"Kalo kamu sering bolos-bolosan kayak gini, mending berhenti aja kuliah! Jadi penulis sana!" teriak ayah kala itu."
Saat itu saya sedang duduk di ruang keluarga bersamanya, juga bersama ibu. Ibu tampak diam saja, seperti bingung mau membela atau ikut menyalahkan saya. Saat itu juga saya berdiri dan berjalan meninggalkan mereka.
"Jangan pulang sebelum kamu bisa membuktikan kalo kamu bisa sukses jadi penulis!" teriak ayah.
Saya tak melihatnya, terus saja berjalan meninggalkan mereka berdua. Lalu saya menghilang selama satu tahun lamanya. Gara-gara itu saya putus kuliah.
Ternyata ayah benar, menjadi penulis bukan hal yang gampang. Akan tetapi karena saya sudah berjanji untuk membuktikan pada ayah bahwa saya bisa sukses menjadi penulis, saya pun menerima nasib buruk itu dengan ikhlas.
Saya akhirnya bekerja serabutan dengan mengandalkan ijazah SMA yang saya punya lalu sambil menggeluti dunia sastra. Sambil bekerja, saya menulis cerpen dan novel. Tapi bulan demi bulan, saya tidak memiliki keberuntungan. Saya di PHK di tempat kerja. Saat itu saya tidak bekerja, menjadi penulis sukses pun belum.
Suatu hari, teman seperjuangan saya di dunia sastra yang lebih dulu merdeka dari nasib buruknya menghubungi saya. Namanya Andi, dia dulu novelis yang gagal, sama seperti saya,. Dia juga putus kuliah, namun saat itu dia sudah menjadi penulis skenario sinetron terkenal walau masih menjadi co writer.
"Tar,” ucap Andi saat menghubungi saya di telepon waktu itu, ”lo mau nggak ikut jadi team penulis skenario di PH tempat gue bekerja?"
Saya senang setengah mati mendapat tawaran itu darinya. Seperti bunga yang sudah layu karena tidak disiram-siram oleh pemiliknya, lalu mendadak mendapatkan air segar.
"Saya mau sob,” ucap saya girang, ”saya mau banget."
"Tapi bisa nggak lo ubah gaya bahasa lo yang kaku itu terlebih dahulu?"
Saya terkejut mendengar persyaratan itu darinya. Ya, memang beginilah saya. Saya sering menggunakan kata ; saya dalam kehidupan saya, tidak menggunakan kata ; aku atau gue - seperti layaknya kehidupan normal pada umumnya. Menurut saya itu unik. Bukan kah menjadi berbeda dari kebanyakan manusia adalah suatu keajaiban? Entahlah.
"Ya, nggak bisa, Sob. Saya kan emang dari dulunya ngomongnya kayak gini. Sama halnya ketika kamu nyuruh saya berhenti mengagumi Dian Satro, saya nggak akan bisa."
Dia tertawa terbahak-bahak di telepon.
"Becanda, Sob. Justru gue suka gaya elo. Yaudah deh, besok datang ke kantor gue," pintanya lalu langsung menyudahi obrolan kami ditelepon.
Mendadak saya bingung, bagaimana saya bisa datang ke kantornya kalau alamatnya saja saya tidak tahu? Akhirnya saya mengubungi Andi kembali via handphone. Beruntung Andi langsung mengangkatnya.
“Kenapa, Sob?” tanya Andi di seberang sana.
“Saya kan belum tahu alamat tempat kerja kamu?”
“Oh, belum gue certain ya?”
“Belum!”
“Yaudah, nanti gue kirim alamatnya via chat dah.”
Saya menghela napas lalu langsung menyimpan handphonenya ke saku celana. Saya mengenal Andi saat sama-sama mengikuti kursus penulisan skenario bersama penulis terkenal beberapa tahun yang lalu. Waktu itu Andi yang duluan mengajak saya kenalan. Dulu saya sering jual mahal bila ada siapapun yang mau mendekat ke saya. Saya menanggapinya biasa saja ; menyebutkan nama lalu bicara seperlunya. Ketika dia meminta nomor handphone, saya kasih nomor yang salah. Eh, rupanya saat kami kembali bertemu di kursus penulisan scenario bersama penulis scenario terkenal berikutnya, saya bertemu lagi dengannya. Andi mengeluh katanya nomor handphone saya susah dihubungi. Ya iyalah, saya ngasihnya nomor yang salah. Dia kembali mendekati saya. Akhirnya saya kasihan. Saya kasihlah dia nomor handphone saya yang benar. Setelah itu kami berteman dan menjadi akrab. Kesamaan pada kesukaan akan dunia sastralah yang membuat kami akrab hingga saat ini. Tapi kekurangannya adalah dia bukan tempat yang baik untuk curhat. Kenapa? Karena dia adalah salah satu umat manusia yang tidak dapat menjaga rahasia.
Sejak itu, saya bergabung menjadi team penulis skenario di PH tempat Andi bekerja. Di sini pun saya tidak dapat menyebut nama PH-nya. Bukan bermaksud untuk sok-sokan misterius, tapi seperti yang sudah saya tekankan di atas kalau saya tidak mau ada masalah dikemudian hari. Karena saya sudah sering ikut kursus penulisan skenario di mana-mana, jadi saya sudah mengerti bagaimana menulis skenario yang baik dan benar. Setelah dites dan diuji akhirnya saya lolos juga di PH itu.
Saya pun diminta menulis skenario komedi yang sedang ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta. Awalnya sangat membebani saya. Saya yang biasa menulis drama kehidupan yang sedih-sedih, sekarang malah diminta untuk menulis skenario komedi situasi. Untung saja Andi baik hati, dia mengajari saya diam-diam dan memberi resep jitu ke saya bagaimana menulis komedi yang baik dan benar. Andi menjejali saya DVD serial friends dan menyuruh saya menontonnya sampai habis. Setelah saya selesai menonton semuanya dia menjejali saya lagi film-film komedi. Saya yang awalnya kurang berminat menonton komedi malah jadi tertarik.
Akhirnya saya pelan-pelan bisa mengikutinya dan skenario yang saya tulis mulai jarang direvisi oleh headwriter yang mengepalai di team kami. Jujur, naskah pertama yang saya kirim ke headwriter dimaki habis-habisan karena saya dinilai merusak citra komedi Indonesia. Mengapa? Karena saya mengubah satu episode sitkom yang terkenal itu menjadi kisah sedih sepanjang masa. Andi sampai geleng-geleng melihat saya. Untunglah headwriter saya berbaik hati pada saya. Akhirnya saya diberi kesempatan karena dinilainya memiliki potensi. Seperti yang saya ceritakan di atas, akhirnya saya berhasil. Tentu itu menjadi kemenangan buat saya. Jujur, saat itu bisa menjadi penulis skenario sudah membuat saya sangat bersyukur. Kesempatan ini tidak mudah didapatkan oleh penulis lain. Karena mendapatkan pekerjaan sebagai penulis scenario tidak seperti menulis novel yang bisa mengajukan naskah ke penerbit mana pun yang disuka atau bisa memuatnya di platform-platform
Dan malam yang tenang itu. Saya menemui Andara yang sudah duduk cantik di meja makan. Dengan penuh percaya diri disertai gugup sepuluh persen. Akhirnya saya menghampiri dia. "Andara?" sapa saya. Andara cukup lama memandangi saya. Dia berdiri lalu seperti shock melihat saya. Saya heran. “Kenapa? Saya serem ya?” celetuk saya. “Nggak kok,” kata Andara yang masih tampak tercengang, "kamu Kak Tarwan?" Andara mengatakan itu seperti orang yang baru ketemu dengan orang yang sudah lama dia kenal. Sesaat kemudian saya lihat dia tampak senang dengan kehadiran saya. Di pikiran saya sudah berkecamuk. Ini pasti akan menjadi cerita indah. Cerita cinta antara seorang artis yang sedang naik daun dengan penulis sederhana. Mungkin seperti FTV yang sering diperankannya. "Iya," jawab saya. "Duduk kak," pintanya kemudian. Aku pun duduk dengan salting. Beberapa pengunjung melihat ke arah Andara. Mungkin mereka tahu kalau Andara adalah a
Kami pun makan malam bersama di café yang sama tempat pertama dia mengajak saya makan malam. Kebetulan yang melayani kami adalah pelayan yang dulu menuduh saya belum membayar bill. Pelayan itu tampak malu melayani saya. Saya mencoba bersikap biasa saja, pura-pura lupa. Tak berapa lama kemudian menu makanan yang kami pesan datang. Saya dan Andara langsung melahapnya. “Gimana nulisnya, Kak?” tanya Andara sambil melahap menu makanan di hadapannya. “Alhamdulillah, lancar-lancar aja.” Andara mengangguk. “Menurut kakak, acting aku di sitkom udah bagus belum?” “Udah, kok.” “Beneran?” “Saya serius.” “Kalo ada yang kurang bilang aja kak, nanti aku perbaiki.” “Nggak ada yang kurang kok. Peran Siti yang kamu mainkan di sana sudah bagus kok.” Andara tampak senang dipuji. Setelahnya kami mengobrol banyak lagi. Ngalor ngidul membicarakan apapun. Saya pun akhirnya cerita soal Ira yang salah ngasih minuman ke saya. Anda
“Perasaan temen elo cuman gue dah.” Saya menghela napas. Emosi. “Udah jawab aja, ribet amat sih pengen tau siapanya.” Andi kemudian berpikir. “Bisa jadi sih.” Saya senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Andi. Jawaban Andi dan Yongki sama. Mungkin benar kalau Andara memang menyukai saya. Kalau dia tidak suka, tidak mungkin dia bisa sebaik itu sama saya. “Tapi tunggu dulu,” Perkataan itu memadamkan senyum saya yang terlanjur merekah. “Kenapa?” “Jangan keburu ge er dulu.” “Kok?” “Ada juga orang baik karena ada maunya.” “Contohnya?” “Ya kayak si Indro, anggota team penulis kita.” “Emang dia kenapa?” “Ada artis cewek yang deketin dia dan baik banget sama dia. Dia nyangka artis itu suka sama dia, tahunya mau manfaatin doang biar si artis itu sering dapet peran ditulisannya.” Saya kembali layu. Kebetulan si Andara ini adalah artis yang main di sitkom yang sedang
Sesaat kemudian saya pandangi wajahnya dengan gugup. “Andara?” “Iya, Kak.” Andara tampak heran. “Saya boleh nanya? “Mau nanya apa kak? Setelah itu saya berpikir lagi. Saya mendadak gugup untuk menanyakan itu. Akhirnya saya urungkan niat itu. “Nggak jadi aja deh.” “Kok nggak jadi?” “Nggak apa-apa.” “Yaudah, kalo gitu, aku aja yang nanya ke kakak ya?” Deg. Dia mau bertanya apa ke saya? Dengan gugup akhirnya saya mengiyakan ucapannya. "Kakak mau jadi kakak angkat aku nggak?" tanya Andara seketika. Dia mengatakan itu dengan tulus. Saya diam sejenak. Sungguh hati kecil saya bukan itu yang saya inginkan. Walau berlebihan, setidaknya biarkan saya berjuang dulu untuk mengejar dan menyatakan cinta disuatu saat nanti. Tapi jika sudah ditawari untuk menjadi kakak angkatnya begitu, mungkin itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau saya tidak akan pernah bisa menjadi kekasihnya. Dan itu juga bisa
Akhirnya gaun yang dinginkan Andara ditemukan juga dibutiknya. "Gila lo, Sob. Nggak nyangka pacar lo artis," bisik Cheng Lie pada saya. Saya hanya senyum-senyum sendiri, membiarkan dia berhalusinasi sendiri. Soalnya jika saya jelaskan bagaimana hubungan kami sebenarnya, pasti akan Panjang ceritanya. Jujur saya senang melihat senyum bahagia Andara saat dia menemukan gaun yang diinginkannya itu. Saya pun senang sudah bisa membantunya menyelesaikan masalahnya. Saya yakin, suatu saat pasti ada sebuah keajaiban. Ya, suatu saat nanti Andara tahu kalau kakak angkatnya ini mencintai dia dan dia akhirnya menerima cinta saya apa adanya. Mungkin kah? "Kakak!" "Iya dek." Kami bicara di telepon. "Kakak lagi apa?" "Kakak abis nulis." "Udah dikirim?" "Udah." "Ada aku kan di sana?" “Nggak ada.” “Kok nggak ada?” “Kalo peran Siti, ada.” Peran Siti ini adalah nama peran yang dimainkann
Andara pulang sambil membawa oleh-oleh untuk kami. Andara menarik saya menuju ke kamarnya. Saya heran. Setiba di kamarnya, Andara mencari sesuatu di rak bukunya, kemudian dia mengeluarkan sebuah album foto dan menunjukkannya satu persatu kepada saya. "Ini waktu aku SMA, kak. Jangan diketawain ya," pinta Andara pada saya. Saya sebenarnya terkejut. Di foto itu Andara tampak berkulit agak gelap dan hidungnya agak pesek. Tapi biar begitu Andara masih terlihat sangat manis. "Kok beda banget sama sekarang?" tanya saya heran. "Tuntutan, Kak. Waktu aku jadi model, managerku yang lama nyuruh aku operasi hidung biar makin mancung, terus nyuruh aku suntik putih juga," ucap Andara jujur pada saya. Ya, sebagaimana yang saya ketahui, memang banyak artis-artis yang melakukan hal itu. Walau tidak semuanya, tapi kebanyakan memang begitu. Tujuannya tidak lain agar bisa terlihat menarik di layar kaca atau layar lebar. "Padahal kamu nggak operasi hidung d
Di dalam kostan, saya merenung cukup lama. Saya tidak bisa seperti ini dengan Andara. Saya sudah kelewat batas. Akhirnya, hari itu juga saya blokir nomor Andara dan saya berjanji untuk tidak menghubunginya dan menemuinya lagi. Saya mengabaikan janji saya pada mamahnya. Ini demi kebaikan. Apakah saya bisa? Sudah hampir tiga hari, saya benar-benar menghindari Andara. Saya sengaja tidur di kostan Andi untuk menghindarinya. Nomornya masih saya blokir. Saya yakin, dia pasti mendatangi kostan saya. Sebenarnya saya sedih dan merasa bersalah karena sudah mengabaikannya. Tapi sebagai manusia yang masih berjuang untuk beriman, saya paham bahwa yang saya lakukan ke Andara adalah sebuah kesalahan. Saya tidak ingin kesalahan itu berlarut-larut. Hari itu saya datang ke kantor PH untuk mengikuti rutinitas seperti biasa ; yaitu setiap dua kali dalam seminggu saya harus brainstorming dengan headwriter saya untuk mengajukan sinopsis dan membuat plot untuk episode lan
DUA TAHUN KEMUDIANHampir dua tahun lebih saya kuliah di di Inggris. Saya akhirnya pulang ke Jakarta setelah mendapat undangan pernikahan dari Andara dan Raka.Di sebuah gedung megah. Acara resepsi pernikahan itu sedang berlangsung. Tamu undangan dari kalangan artis banyak yang sudah datang. Andara dan Raka tengah bersanding mengenakan gaun pengantin dari perancang terkenal. Saya tahu itu karena saya selalu mengikuti berita-berita gosipnya di channel televisi Indonesia yang saya bisa saksikan melalui dunia internet.Saya datang ke pernikahan itu membawa keluarga saya ; ayah, ibu, dua kakak saya yang masih belum nikah-nikah juga dan adik bungsu kesayangan saya ; Shasa.Ayah mengajak saya untuk pergi ke pelaminan. Sementara saya masih menunggu seseorang. Seseorang yang diinginkan Andara agar saya membawanya ke acara resepsi pernikahannya itu."Ayok." Desak ayah.Aku masih melihat-lihat ke arah pintu utama gedung itu."Bentar, yah.
Setelah itu, saya mulai menjauhi Daren dan Jimmy. Saya tak mau dekat dengan mereka, karena bila dekat dengan mereka, itu artinya saya juga akan dekat dengan Andara Siti Rohmah. Saya ingin melupakan nama itu, saya tak mau mengingatnya lagi karena saya ingin melupakan gadis yang bernama sama dengannya di Jakarta yang kini sudah menjadi artis tenar itu.Jimmy dan Daren heran melihat saya menjauhi mereka. Mereka mengejar saya sesuasi jam kuliah.“Hey, Nico. Kamu kenapa menjauhi kita?” tanya Jimmy heran.“Maaf, saya lagi sibuk,” jawab saya berbohong.“Ayolah kawan! Andara menanyakan kamu terus, sepertinya dia suka sama kamu,” ucap Daren.Hah? Dia suka sama saya? Tanya saya dalam hati. Tidak, di hati saya saat itu hanya ada Andara adik angkat saya seorang. Pikir saya. Saya tidak mau mengenal dia, saya harus melupakan Andara.Saya pun pergi dari mereka. Dan saat saya pulang ke apartemen saya, handphone saya berbu
Pagi-pagi sekali saya terbangun. Hari ini adalah hari pertama kalinya saya akan kembali kuliah. Bibi Salsa sudah menyiapkan sarapan untuk saya. Pak Tono sudah bersiap untuk mengantarkan saya ke kampus. Ya, tugas Pak Tono sekarang adalah supir pribadi saya. Dia akan menjadi supir saya sampai saya selesai kuliah di sini. “Den ganteng sudah bangun?” sapa Bibi Salsa pada saya. Dia adalah perempuan asal Makassar berumur 45 tahun. Dia sudah lama tinggal di London, menjadi pembantu di sana, namun karena majikan lamanya meninggal dunia, dia terpaksa diberhentikan di tempat lamanya dan karena ayah sedang mencarikan pembantu untuk saya, pak Tono mengenalkannya pada ayah melalui telepon dan akhirnya sekarang dia bekerja di apartemen saya. Saya tersenyum padanya. &
Saya tiba dengan bingung di Bandara tersibuk di Inggris itu. Saya celingak-celinguk di dekat koper-koper saya yang banyak sambil menunggu seseorang yang kata ayah dia akan membantu saya di kota asing itu. Sesaat kemudian, handphone saya berbunyi. Saya langsung mengangkatnya dengan lega. Itu pasti orang suruhan ayah. “Halo,” jawab saya. “Ini mas Niko ya?” tanya seseorang itu berlogat jawa. “Iya. Bapak yang disuruh ayah ngurus saya ya?” tanya saya. “Iya, mas. Ini saya udah di Hetrow. Mas di mana?” tanyanya dengan suara yang sepertinya kebingungan. Saya pun memberitahukan tem
SOEKARNO HATTA Saya berpelukan dengan Ayah, Ibu, Kedua kakak lelaki saya dan Shasa saat saya bersiap untuk boarding. Kami berada di depan pintu masuk untuk chek in. Ibu menatap wajah saya dengan sedih. "Makan yang banyak," pinta ibu padaku. Aku mengangguk. "Belajar yang serius," pinta Ayah. Aku pun mengangguk. "Hati-hati milih temen," pinta Kakak pertama. Aku juga mengangguk. "Awas kalo macem-macem," pinta Kakak kedua. "Kalo adek ulang tahun jangan sampe lupa ngucapin," pinta Shasa. Aku memangguk dengan mata berkaca-kaca. Kupeluk mereka satu persatu. "Jangan sampe lupa, nanti kalo udah di sana hubungin nomor yang Ayah kasih. Dia yang akan ngurus tempat tinggal kamu dan bantu kamu apapun di sana. Dia akan ayah gaji tiap bulan buat ngurus kamu," ucap Ayah mengingatkan. "Iya, Ayah." Saya melihat sekeliling, Andara tak muncul juga. Tak lama kemudian malah Raka y
Raka masih angguk-angguk dengan sedih di hadapan saya. "Terakhir, jangan pernah berhenti mencintainya meski kamu sudah bosan dengannya. Itupun kalo kamu mau saya anggap sebagai adik angkat saya juga," ucap saya. "Saya janji, Kak. Saya janji akan jaga Andara sebaik-baiknya," ucap Raka dengan semangat. “Bagus,” ucap saya. “Udah sah kan, saya jadi adik angkat kakak?” tanya Raka memastikan. Saya menghela napas. “Iya.” Raka tampak senang. "Nanti kalau kalian sudah siap menikah, jangan lupa kabarin saya." "Siap, Kak!" Saya pun berdiri lalu pamit padanya. Raka menjabat tangan saya dengan sedih. Saya pun pergi dari sana menahan air mata yang sedari tadi mau tumpah.Mobil yang saya kendarai berputar-putar mengitari jalanan kota Jakarta. Saya menangis sendirian sambil menyetir. Saya pun tak sadar sudah melewati jalanan yang sama berkali-kali. Lalu saya memarkirkan mob
"Kuliah?" tanya ayah memastikan. "Iya," jawab saya. Ayah berpikir sesaat kemudian bicara pada saya. "Di mana?" "Di luar negeri." Ayah semakin terkejut. “Luar negeri di mana?” "Inggris," jawab saya. "Di universitas apa dan jurusan apa?" "Universitas apa saja asal jurusan sastra," jawab saya. Ayah terdiam tak percaya. Saya pun menunggu jawaban ayah dengan penuh harap. Ini juga sekaligus membuktikan apakah ayah masih seperti dulu yang tidak suka melihat saya menggeluti sastra apa dia benar-benar sudah berubah. "Kenapa mendadak mau kuliah lagi?" tanya ayah tampak masih heran. "Saya ingin menguasai sastra dan pengen jadi pengusaha penerbitan di kemudian harinya," ucap saya dengan mantap. Mudah-mudahan kata pengusaha itu bisa membuat dia senang dan mau menguliahkan saya di Inggris. "Nggak bakal putus kuliah lagi kan?" tanya ayah memastikan. "Saya janji, akan kuliah sebaik-baikny
Andara mengerti. Kami bertiga pun melahap menu yang kami pesan. Kotak cincin yang hendak saya berikan pada Andara masih tersimpan di saku jas yang saya pakai dengan aman. Saya pun mendengarkan kisah cinta Andara dan Raka dari mereka berdua, dimulai bagaimana mereka diminta settingan hingga akhirnya pacaran beneran. Tentu dengan rasa sakit yang saya simpan. Rasa sakit yang membuat saya ingin pergi dari sana secepat mungkin. Pagi hari sekali saya duduk diam di atas kasur. Di kamar saya yang dulu. Di rumah saya. Isi kamarnya masih seperti dulu, tidak ada perubahan sama sekali. Novel-novel sastra dari berbagai penulis dunia masih berjejer rapih di rak buku saya. Kakak pertama masuk ke kamar dan duduk di sebelah saya. "Semua udah siap berangkat ke Bandung. Ayok!" pinta kakak pertama pada saya. Hari itu kami sekeluarga akan berangkat ke Bandung untuk menghadiri acara tunangan Andara dengan Raka. "Iya, bang," ucap saya lemah. Kaka
Tak lama kemudian, handphone saya berbunyi. Andara menelepon saya, dia mengabarkan sudah sampai di parkiran. Saya semakin deg-degan. Tak berapa lama kemudian Andara datang memakai setelan gaun yang indah. Dia tampak cantik sekali memakainya, saya sampai terpana. "Kakak!" panggil Andara tampak girang melihat saya. Andara mendekat ke saya dan tampak takjub melihat saya memakai setelan jas biru itu. "Kakak aku kok ganteng banget, sih?" Puji Andara."Kakak pasti mau ngenalin calon pacar ke aku kan? Mana? Nggak mungkin banget kakak ngajak aku ke tempat ini kalo bukan mau ngenalin calon pacar, kan?" tanya Andara penasaran. Saya terdiam, semakin bingung untuk menjelaskan. Saat saya hendak menjelaskan, tak lama kemudian seorang lelaki yang tak asing bagi saya, datang. Dia tampan, mengenakan setelan jas hitam, lengkap dengan dasi hitamnya. Dia tersenyum pada Andara. Saya bingung, kenapa dia datang ke sini? Apa Andara yang mengajaknya