Bab 71POV AuthorTerusir“Tidak. Aku tidak ngapa-ngapain. Aku hanya main sama teman-temanku. Kenapa memangnya?!” Reva masih sempat melawan Sofyan. Tampikannya itu begitu membuat Sofyan semakin murka. Tangan kekar Sofyan pun mendorong daun pintu sekuat tenaga. Sontak, Reva terjungkal. Dia berteriak nyaring dan kawan-kawannya pun syok luar biasa. “Sofyan! Apa yang kau lakukan? Sakit!” Reva yang tersuruk jatuh dengan posisi terduduk di lantai itu pun berteriak. Kelima kawan kentalnya itu langsung bangkit dari posisi masing-masing dan berdiri memojok dengan muka yang sangat khawatir. Berang betul Sofyan melihat kondisi kamar tamu rumahnya. Kamar itu penuh asap. Asap tak biasa yang membuat kepalanya tiba-tiba semakin nyut-nyutan. Aroma ini bukan aroma rokok biasa. Begitu pikir Sofyan. Bukan hanya itu saja, kamar lantai dua ini sangat berantakan. Pakaian-pakaian bekas pakai milik Reva diletakkan begitu saja di pojok dekat pintu. Bungkus makan
Bab 72POV AuthorTerlempar Jauh “Yan, aku mohon! Jangan usir aku! Aku ini kakakmu, Yan. Aku kakak kandungmu, darah dagingmu sendiri! Kenapa kamu tega mengusirku, padahal kamu tahu betul kan, kalau aku sedang dalam masalah besar. Mau pergi ke mana lagi aku, kalau kamu suruh pergi dari sini?” Reva mengemis kepada adik lelaki semata wayangnya sambil memaguti kaki Sofyan. Sofyan yang sudah naik darah dan begitu marah besar, tak bisa lagi berkata apa pun saking geramnya. Napasnya memburu naik turun, seirama dengan degupan jantung yang begitu kencang berdetak. Tekad Sofyan sudah sangat bulat. Tak ada toleransi lagi, begitu pikirnya. Kelakuan Reva sungguh sangat keterlaluan. Bahkan, gara-gara kelakuan Reva, istrinya kini terbaring lemah di rumah sakit. “Yan, tolong jawab aku! Kamu tidak jadi mengusirku, kan? Tolong aku, Yan! Maafkan kesalahan kakakmu ini. Aku begini karena pikiranku sedang buntu. Aku butuh refreshing sejenak. Aku minta maaf, Yan. Aku janj
Bab 73POV AuthorMemungut Kembali Serpihan Kasih “Syifa, maaf Papa tadi agak lama, Nak.” Sofyan berkata kepada anak sambungnya setelah dia selesai mengusir Reva dari kediaman mereka. Napas Sofyan yang agak terengah-engah dan bulir-bulir keringat yang mulai membasahi pelipisnya, menunjukkan bahwa pria berwajah tampan itu cukup dibuat kelelahan oleh masalah besar tadi. Akan tetapi, setelah melihat wajah manis Syifa, semua lelah yang mendera kini terasa lepas perlahan dari pundak Sofyan. Apalagi saat Syifa mengulaskan senyuman polosnya. Hati Sofyan luluh. Dia benar-benar lega sebab tak lagi menonton tangis sendu dari wajah cantik milik anak kandung dari istrinya itu. “Nggak apa-apa, Pa.” Syifa yang sedari tadi menunggu di atas ranjangnya, buru-buru melompat ke lantai. Kakinya berlari ke arah Sofyan yang baru saja masuk ke kamar gadis kecil tersebut. Di tengah-tengah ruangan, Syifa pun memeluk tubuh papanya. Tak ada ragu, malu, ataupun cang
Bab 74POV AuthorKekecewaan Syifa “Halo, Bu.” Suara Sofyan terdengar takut-takut. Dia memang seorang pria dewasa yang tak lagi muda. Akan tetapi, rasa segan terhadap sang ibu memang tak pernah berubah dari diri Sofyan. Masih sama seperti di saat dia masih kecil dulu. “Assalamualaikum, Yan.” Lembut. Itulah kesan yang timbul ketika Sofyan mendengar suara sang ibu. Namun, tak juga serta merta membuat Sofyan tenang begitu saja. Dia tetap yakin bahwa ibunya pasti akan menumpahkan petuah-petuah yang berkaitan dengan pengusiran atas sang kakak. “Waalaikumsalam, Bu. Apa kabarnya, Bu? Maaf, hari ini Sofyan belum sempat menelepon Ibu. Mila jatuh sakit, Bu. Sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kondisi kesehatannya tiba-tiba drop. Janinnya juga sempat ikutan lemah.” Sofyan berusaha menjelaskan permasalahan yang dihadapi oleh sang istri maupun jabang bayi dalam kandungan. Semua dilakukan Sofyan demi merebut simpati dari sang ibunda. “Innalillahi!
Bab 75Penuh Tanya Hatiku Betapa sedihnya aku ketika melihat Syifa tertidur di atas sofa panjang yang berada tak jauh dari pintu masuk ruang VIP. Di sebelah Syifa juga tertidur pulas sosok Bi Dilah. Untung saja kursi sofa berwarna hitam itu memiliki space yang cukup luas. Sehingga muat ditiduri dua orang, bahkan dua orang dewasa sekali pun. Sedangkan Mas Sofyan, lelaki itu masih duduk mendampingi di kursi yang dia taruh di tepi ranjang tempat tidurku. Pria itu tampak lelah. Meski lelah, tangannya tetap fokus menatap ponsel dengan jemarinya yang sedari tadi sibuk mengetik-ngetik sesuatu. “Mas, kamu nggak tidur?” tanyaku. Sebenarnya, aku sudah terlelap cukup nyenyak. Namun, tiba-tiba saja aku terbangun lagi dan melihat bahwa suamiku masih terjaga di tengah malam yang telah sangat larut. Jam di dinding telah menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh lima menit dini hari. Seharusnya Mas Sofyan beristirahat, bukan malahan bermain ponsel dengan matanya yang telah berka
Bab 76Antara Suka dan Duka “Aku … pengennya setelah pulang ini di rumah udah nggak ada pertengkaran lagi, Mas. Aku pengen tenang. Aku pengen sehat-sehat dan nggak stres lagi menghadapi Mbak Reva,” kataku lugas. Mas Sofyan masih terdiam. Dia lalu menatap nanar sambil menundukkan kepalanya. Tak lama, terdengar suara embusan napas yang begitu berat dari hidung mancungnya. “Mila, aku sudah mengusir Mbak Reva pas pulang ke rumah tadi.” Jawaban tak terduga dari bibir merah milik Mas Sofyan tentu membuatku terhenyak. Aku setengah percaya menanggapinya. Apa Mas Sofyan hanya bercanda? Mana mungkin dia mengusir perempuan sok kuasa itu dari rumah kami. Sedangkan, selama ini Mas Sofyan kerap berpihak kepadanya, terlepas dari apa pun masalah yang Mbak Reva perbuat. “Kamu serius, Mas?” Tercengang diriku kini. Setengah membelalak mataku melihat Mas Sofyan. “Iya. Mana mungkin aku bohong ke kamu untuk masalah seperti ini, Mil. Mb
Bab 77Ikhlas Yang Selalu “Jadi … kamu kasih uang ke Mbak Reva itu ambil dari tabungan, Mas?” tanyaku sambil menatapnya setengah tak percaya. Ditahan pun percuma saja. Pertanyaan itu akan tetap membelenggu kepala. Kapan-kapan juga pasti tercetus di mulut. Makanya segera kuutarakan, meskipun akhirnya tanggapan Mas Sofyan juga pasti akan memberikan pembelaan demi pembelaan untuk dirinya sendiri. “Iya, Mil. Mau bagaimana lagi? Aku tidak pegang uang lain selain tabungan itu, Mila. Kan, kamu juga punya uang tabungan sendiri dari royalti menulismu. Makanya aku akhirnya memberikan uang itu saat Mbak Reva meminta. Mau kutolak, waktu itu aku tidak enak sama Ibu, Mil.” Nah, kan. Betul dugaanku, bukan? Mas Sofyan membela dirinya. Aku jadi berkecil hati lagi sebenarnya. Mentang-mentang aku punya uang sendiri, apa Mas Sofyan bisa seenaknya mengeluarkan uang tabungannya untuk kebutuhan Mbak Reva, meski saat itu suamiku tak akan tahu jika ternyata kaka
Bab 78Lagi-lagi Faisal Pembahasan itu akhirnya kami tinggalkan. Aku kembali terlelap nyenyak, begitu pun dengan suamiku. Pukul lima pagi Mas Sofyan membangunkanku untuk salat Subuh. Ternyata, Bi Dilah dan Syifa sudah bangun duluan. Mereka berdua kata suamiku kini tengah salat di mushala bawah. Mas Sofyan membantuku untuk bertayamum. Lelaki itu juga yang memasangkan mukena buatku. Dia membiarkanku salat dengan posisi duduk. Alhamdulillah, tubuhku sudah lumayan segar. Tidak pusing lagi. Aku juga sudah sanggup duduk dengan durasi yang lumayan lama. Ini benar-benar keajaiban, pikirku. Mungkin Allah sudah mulai mengangkat segala penyakitku, agar aku bisa kembali giat beribadah maupun bekerja. Sementara aku berzikir selepas salat di atas kasurku, kutengok sekilas Mas Sofyan kini tengah asyik menghadap layar laptop yang sedang dia pangku. Matanya sangat serius menatap layar itu. Kupilih untuk membiarkan suamiku konsentrasi dengan tugasnya, sedang aku mela
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti