Jun menatap Shima dengan linglung. Seolah baru saja mendengar satu hal paling mustahil yang bisa diucapkan wanita itu padanya.“Kau ... yakin?”“Aku yang meminta duluan, berarti aku siap dengan segala risikonya. Ayo, cepat. Waktu kita terus berkurang.”Agar tidak membuang waktu, buru-buru Jun menggendong Shima yang menurutnya sangat tidak biasa. Bahkan, dia langsung mencurigai kakak iparnya yang bukan cuma hanya menginginkan seks semata darinya, tapi sesuatu yang lain.Dia akan cari tahu itu, nanti. Setelah mereka selesai menikmati tubuh satu sama lain.***Terpicu oleh banyak faktor, salah satunya yang terkuat adalah stres akibat tekanan psikis yang tinggi, kelahiran bayi prematur tidak terelakkan lagi.Bahkan tanpa sepengetahuan Dido Joil, Eve kerap beraktivitas berat untuk mengisi hari-harinya yang membosankan selama hamil.Bayi perempuan.“Maukah kau memberinya nama?”Dido menatap bayi merah yang teramat mungil itu ditempelkan di dada istrinya. Entah darah dagingnya atau bukan, me
Selagi menunggu Kun memarkirkan mobil, Jun berbisik lembut di telinga Shima. “Sebentar lagi kau juga akan jadi ibu.”Hampir saja melotot marah, Shima menahan diri agar tidak terprovokasi. “Aku minum pil segera setelah selesai bercinta denganmu, Jun.”Tersenyum menang, Jun membalas Shima sambil mengamati kakaknya yang sudah berjalan ke arah mereka. “Itu artinya, kau pun tidak akan bisa mengandung bayi benih dari Kun, karena kau melakukannya nyaris bersamaan setelah bercinta denganku.”Itu benar. Jika dia mencegah dirinya hamil karena Jun, maka itu pasti terjadi untuk Kun.Apa pun yang diungkapkan Jun benar. Itu lah kenapa Shima diam tanpa menjawab. Lagipula, Kun sudah dekat.“Ayo.” Ajakan Kun jelas canggung tidak menentu. Merasa terselamatkan karena tadi Jun memutuskan untuk ikut secara sukarela, spontanitas.Sebelum kecanggungan lain menyergap mereka dibalik pintu, Dido Joil jadi yang pertama terlihat saat pintu terbuka.“Dido?” Shima terkejut, bahkan sangat amat terkejut. “Kau sedang
Kasus kecelakaan pertama untuk Karenina. Dia menabrak seorang pria pejalan kaki dalam kondisi tidak berkonsentrasi saat mengemudi.Kun dan Shima diminta pulang lebih dulu oleh Jun, tapi tatapan Shima pada adik iparnya itu sedikit sulit diartikan. Seperti ... tidak rela? Oh, bukan. Kesal? Bukan juga. Jadi? Ah, entah lah.Sepanjang perjalanan pulang, Shima diam tanpa kata karena pikirannya diisi oleh segala interaksi Karenina dan Jun yang selama ini pernah tertangkap oleh matanya.Kun yang salah menduga, justru mengira bahwa istrinya marah pada keputusannya yang membiarkan mereka bertiga pergi untuk menjenguk Eve dan bayi Misora Zephyr.“Aku akan terus berusaha.”Shima tidak sepenuhnya dikuasai lamunannya, dia bisa menangkap maksud dari ucapan Kun.“Aku tahu.”“Tapi kau tampak kesal.”“Oh, apa terlihat begitu?” Spontan saja Shima merasa terkejut dan bingung, karena dia tidak sadar bahwa kini raut wajahnya tergambar jelas penuh kekesalan.Kun akhirnya tertawa karena ketidatahuan Shima. L
Kun dan Shima sedang saling menggoda setelah seks nikmat dua putaran mereka, ketika Jun muncul di ambang pintu.Spontan, tadinya posisi Kun yang menindih Shima di atas sofa ruang tengah, segera berhenti. Dia lupa Jun akan singgah sesekali di rumah orang tua mereka.Memalingkan wajahnya dari tatapan dingin Jun, Shima pura-pura merapikan rambut meski tetap dalam posisinya. Berbaring.“Bagaimana dengan rekan kerjamu?” Kun berdiri. Tanpa membenarkan kaus tipisnya yang morat-marit karena ulah Shima dan rambut acak-acakkannya yang lebih berkesan seksi tingkat maksimal.Jun berjalan tanpa menoleh. Lurus menatap ke arah yang dituju. “Sudah selesai.”Setelah kepergian adiknya, Kun menggaruk alis sambil tersenyum canggung ke arah Shima. “Kita tunda?”“Yap. Sampai nanti malam.” Shima tertawa. Tawa cemas sebenarnya. Dia pun sudah terbawa gairah bersama Kun, hingga lupa dengan banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi.Meski Mun dan Tiska sedang bepergian keluar kota, tidak menutup kemungkinan Jun a
“Buka pakaianmu, Shima.” Jun mendekat. Marah karena dengan kedua matanya dia melihat bagaimana Kun menindih tubuh kakak ipar yang lebih dulu dijamah olehnya. Seharusnya, sampai kapan pun, tubuh Shima hanya jadi miliknya.“Tidak.” Keberanian melawan dengan tanpa ketakutan sedikit pun, Shima tetap berdiri tanpa mundur.Karena penolakan itu, Jun berhenti di tempat terakhirnya. Matanya yang tadi penuh dengan amarah, kini teredam karena satu kata ‘tidak’ dari Shima.“Aku ingin hamil.”“Maka aku yang akan menghamilimu.”Shima menggeleng tanpa ragu. “Tidak sekali pun lagi kau boleh menyentuhku, Jun Hongli.”Tawa Jun terdengar penuh dengan ejekan. Dia berhenti, ketika menyaksikan bahwa Shima bahkan menyalakan api permusuhan yang nyata padanya.“Keluar lah. Sebelum kukatakan pada orang tuamu seperti apa sikapmu selama ini padaku.”Tidak tergambar ekspresi yang jelas di wajah Jun. Shima mencoba memaknainya sebagai bentuk tidak terima adik iparnya pada satu kali penolakan tegas, tidak main-main
Tiga puluh sembilan hari setelah pembicaraan Jun dengan Alaric Domina di sasana tinju.“Mun Kamli bukan pria sembarangan. Kau hanya tidak tahu bagaimana ayahmu mulai menyelidiki semua kegiatanmu selama ini.”“Apa?” Meski pernah berpikir bahwa sang ayah mencurigainya, dia tidak menduga akan sampai sejauh itu.“Dia hampir saja tahu, bahwa kau dalang dari peristiwa terbakarnya rumah kakakmu.”Jun menelan semua kengerian itu lewat tenggorokannya, tanpa bisa terlihat bahwa saat ini dia sedang cemas memikirkan segala risikonya. Bahkan pada Alaric Domina, dia tidak memberitahu soal yang satu ini.“Jangan pikirkan itu, fokus pada pelatihanmu saja. Kurir yang mengantarkan bukti bahwa kau dalang dari insiden terbakarnya rumah Kun, sudah kutangani. Bukti itu tidak akan pernah sampai ke tangan Mun Kamli. Justru sebaliknya, kau punya senjata untuk membungkam ayahmu.” Alaric Domina menyodorkan dokumen di dalam sebuah amplop kecokelatan.Hanya tidak ingin memperlihatkan bagaimana Jun lega atas semua
Mengubah rute sebelum semuanya jadi berantakan, Jun akhirnya sampai ke depan pintu kamar Rona Riley. Tempat di mana gadis tujuh belas tahun itu sibuk mencari ganti gaun pesta sebelumnya yang terasa tidak nyaman.Mengetuk pintu, pengawal wanita Rona segera berpaling dan melangkah mendekat. Membuka pintu, dia tidak menemukan siapa pun di sana. Karena baginya itu mencurigakan, dia keluar dari balik pintu untuk memeriksa.Jun berada di sisi dinding. Menempel di sana, lalu disadari si pengawal wanita dan dia mengatasinya. Membekap cepat mulut dan hidung lawan menggunakan saputangan yang sudah dibubuhi obat bius.Pengawal wanita itu sempat meronta dan coba melawan. Namun tanpa suara. Menurut Jun, jelas sekali si wanita bukan pengawal tidak berkeahlian. Setelah menyeretnya ke lorong sisi lain yang gelap menuju tangga darurat, dia merapikan diri dan kembali ke kamar Rona Riley.Rona sedang sibuk. Sibuk pada ekor gaunnya yang menyerupai sirip duyung. Dia tidak peduli ke mana dan ada di mana pe
Dua jam setelah para tamu undangan berlarian dari gedung, pihak berwenang sudah menetapkan bahwa bom yang berada di bawah meja bertumpuk kado hanya lah bom palsu.Jun dan Xana kini berada di gudang kosong terbengkalai sudut kota. Dulunya, sebelum bangkrut, tempat ini aktif sebagai pabrik garmen.Tidak lagi di kursi roda, Rona duduk lemas terikat di kursi kayu. Sementara Jun dan Xana duduk di masing-masing kursi mereka, tepat lima meter di depan Rona Riley.“Dia pura-pura pingsan.” Xana menunjuk tepat ke arah Rona. “Perlu alat kejut listrik?”“Mungkin tidak,” jawab Jun dengan dagu yang menunjuk ke arah Rona. Gadis itu bergerak karena terbangun saat Xana Herby membicarakan tentang ‘alat kejut listrik’ hingga berpura-pura pingsan pun percuma.“Aku tidak punya apa pun yang kalian minta.” Rona tidak meronta, tapi sepasang matanya melotot marah. Mungkin sejak tadi dia sudah berusaha menahan diri.Jun mengangkat bahu dengan sikap tidak peduli. “Memang tidak. Kau punya segalanya di dalam kepa
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil
Fla bukan menghindari Jun, tapi memang begitu cemas andaikan atasannya itu kehilangan ‘minat’ padanya. Jaga jarak adalah cara teraman agar membuat suasana yang biasanya nyaman, menjadi canggung seketika.“Bisa tolong panggilkan Manajer Fla?” Jun membutuhkan wanita itu sekarang. Meminta salah satu karyawan lain agar memanggilkan Fla untuknya.“Ada yang bisa kubantu, Pak?” Harap dan cemas disingkirkan oleh Fla. Sikap profesional kerja harus diutamakan.Jun mengangkat wajah dari tatapannya pada dokumen dihadapannya. “Tidak biasanya kau begini. Atau mungkin saja aku yang keliru. Periksa laporanmu di sini. Temukan kesalahannya.”Fla melangkah lebih dekat ke mejanya Jun. Membungkukkan setengah tubuh dan memeriksa apa yang di maksud oleh pria itu.“Pak ... maaf. Ini kesalahanku. Akan kuperbaiki.”Jun mengangguk. Membiarkan Fla menarik laporan di mejanya dan dibawa pergi.Dugaan Fla berkata bahwa Jun sepertinya akan kembali menjadi atasan yang dikenalnya sebelum pria itu mengalami kecelakaan.
Tiba di rumah, Jun pikir semua orang pergi ke mana sepagi itu, rupanya Cosi ada di dapur sendirian.“Di mana ibu?”“Bersepeda keliling perumahan bersama El dan Kun.” Cosi tidak mengalihkan perhatiannya dari adonan untuk membuat pancake.Jun bersiap meninggalkan dapur, tapi ucapan Cosi menunda langkahnya.“Kemari dan ciumlah aku, Jun.” Cosi melepaskan fokus dari apa yang tadi dikerjakannya, berbalik tubuh kemudian bersandar dekat wastafel untuk menunggu.Jun menghampiri dalam sekejap. Cosi dengan cepat meraih wajah suami pemuasnya itu lebih dulu.“Oh, Jun. Aku merindukan bibir ini.” Segenap perasaan Cosi mencumbu dan menghisap.Awalnya Jun pasif, tapi ketika Cosi mulai meraba tubuhnya, dia terbawa hasrat menggebu yang sama besar. Setara, seimbang.“Bercintalah denganku, Jun.” Cosi berjinjit cuma untuk meminta hal itu selagi memberi bekas di leher sang suami pemuas.“Mereka akan kembali sebentar lagi.” Bukan alasan. Memang itu kenyataannya. Sekarang hampir jam delapan, Kun tidak mungkin
Itu ... benar.Jun tidak dapat mengendalikan dirinya saat tengah menghadapi tubuh Sid. Terlalu bebas dan menyenangkan.“Kau—maaf, Sidney aku ....”“Lanjutkan, Pak. Jangan berhenti karena Anda telah mengetahui bahwa aku masih perawan.”Jun menggeleng muram. “Aku telah merampasnya darimu. Harusnya kutanyakan—”“Jangan, Pak Jun. Jangan salahkan diri Anda. Aku yang menginginkan Anda. Aku ingin tidur dengan Anda. Siapa yang salah? Tidak ada. Kemarilah, Pak. Kumohon jangan berhenti. Satukan diri kita lagi. Seperti tadi.” Sid mengulurkan tangan, sebab Jun menjauh darinya. Jantungnya berdebar karena tidak ingin berpisah.Jun masih tertegun. Bajingan! Dia telah mengambil keperawanan Sid dengan santainya.“Pak Jun. Sayangku,” lirih Sid dengan keberanian yang diusahakannya sepenuh hati. Dia menyukai, bahkan sangat mencinta pria yang tengah berada di atas tubuhnya itu. Ungkapan cinta pertamanya lewat sebutan, panggilan.Jun mendekat. Tidak tega karena dipanggil dengan begitu putus asanya oleh Sid