siapa dia?" Dena bergidik ngeri, merasa orang itu menatapnya penuh selidik. Gegas ia masuk ke dalam rumah untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Namun sejenak, ingatannya kembali ke kejadian saat ia ke Surabaya ternyata dibuntuti oleh laki-laki tak lain adalah Ardi. "Apa tadi itu Ardi? Mobilnya, ah kenapa aku tadi nggak menghafal plat nomernya. Yang jelas tadi plat nomer AB berarti Yogyakarta. "Ada apa, Na. Wajahmu kayak ketakutan. Habis lihat apa, sih?" "Eh enggak, Ma. Tadi di luar kena angin dingin," tukasnya. "Dena pamit ke kamar ya, Ma." "Tunggu, Na!" Bu Sinta masih merasa ada yang mengganjal di hati. Ia hanya ingin memastikan Dena tidak salah menentukan pilihan. "Ya, Ma. Ada apa?" "Kamu sudah yakin dengan Rico? Apa kamu sudah dikenalkan dengan orang tuanya?" Dena mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja mamanya membuatnya ragu. "Orang tua Rico masih di luar negeri, Ma. Dena belum bertemu langsung. Tapi Rico sudah mengenalkan Dena ke orang tuanya. Dan
"Mas, di mana?" Suara Raihan terdengar dari seberang."Siapa, Mas." tanya Dena penasaran."Astaga, Mas Ardi di mana? Ingat Mas, Mbak Dena belum ketemu kenapa Mas Ardi sama perempuan lain. Suara siapa perempuan tadi?" teriak Raihan memaksa Ardi menjauhkan ponselnya. "Pakai baju, Sayang. Ada Raihan."Ardi lalu mengubah panggilan Raihan menjadi videocall."Ada apa, Rai?""Mas apa-apaan nggak pakai baju gitu. Mas tidur sama...""Hush, jangan sembarangan. Ini Mas sama Mbak Dena.""Hah?!" Dena menyunggingkan senyum di depan layar ponsel. "Dena! Mana Dena putriku?""Mama!" jerit Dena saat melihat wajah mama Ardi dan mamanya ada di layar menggantikan Raihan yang sudah memberi ruang bagi kedua wanita paruh baya itu. Sorot mata sendu terutama terlukis di wajah Bu Sinta--mama Dena. Mamanya beberapa hari menginap di rumah sahabatnya sekaligus besannya itu. Ia tidak tahan sendirian di rumah kare
"Na, tolong dengarkan aku! Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik. Jangan gegabah. Jangan berpikiran sempit. Kamu tidak sendiri, Sayang. Ada aku, mama, papa, teman-teman. Kumohon, buka pintunya, Na!"Teriakan memohon dari Ardi sebagai usaha terakhir setelah dengan kalimat lembut tidak mempan, akhirnya membuahkan hasil.Cklek, Ardi bersyukur Dena mau membuka pintu. Namun, begitu ia masuk kamar mandi, Dena masih terisak. Tubuhnya menggigil karena terlalu lama mengguyur dengan air dari shower."Ya Allah, Dena! Apa yang terjadi? Kenapa kamu jadi begini?!"Ardi meraih handuk lalu mengganti baju Dena dengan bathrope. Ia memapah Dena keluar kamar mandi. Hening, tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Ardi membiarkan istrinya tenang dengan memberi segelas teh panas buatannya."Minumlah untuk menghangatkan badanmu, Na!" Ardi memberi ruang pada Dena untuk berpikir dingin supaya tenang hatinya.Tidak berselang lama, Dena justru
Dena berniat menuju restoran untuk menikmati makan malam karena Ardi sudah mengirim pesan agak terlambat datang. Ia sudah merasa lapar, karena Ardi tidak kunjung tiba. Sampai di restoran hotel. Dena berjalan pelan hingga tubuhnya terpaku di pintu masuk restoran. Netranya memicing ke arah sosok yang dilihatnya mirip Ardi.Deg,"Ardi? Kenapa dia malah makan malam sendiri?" Dilihatnya Ardi hanya duduk sendiri menikmati makan dan minuman. Namun, Dena baru mau melangkah terlihat seorang wanita berjalan menuju kursi di seberang Ardi."Hah, siapa wanita itu?" Dena melihat pakaian wanita itu rapi, rambutnya digelung ke atas. Keduanya terlihat akrab saat menikmati makan.Dena merasakan setitik nyeri di dada, pun rasa sesak menyeruak hingga membuatnya susah bernapas."Kenapa kamu melakukan ini padaku, Ar? Apa karena semalam aku menolakmu." Berbagai spekulasi menari-nari di otak Dena hingga membuat kepalanya pening. Ia masih setia berdiri
Bab 49 Bangkit"Suami? Istri? Astaghfirullah." Dena menepuk jidatnya berkali-kali setelah ingat kalau mereka sudah menikah."Iya kamu istriku, tapi belum istri yang sesungguhnya karena belum melakukan ini.""Ardi?!" Dena sudah menjerit akibat sentuhan lembut dan dingin mengejutkan dari Ardi terasa di bibirnya. Dekapan erat pun menyusul menghangatkan tubuhnya, hingga keduanya bersiap melakukan ibadah yang dinantikan selama ini."Aargh. Jangan sentuh aku. Pergi!"Dena berteriak sekencang-kencangnya saat Ardi hendak memberikan sentuhan penuh cinta. Sontak saja Ardi terkejut luar biasa, ternyata istrinya masih trauma. Ia segera mendekap erat Dena yang tubuhnya masih gemetaran. Bahkan istrinya itu meronta-ronta saat ia ingin melakukan lebih jauh."Maafkan aku, Sayang. Aku tidak akan memaksamu. Tenanglah! Aku di sini melindungimu."Dena masih sesenggukan dengan kepala merebah di dada bidang suaminya. Ia bisa merasakan suaminya mendesah pelan seolah menahan sesuatu. Raut kecewa jelas terlukis
Bab 48"Mbak Kusuma ayo pulang!""Tidak! Tolong pergi! Jangan ikuti saya!" Teriakan histeris Dena semakin membuat Pak Rahmat panik. Ia tidak tahu kejadian tak terduga itu. Bahkan Dena mendadak pingsan karena teriakan disusul tangisannay yang kencang."Mbak, Mbak Kusuma, Bangun!"Pak Rahmat menepuk-nepuk lengan lalu pipi Dena tetapi tidak ada respon."Astaga! Kenapa jadi begini. Kalau terjadi apa-apa bagaimana ini."Pak Rahmat bergegas membobong Dena ke mobil. Pakaian keduanya sudah mulai basah terkena air hujan terutama Pak Rahmat. Setelah dibaringkan di kursi belakang, Pak Rahmat mencari apa saja yang bisa untuk menutupi tubuh Dena supaya tidak kedinginan. Lama mengobrak abrik bagasi hingga akhirnya Pak Rahmat menemukan sebarang kain.Pak Rahmat merasa lega, lalu berniat keluar dari mobil dan harus segera membawa Dena ke rumah sakit. Namun, baru saja hendak keluar, ia dikejutkan oleh sebuah tarikan pada kerahnya.
Bab 47 Trauma itu"Jadi, Bapak tinggalkan mereka berdua?! Kalau terjadi apa-apa dengan istri saya bagaimana?! Siapa yang bertanggung jawab, hah?!" Ardi sudah tidak bisa mengontrol emosinya. Semua mata tercengang mendengar ucapan mengejutkan Ardi."Istri?" lirih Andi."Ya, Dena Artha Kusuma adalah istri saya.""Apa?!" Semua saling pandang dengan wajah dipenuhi penyesalan.Gegas Ardi menarik Andi menuju mobil yayasan untuk mencari Dena."Ya Allah, semoga Dena baik-baik saja."Ardi tidak mempedulikan hujan lebat yang mengguyur, bahkan petir pun terdengar bersahutan. Ia menarik lengan Andi dan bergegas mencari Dena juga Pak Rahmat."Saya ikut juga, Pak!" Suara Pak RT terdengar lantang. Karena merasa bersalah telah meninggalkan mobil Pak Rahmat yang membawa Dena bersamanya."Mari, Pak!" ucap Andi karena Ardi sudah tidak sempat membalas. Akhirnya mobil itu berisi empat orang, bu kepala panti pun turut kembali mencari Dena. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu relawan yang terlihat pal
Bab 46B Kepanikan"Yang ini bagus, Mbak Tantri," sahut Ardi sambil melirik ke arah istrinya yang berdecak kesal."Dasar suami berondong. Awas saja kalau besok sampai rumah." Dena melanjutkan kegiatannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah suaminya, manatahu suaminya tebar pesona hingga membuat Tantri salah mengartikan.Sampai waktu menjelang senja, beberapa pengunjung telah kembali pulang. Ardi dan Andi serta tim relawan membantu anak panti membawa beberapa barang kembali ke rumah panti. Namun, Dena masih membereskan tempat pameran bersama Tantri, Pak Rahmat, kepala panti dan juga anak-anak."Bu, ada info rombongan dari sekolah SD mobilnya macet di dekat hutan. Apa bisa kita beri pertolongan?" ucap Tantri dengan wajah sedikit khawatir, tangannya memegang ponsel yang baru saja menyala."Ada apa, Mbak?" Dena mendekati Tantri yang mengobrol serius dengan kepala panti."Ada mobil pengunjung yang membawa anak-a
Bab 46A KepanikanPagi itu suasana panti ramai oleh hiruk pikuk anak-anak yang semangat menyiapkan karya mereka yang akan dipamerkan di hari terkahir. Andi sudah bangun awal dan bersiap dengan seragam kaosnya. Pikirannya masih terngiang percakapan semalam dengan Ardi di kamar."Hmm, maaf nih Pak Ardi kalau saya lancang.""Ya, Mas.""Tadi...hmm, saya lihat Pak Ardi keluar dari kamar Mbak Kusuma."Uhuk, uhuk."Pak Ardi nggak apa-apa?""Nggak, Mas. Saya tadi kebetulan lewat depan kamarnya. Ada suara jeritan dari dalam. Katanya sih kecoa. Ya, saya bantu ngusir.""Oh."Andi masih belum percaya, tetapi pikiran aneh-anehnya segera terhempas begitu saja. Ia harus membantu persiapan hari ini."Mbak Kusuma, di mana?" tanya Andi sambil mengangkat dus berisi karya anak-anak panti. Teman relawan yang kebetulan lewat mengambil dus snack pun menjawab."Itu pergi sama Pak Rahmat dan bu kepala panti untuk menjemput rombongan siswa dari sekolah yang ingin kemari, Mas.""Oh, oke. Makasih infonya. Ayo k
Bab 45B Salah Sangka"Sttt!" Dena merapat dengan sigap tangannya menutup mulut Ardi. Tanpa sadar keduanya saling menatap,menyelami manik mata masing-masing. Ada kerinduan yang ingin disampaikan lewat tatapan mata.Ardi mengikis jarak hingga kening keduanya menempel."Aku mencintaimu, Na. Izinkan aku menyelami hatimu hingga tidak ada lagi lara yang tertinggal di sana. Hanya ada kamu dan aku yang akan mengukir masa depan. Menghadirkan keramaian anak-anak kita nantinya."Memilih diam mencerna setiap kata lembut yang keluar dari mulut suaminya, Dena tenggelam dalam pusaran kerinduan yang terobati dengan sentuhan. Hingga tak terasa keduanya merasakan puncak kebahagiaan dengan sentuhan. Dena menarik diri karena harus menghirup oksigen banyak-banyak. Kedua tangannya reflek menutup bibir bahkan mukanya yang sudah memerah seperti buah Cherry."Kamu cantik sekali kalau seperti ini, Na. Kita lanjutkan besok pulang dari sini ya, sekalian ho