Canggung dan tidak nyaman.Selalu itu saja yang dirasakannya setiap kali bersama Jun, kecuali ketika mereka tengah bercinta. Eits! Lupakan, Shima. Lupakan!“Ayo, Sayang.” Jun membawa pergi Shima bersamanya untuk naik ke bus. Meninggalkan para bajingan mata keranjang yang melihat Shima dengan tatapan kurang ajar. Bahkan mata kotor mereka tetap mengikuti, meski Shima sudah dirangkul begitu mesra olehnya.Sebenarnya, mobil Jun sedang tidak dalam masalah apa pun. Dia cuma tidak mau menyetir dan fokus pada jalanan selama hampir tiga jam. Membuang percuma waktu selama itu tanpa menatap kakak iparnya. Dia sungguh tidak mau itu terjadi.Shima melepaskan diri dari Jun, tanpa perlu menepis tangan adik iparnya itu. Dia bergerak beda arah, hingga rangkulan Jun di pinggangnya terlepas dengan sendirinya.“Shima, sebelah sini.” Jun menunjuk dua bangku kosong dideretan dua sebelum akhir.“Oh, oke.” Shima mengangguk. Pura-pura bodoh. Dia tidak peduli andai Jun bisa menebak gerakan menghindarnya. Yang
Kamar hotel tempat acara pernikahan sepupu jauh Jun, terisi penuh. Jun sedang bicara dengan resepsionis, sementara Shima duduk menunggu di lobi.Sekitar tiga menit kemudian, seorang pria bertubuh atletis dengan kacamata hitam melintasi lobi, lalu berhenti saat melihat Shima. Dia menurunkan kacamatanya sedikit, untuk memastikan penglihatannya.“Shima Naomi?”Namanya dipanggil, spontan dia menoleh. Melihat seorang pria berambut nyaris gondrong itu berjalan mendekatinya.Oh! Semakin dekat, semakin dia tahu siapa pria itu. Apalagi saat pria itu tersenyum lebar ke arahnya.“Dido Joil?” Shima terpekik gembira. Pria itu mendekat dan mereka saling berpelukan tanpa canggung.Jun menoleh saat suara melengking Shima terdengar. Seketika rautnya menjadi tidak senang, begitu melihat Shima dan seorang pria tengah berpelukan.“Tidak ada ....” Resepsionis menggantung ucapannya, ketika Jun meninggalkan meja begitu saja. Tidak pamit, apalagi mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan.Ju
“Sedang apa, Shima? Menikmati keperkasaanku?” Jun terbangun. Ah, tidak. Sebenarnya, dia sudah terbangun sejak tadi. Ketika aroma sabun mandi menyebar cepat dalam ruangan.Dia hanya memejamkan mata dalam keadaan setengah sadar.“Ti-tidak. Aku—hei, Jun! Lepaskan!” Shima meronta ketika Jun dengan kurang ajar, memeluk erat tubuhnya yang cuma berbalut jubah mandi.“Semakin kau bergerak dan meronta, bagian milikmu dan milikku semakin tidak bisa menghindar dari gesekan.”Spontan Shima berhenti meronta. Memang benar. Sesuatu yang merangsang sedang berusaha semakin keras menaikkan level kenikmatannya dari masing-masing bagian.Bukan cuma milik Jun, kepunyaan Shima pun ikut berkedut nyeri.Wah, gawat.Shima sudah kehilangan keperawanannya karena Jun. Hampir menjadikan tubuh pria itu sebagai candu, tapi sekuat tenaga ditahannya selama ini dengan berpura-pura membenci. Ah, bukan. Lebih tepatnya, menghindar.Memangnya bisa?Tidak!Jun sudah lebih dulu mendaratkan ciuman ke leher Shima. Dia tahu ba
Kun terengah-engah. Dia mengejar Eve yang berlari ke arah gedung seberang dalam kondisi hamil muda.Padahal, tadi dia baru saja selesai dari perjalanan bisnis keluar kota. Berniat pulang untuk istirahat, tapi malah menuruti keinginan Eve yang berharap bisa bertemu dengannya sore itu juga.Tapi wanita itu malah berlarian keluar dari tempat janji temu, sambil menangis. Kun mengejar. Kewalahan, karena jalanan yang padat dan kondisinya yang sedikit kelelahan.Dia bingung pada dirinya sendiri yang selalu kalah dari Eve.Di gedung seberang, di sebuah penginapan baru buka yang mirip rumah susun.Eve dengan ponsel yang masih menempel di telinganya kembali terisak. Kakinya sudah refleks membawanya ke sini. Ke tempat pria yang menanam benih ke rahimnya.“Jangan batalkan pernikahanmu. Kembali ke sana. Kumohon,” isak Eve. Dia rela setengah tidak saat mengatakannya.“Jangan gila. Aku sudah sampai melarikan diri dari tempat di mana seharusnya aku berada sekarang. Dan kau minta aku kembali?” Suara ny
Pesta pernikahan Marlyn Jue dan Dido Joil tidak dibatalkan. Berawal, bahkan berakhir tanpa mereka berdua, si mempelai pria dan wanita.Sedikit aneh memang, tapi tuan rumah, pihak keluarga Marlyn Jue pintar mengubah suasana bingung itu menjadi sebuah acara yang berakhir dengan cukup baik.Berisi banyak hiburan dan makanan penutup yang mewah. Pengalihan yang bagus.“Jika ingin menginap di kamar lain, pergi lah.” Shima bicara kaku di depan Jun, ketika mereka baru kembali dari pesta.Mata Jun sesekali melirik ke lorong, itu lah alasan kenapa Shima berucap seperti barusan.“Kau yakin?” Jun bersandar di kusen pintu, menahan lengan Shima yang sedang bersiap masuk.“Ya. Kenapa tidak?” Gelagatnya sungguh canggung. Shima pun menyadari hal itu pada dirinya sendiri.“Mungkin kau butuh aku sebagai selimut malammu.” Jun mengembangkan senyum, sekejap.“Bukan aku, tapi dia.”Wow, terdengar ada sedikit, secuil nada yang cemburu.Benarkah?“Dia? Dia siapa?” Jun menggoda. Senang sekali melihat ekspresi t
Mau merasa malu pun, percuma. Semalam mereka bercinta.Tidak kenal puas, apalagi lelah.Merasakan bahwa kakinya terbelit di antara kaki Jun pagi ini, membuat Shima merinding, ketika dia membuka mata dan melihat dua pasang kaki telanjang berada di luar selimut.Jijik?Bukan.Dia justru ingin melakukannya lagi.Dasar gila!“Morning seks?” bisik Jun, kecupan tidak luput diberikan sekilas di leher Shima. Pria itu terbangun lima detik setelah Shima membuka mata.Malu-malu tapi mau? Itu dia!Jun sadar sebelum Shima memberi isyarat apa pun. Benar memang, Jun selalu tahu apa yang dia inginkan. Harus diakui bahwa itu benar.“Hmm.” Tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Shima selalu bersikap seolah dia enggan memulai, tapi pasti menguasai permainan saat sudah berada ditengah jalan.Jun menarik selimut. Masuk ke dalam sambil menggelitik setiap ketelanjangan Shima. Dia bersembunyi sejenak dibalik sana, sementara Shima menahan debar jantung di luar selimut.Apa yang Jun lakukan di dalam sana? Pr
Mereka pulang. Sikap Shima jauh lebih bersahabat, daripada saat mereka pergi.“Donat kacang.” Jun menyodorkan sekotak kecil donat topping cokelat ke hadapan Shima, ketika mereka tiba di stasiun.“Dari mana kau tahu aku suka donat kacang?” Shima langsung menerima kotaknya, mengambil satu donat kacang berukuran mini, lalu mengunyahnya dengan cepat.“Karena aku suka.” Jun tersenyum. Padahal tidak. Dia tahu kesukaan Shima jelas dari Alaric Domina.Shima tidak memperpanjang hal itu. Menganggap bahwa Jun memiliki kesukaan yang sama dengannya. Donat kacang.Mudah bagi Jun untuk tahu segala hal tentang Shima melalui Alaric, tanpa membuat pria itu curiga sama sekali padanya.“Nah. Bagi dua.” Shima memeriksa bahwa donat mungil mereka bersisa dua. Dibagi sama. Niatnya begitu.Agar terlihat adil dan meyakinkan, Jun mengambil satu. Sekali masuk, seketika lenyap.Shima baru akan bertanya di mana Jun membeli donat kacangnya, ketika ponsel pria itu berdering sekaligus bergetar.Tidak menjauh, tetap b
“Hei, jangan begitu.” Jun menyikut Shima yang beraut datar. Tersenyum sambil menaik-turunkan alisnya. “Cemburu, ya?”“Dalam mimpimu.” Shima menampar punggung Jun dengan telapak tangan kanannya. Cukup keras, hingga pria itu terkejut dan mengaduh.“Demi apa, kekuatanmu saat marah mengerikan!” Pura-pura kesal, Jun mencubit pipi kanan Shima.“Henti—”“Jun Hongli!” Xana Herby muncul, dia terburu-buru menghampiri mereka berdua.Raut wajah Jun berubah seketika. Campur aduk yang menandakan tidak senang, tapi tidak juga benci.“Katanya ibumu menunggu. Ini ibumu?” ejek Xana. Kecemburuan langsung berubah menjadi sindiran. Shima jelas bukan ibunya Jun, dia tahu itu. Cuma provokasi agar mereka saling serang.Shima membuang muka. Tidak sudi melihat ke arah Xana, apalagi Jun.“Ada apa?” Jun tegang. Bukan karena berpikir ada kemungkinan keduanya saling serang, tapi bisa saja dia yang salah memihak.Keduanya bukan sekedar cantik, tapi luar biasa. Pada Shima Naomi, Jun merasakan hasrat tak kenal puas,
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil
Fla bukan menghindari Jun, tapi memang begitu cemas andaikan atasannya itu kehilangan ‘minat’ padanya. Jaga jarak adalah cara teraman agar membuat suasana yang biasanya nyaman, menjadi canggung seketika.“Bisa tolong panggilkan Manajer Fla?” Jun membutuhkan wanita itu sekarang. Meminta salah satu karyawan lain agar memanggilkan Fla untuknya.“Ada yang bisa kubantu, Pak?” Harap dan cemas disingkirkan oleh Fla. Sikap profesional kerja harus diutamakan.Jun mengangkat wajah dari tatapannya pada dokumen dihadapannya. “Tidak biasanya kau begini. Atau mungkin saja aku yang keliru. Periksa laporanmu di sini. Temukan kesalahannya.”Fla melangkah lebih dekat ke mejanya Jun. Membungkukkan setengah tubuh dan memeriksa apa yang di maksud oleh pria itu.“Pak ... maaf. Ini kesalahanku. Akan kuperbaiki.”Jun mengangguk. Membiarkan Fla menarik laporan di mejanya dan dibawa pergi.Dugaan Fla berkata bahwa Jun sepertinya akan kembali menjadi atasan yang dikenalnya sebelum pria itu mengalami kecelakaan.
Tiba di rumah, Jun pikir semua orang pergi ke mana sepagi itu, rupanya Cosi ada di dapur sendirian.“Di mana ibu?”“Bersepeda keliling perumahan bersama El dan Kun.” Cosi tidak mengalihkan perhatiannya dari adonan untuk membuat pancake.Jun bersiap meninggalkan dapur, tapi ucapan Cosi menunda langkahnya.“Kemari dan ciumlah aku, Jun.” Cosi melepaskan fokus dari apa yang tadi dikerjakannya, berbalik tubuh kemudian bersandar dekat wastafel untuk menunggu.Jun menghampiri dalam sekejap. Cosi dengan cepat meraih wajah suami pemuasnya itu lebih dulu.“Oh, Jun. Aku merindukan bibir ini.” Segenap perasaan Cosi mencumbu dan menghisap.Awalnya Jun pasif, tapi ketika Cosi mulai meraba tubuhnya, dia terbawa hasrat menggebu yang sama besar. Setara, seimbang.“Bercintalah denganku, Jun.” Cosi berjinjit cuma untuk meminta hal itu selagi memberi bekas di leher sang suami pemuas.“Mereka akan kembali sebentar lagi.” Bukan alasan. Memang itu kenyataannya. Sekarang hampir jam delapan, Kun tidak mungkin
Itu ... benar.Jun tidak dapat mengendalikan dirinya saat tengah menghadapi tubuh Sid. Terlalu bebas dan menyenangkan.“Kau—maaf, Sidney aku ....”“Lanjutkan, Pak. Jangan berhenti karena Anda telah mengetahui bahwa aku masih perawan.”Jun menggeleng muram. “Aku telah merampasnya darimu. Harusnya kutanyakan—”“Jangan, Pak Jun. Jangan salahkan diri Anda. Aku yang menginginkan Anda. Aku ingin tidur dengan Anda. Siapa yang salah? Tidak ada. Kemarilah, Pak. Kumohon jangan berhenti. Satukan diri kita lagi. Seperti tadi.” Sid mengulurkan tangan, sebab Jun menjauh darinya. Jantungnya berdebar karena tidak ingin berpisah.Jun masih tertegun. Bajingan! Dia telah mengambil keperawanan Sid dengan santainya.“Pak Jun. Sayangku,” lirih Sid dengan keberanian yang diusahakannya sepenuh hati. Dia menyukai, bahkan sangat mencinta pria yang tengah berada di atas tubuhnya itu. Ungkapan cinta pertamanya lewat sebutan, panggilan.Jun mendekat. Tidak tega karena dipanggil dengan begitu putus asanya oleh Sid