Beberapa jam sebelumnya, Jun dan Kun berpisah setelah Jun mengaku butuh tidur panjang untuk hari ini.Jun memeriksa tiap kamar yang ada di lantai bawah dan menemukan Shima di kamar dekat dapur.“Kak, Shima di kamar itu.” Jun memberitahu, ketika Kun justru membuka pintu kamar adiknya.Entah Shima sengaja tidak mengunci pintunya atau memang lupa, Jun pikir, sebaiknya dia tidak berbuat nekat karena Kun ada bersama mereka di sini.Situasi yang tidak tepat pun mempengaruhi suasana.Tapi, siapa yang menyangka bahwa Shima masuk ke kamarnya ketika pagi datang, sebelum matahari muncul? Jun adalah orang yang paling tidak menyangka hal itu bisa terjadi.Membiarkan Shima terisak, Jun tidak bergerak sama sekali. Sampai tangis kakak iparnya semakin kencang dan tidak terkendali, baru lah dia memutuskan untuk berbalik perlahan dengan memegangi kedua lengan Shima yang sedari tadi memeluknya dari belakang.Seperti sengaja membangunkan Jun lewat tangisnya, kini Shima nyaris hampir berhenti menangis. Sua
Pagi panas mereka berakhir, ketika ponsel Jun berdering. Panggilan dari Mun Kamli.Diam-diam Shima permisi. Dia tidak ingin semakin berdosa dengan membiarkan Jun menjawab telepon ayahnya, sementara dia ada di sana bersama putra kedua Mun Kamli.“Ya, Ayah?” Jun tidak mencegah Shima yang meninggalkannya. Telepon ayahnya jauh lebih penting, karena sangat tidak biasa mendapat panggilan dari ayahnya, apa lagi di pagi hari begini.“Tidak ada yang berniat memberitahu apa yang terjadi?” Mun Kamli bertanya dengan nada yang penuh penekanan. Jun tidak memberitahu, apalagi Kun. Dia menduga bahwa kedua putranya sama saja. Selalu bersikap seolah mampu menyelesaikan semua masalah, tanpa bantuan darinya.Benar memang. Itu bukan tindakan yang salah, tapi tetap saja, ada hal-hal di luar dari itu yang wajib diketahui oleh kedua orang tua, selagi mereka masih hidup di dunia yang sama dengan para anak.“Maaf, Ayah. Aku menghargai kakak. Karena dia memilih untuk diam, aku mengikuti caranya.”“Lalu, di mana
Percuma rasanya, jika Kun mengingkari hatinya. Meski sudah beberapa waktu belakangan dia berusaha untuk memperbaiki segalanya dengan Shima dan mendatangkan keseriusan layaknya pasangan suami istri dalam hubungan mereka.“Apa aku salah?” Bahu Eve naik turun karena tangisnya. Bukan sengaja, tapi Kun biasanya tidak akan tega melihatnya menderita seperti ini.Benar. Kun yang tidak akan sampai hati pada Eve, tapi tega terhadap Shima itu, kini memeluk sang mantan kekasih dengan begitu erat. Melupakan sejenak komitmen yang telah dia rencanakan terhadap hubungannya dengan Shima.***Sesuai perkataan Jun pada Mun, dia mengantarkan menantu sang ayah ke rumah kedua orang tuanya itu.Malah bukan ibunya Jun—Tiska Ademia—yang menyambut kedatangan mereka, melainkan Mun Kamli yang penasaran.“Kamu baik-baik saja, Nak?” Dengan perhatian yang tersembunyi lewat rautnya yang hampir tanpa ekspresi itu, Mun bertanya saat Shima sudah melangkahkan kaki ke dalam rumah.“Baik, Ayah. Sudah lebih baik.” Senyum S
“Tidak. Bukan begitu,” sanggah Kun serba salah. Harusnya, dia langsung mengiyakan permintaan istrinya.“Jadi, penuhi lah permintaanku, Kun. Jangan lagi menemuinya. Aku mohon,” pinta Shima dengan air mata berlinang. “Aku bersedia memberikan apa pun untukmu, tapi jangan temui dia lagi, demi hubungan suami istri sungguhan yang ingin kau ciptakan di antara kita.”Sungguh benar. Itu lah yang Kun inginkan. Meninggalkan masa lalu yang tidak mungkin bisa berada di masa depannya, lalu mempertahankan yang ada saat ini, agar terus bertahan selamanya.Lalu, bagaimana dengan Eve? Wanita itu, dipertemuan terakhir mereka kemarin, mengaku bahwa dia merasa kesepian dan sendirian. Dido Joil hanya berperan sebagai pria yang bertanggungjawab semata, tanpa berniat membangun bahagia bersamanya.Kun tahu bahwa keinginan terbesar Eve adalah membangun sebuah keluarga kecil bersama, karena wanita itu tidak pernah memiliki keluarga sejak dilahirkan ke dunia.“Akan kucoba.” Kun mengecup kening Shima. Memberinya
Spontan Jun berdecak. Antara muak dan kesal yang berlipat ganda. Menatap Karenina yang bersedekap di depannya. “Kau sengaja?”Tentu tidak terima dengan tuduhan yang baginya lebih pantas disebut sebagai hinaan itu, Karenina menjawab sinis. “Hei, Jun. Kuberitahu, aku sudah tidak menginginkanmu lagi, sejak terakhir kali aku meninggalkan kamarmu waktu itu.”Jun mengepalkan kedua tangan di bawah meja. Pesonanya tidak mudah luntur. Dia yakin akan hal itu dengan pasti. Karenina hanya berpura-pura, karena waktu itu dia cuma membelai, menaikkan hasrat, tanpa berniat memberi lebih. Hal yang barusan itu, wujud kekesalan dan rasa malu Karenina yang tidak terbendung lagi.Mereka sudah menjadi rekan kerja untuk beberapa waktu dan berbagi ranjang setelahnya. Sudah pasti sangat kenal luar dalam.“Duduk,” perintah Jun.Mereka harus menyelesaikan ini, sebelum Mun Kamli mendapat aduan dari Rory Pawala melalui Karenina. Dia sama sekali tidak bisa menebak jalan pikiran wanita yang malam ini begitu cantik
Mun tidak melihat baik itu putra bungsunya atau menantunya, sesuai dengan apa yang dikatakan Alaric Domina padanya.Jun dan Shima bersikap sangat biasa dan wajar. Layaknya kakak dan adik ipar.Tapi, Mun percaya, bahwa keduanya tengah menjaga sikap dihadapannya.“Sudah larut, Sayang. Waktunya tidur.” Istrinya, Tiska Ademia, masuk ke ruang kerja sambil membawakan teh chamomile.“Ya, aku akan tidur setelah merapikan ini.” Mun menyusun setiap lembaran yang berantakan menjadi satu.Tiska tidak langsung pergi. Pinggulnya yang ramping, bersandar ditepi meja kerja suaminya.“Kudengar, kau menjodohkan Jun dengan keponakan temanmu?”Pasti Tiska mendengarnya dari Jun. Jadi Mun mengangguk. “Keponakannya Rory Pawala.”“Kenapa tidak memberitahuku?” Bukan protes, nada Tiska seperti kecewa.Mun menutup map pertama yang disingkirkannya ke tepi. “Karena aku tahu bahwa pertemuan antara Jun dan keponakan Rory tidak akan berjalan lancar. Aku hanya menyempurnakan ajakan Rory yang sudah lama kuabaikan.”Tid
“Eve? Sudah selesai?”Jelas saja ini mirip dan persis sama dengan adegan di film-film. Ketika kebenaran akan dikuak, orang lain atau siapa pun pengganggu datang di saat yang benar-benar tepat.Tapi, sungguh, di kehidupan nyata pun, bisa juga terjadi hal yang seperti itu.Tiska dan Eve sama-sama menoleh ke arah datangnya gangguan. Dido Joil.“Sudah.” Kecanggungan spontan menyerang. Eve lantas segera dibantu Dido yang sebenarnya, secara kebetulan datang menjemput. Dia memegang istrinya dan bicara sopan santun basa-basi pada Tiska.Eve akan tutup mulut jika sudah seperti ini. Malah dengan alasan yang tak pernah ada, dia ingin pergi segera dari sana setelah Dido mengambil beberapa perlengkapan bayi di toko samping.Dan sekarang, Tiska sudah selesai dengan ingatannya pagi tadi. Menatap suaminya yang juga menatapnya.“Menurutmu, apa ada yang disembunyikan oleh Eve?”Merangkul istrinya, Mun menggeleng yang mengartikan dia tak mau tahu. “Selama itu tidak ada kaitannya dengan Kun, artinya kita
Kun jadi memikirkan banyak kemungkinan dari cerita ibunya. Bahkan, saat dengan ragu-ragu Tiska bertanya, ‘Apakah benar kamu tidak pernah tidur dengan Eve, Nak?’ Membuatnya jadi ikut berpikir keras, kapan terakhir kali dia pernah berciuman dengan sang mantan kekasih dan berhasil meraba-raba sampai di luar batas?Ah, logikanya tidak begitu.Elia Eve tidak akan mungkin membiarkan dirinya menderita, ketika mereka tahu bahwa saling cinta yang keduanya rasakan, pastinya butuh tempat akhir yang biasa disebut pernikahan. Walau pernikahan bukan lah akhir dari perjalanan cinta mereka, tapi setidaknya, itu lah yang akan mereka jalani bersama.Bahkan Kun tidak diberitahu apa pun oleh Eve perihal Dido Joil yang meragukan bayi yang ada di dalam kandungannya. Padahal, jarak antara Tiska dan Kun bertemu dengan Eve hanya selang dari dua hari.Kenapa Eve berusaha memberitahu pada Tiska? Bukan pada Kun?Mengambil alih tugas lapangan milik salah satu rekannya, Kun menggunakan alasan itu untuk pergi kelua
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil
Fla bukan menghindari Jun, tapi memang begitu cemas andaikan atasannya itu kehilangan ‘minat’ padanya. Jaga jarak adalah cara teraman agar membuat suasana yang biasanya nyaman, menjadi canggung seketika.“Bisa tolong panggilkan Manajer Fla?” Jun membutuhkan wanita itu sekarang. Meminta salah satu karyawan lain agar memanggilkan Fla untuknya.“Ada yang bisa kubantu, Pak?” Harap dan cemas disingkirkan oleh Fla. Sikap profesional kerja harus diutamakan.Jun mengangkat wajah dari tatapannya pada dokumen dihadapannya. “Tidak biasanya kau begini. Atau mungkin saja aku yang keliru. Periksa laporanmu di sini. Temukan kesalahannya.”Fla melangkah lebih dekat ke mejanya Jun. Membungkukkan setengah tubuh dan memeriksa apa yang di maksud oleh pria itu.“Pak ... maaf. Ini kesalahanku. Akan kuperbaiki.”Jun mengangguk. Membiarkan Fla menarik laporan di mejanya dan dibawa pergi.Dugaan Fla berkata bahwa Jun sepertinya akan kembali menjadi atasan yang dikenalnya sebelum pria itu mengalami kecelakaan.
Tiba di rumah, Jun pikir semua orang pergi ke mana sepagi itu, rupanya Cosi ada di dapur sendirian.“Di mana ibu?”“Bersepeda keliling perumahan bersama El dan Kun.” Cosi tidak mengalihkan perhatiannya dari adonan untuk membuat pancake.Jun bersiap meninggalkan dapur, tapi ucapan Cosi menunda langkahnya.“Kemari dan ciumlah aku, Jun.” Cosi melepaskan fokus dari apa yang tadi dikerjakannya, berbalik tubuh kemudian bersandar dekat wastafel untuk menunggu.Jun menghampiri dalam sekejap. Cosi dengan cepat meraih wajah suami pemuasnya itu lebih dulu.“Oh, Jun. Aku merindukan bibir ini.” Segenap perasaan Cosi mencumbu dan menghisap.Awalnya Jun pasif, tapi ketika Cosi mulai meraba tubuhnya, dia terbawa hasrat menggebu yang sama besar. Setara, seimbang.“Bercintalah denganku, Jun.” Cosi berjinjit cuma untuk meminta hal itu selagi memberi bekas di leher sang suami pemuas.“Mereka akan kembali sebentar lagi.” Bukan alasan. Memang itu kenyataannya. Sekarang hampir jam delapan, Kun tidak mungkin
Itu ... benar.Jun tidak dapat mengendalikan dirinya saat tengah menghadapi tubuh Sid. Terlalu bebas dan menyenangkan.“Kau—maaf, Sidney aku ....”“Lanjutkan, Pak. Jangan berhenti karena Anda telah mengetahui bahwa aku masih perawan.”Jun menggeleng muram. “Aku telah merampasnya darimu. Harusnya kutanyakan—”“Jangan, Pak Jun. Jangan salahkan diri Anda. Aku yang menginginkan Anda. Aku ingin tidur dengan Anda. Siapa yang salah? Tidak ada. Kemarilah, Pak. Kumohon jangan berhenti. Satukan diri kita lagi. Seperti tadi.” Sid mengulurkan tangan, sebab Jun menjauh darinya. Jantungnya berdebar karena tidak ingin berpisah.Jun masih tertegun. Bajingan! Dia telah mengambil keperawanan Sid dengan santainya.“Pak Jun. Sayangku,” lirih Sid dengan keberanian yang diusahakannya sepenuh hati. Dia menyukai, bahkan sangat mencinta pria yang tengah berada di atas tubuhnya itu. Ungkapan cinta pertamanya lewat sebutan, panggilan.Jun mendekat. Tidak tega karena dipanggil dengan begitu putus asanya oleh Sid