Gilang mengetuk pintu untuk ke sekian kalinya. Sementara itu, di dalam rumah, Ressa masih kesusahan memasukkan lengan cardigan ke tangannya.Teeet… bel rumah berbunyi. Rupanya Gilang mengira Ressa tidak mendengar ketukan pintunya hingga harus memencet bel rumah. Ressa segera berlari dari kamar menuju pintu. Ia memutar kunci ke kiri dan ceklek. Pintu rumah dibuka. Dilihatnya wajah lelaki yang lelah dan sangat tidak bersahabat.“Lama banget sih!” gerutu Gilang.“Maaf, Mas,” ujar Ressa dengan nada rendah. Ia mengulurkan tangannya hendak mencium tangan suaminya yang baru saja pulang bekerja.Cup. Gilang untuk pertama kalinya mau diminta salaman oleh Ressa setelah kejadian video itu.Ressa sedikit heran. Apa ini karena lingerie ini? Ah, tidak mungkin. Kan ini sama sekali tidak terlihat. Batin Ressa.“Kamu masak?” tanya Gilang sembari mencopot sepatunya.Ressa mengangguk, “iya, Mas. Mau makan dulu atau mandi dulu?”“Aku mandi dulu saja,” jawab Gilang tanpa menatap Ressa.“Baiklah. Biar aku
“Aku sadar, kemarilah!” ujar Gilang, ia mulai menaiki ranjang. Tangannya hendak menarik tubub Ressa agar kembali ke tengah ranjang, tapi sayang, yang ketarik justru tali lingerienya. Sontak saja lingerie yang Ressa kenakan terlepas begitu saja dari tubuh moleknya. Selanjutnya tanpa aba-aba Gilang memangsa Ressa dengan rakus.Aktivitas yang seharusnya dilakukan dengan lembut agar bernilai ibadah, justru dilakukan dengan paksaan dan dipenuhi emosi. Bukan kebahagiaan yang didapatkan Ressa, melainkan ketakutan dan kesakitan. Air mata terus meleleh dari netra seorang wanita yang keperawanannya telah direnggut suaminya sendiri dengan paksa.Gilang melihat beberapa bercak noda darah di selimut, matanya terbelalak. Ia seperti tak menyangka jika ia mendapatkan keperawanan istrinya. Tapi ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.Selepas menyalurkan nafsunya kepada Ressa meski dibalut dengan emosi, Gilang dengan tanpa rasa bersalah berjalan melenggang ke kamar mandi, sedangkan Ressa menarik selimut u
Gilang keluar rumah untuk menemui Tristan. Siang tadi, ia telah membuat janji dengan Tristan. Ia sudah membawa banyak bukti untuk mengalahkan Tristan. Setelah pertemuan ini, Gilang berniat memenjarakan Tristan. Laki-laki yang berengsek harus mendapatkan balasannya.Sekitar lima belas menit perjalanan, sampailah Gilang di tempat yang ditentukan keduanya. Ternyata di sana sudah ada Tristan yang menunggu.“Sudah lama menunggu?” tanya Gilang pada Tristan.Tristan mengangguk, “iya, sesuai waktu yang dijanjikan.”“Oh, maaf ya. Tadi istri saya minta jatah nafkah batin. Jadi sebagai suami saya harus memuaskannya terlebih dahulu,” jawab Gilang dengan membetulkan kerahnya. Ia sengaja memamerkannya di hadapan Tristan.Tristan memasang muka masam. Ia tidak suka Gilang melakukan itu pada Ressa, meski ia tahu Gilang suaminya. Ia masih saja cemburu dengan Gilang.Gilang bisa membaca situasinya. Ia seolah tahu apa yang dipikirkan Tristan. Ia mulai menarik nafas panjang.“Anda mungkin pernah menyentuh
Gilang pulang ke rumah dengan menggenggam sebuah kesepakatan. Ia sangat tidak menyangka jika Tristan ternyata lebih licik dari dirinya. Haruskah Gilang percaya pada kata-kata Tristan?"Argh… Tristan gila! Kenapa nggak ngejelasin dari awal? Kenapa membuatku salah paham dengan Ressa selama ini?" seru Gilang.Tiba-tiba Gilang teringat bagaimana rupa Ressa sebelum ia meninggalkannya tadi. Sangat menyedihkan. Ternyata memang Ressa tidak bersalah sama sekali. Ia hanya wanita bodoh yang gampang percaya dengan laki-laki."Aargh… bodohnya aku menuduh Ressa macam-macam," seru Gilang di dalam mobilnya. Ia memukul setir dengan keras berharap emosinya dapat tersalurkan.Dan Winda? Benarkah yang dikatakan Tristan? Sepertinya aku harus menanyakan langsung kepadanya. Bagaimanapun dia adikku satu-satunya. Gilang kembali berbicara pada dirinya sendiri.Saat ini, fokus Gilang adalah memperbaiki hubungannya dengan Ressa. Apakah Ressa akan menerimanya?Lima belas menit berada di belakang setir, rasanya sa
Hari ini mentari bersinar sangat cerah. Cahayanya masuk melalui celah jendela yang sudah di buka oleh Ressa sejak pagi tadi. Perlahan Gilang membuka matanya. Cahaya matahari sudah masuk ke kamar, itu berarti matahari sudah tinggi di luar sana. Gilang segera bangun. Ia mengucek matanya dan memandaang ke sekeliling. Ini bukan akmar utama.Oh. Dia mengingat bahwa semalam menangis di samping Ressa yang tertidur. Apa pagi tadi Ressa melihatnya? Gilang menepuk jidatnya.Aduh. Malu aku. Gumam Gilang.Gilang keluar kamar. Ia melihat di ruang keluarga. Tidak ada Ressa. Kakinya terus melangkah menuju belakang. Benar saja, Ressa ada di sana. Dilihatnya tubuh Ressa dari pintu. Tangannya begitu cekatan menjemur pakaian yang telah selesai dicucinya.Tubuhnya terlihat sama saja seperti waktu masih gadis. Hanya saja, rambutnya kini terlihat kering kurang nutrisi apalagi dengan cepol yang acak-acakan. Mungkin ia tidak mengambil waktu untuk perawatan di salon. Apa ia terlalu tertekan selama ini?Tiba-t
Hari ini hari Minggu, waktunya Gilang libur bekerja. Itu kenapa dia bangun agak siangan dari biasanya.Selesai sarapan pagi, Gilang mengajak Ressa untuk duduk menikmati teh hangat di depan televisi. Hal yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.“Ress, sudah sebulan lebih setelah kita menikah, kita belum pulang ke rumah orang tua kita,” ujar Gilang membuka obrolan.“Iya, apa kamu kangen dengan Bapak dan Ibu?” tanya Ressa.Gilang tidak menjawab langsung pertanyaan dari Ressa, “aku hanya khawatir mereka mengkhawatirkan masalah video itu.”Ressa diam bergeming.“Emm… maaf Ress, bukan maksudku untuk mengungkitnya, tapi kita harus jelaskan semuanya jika itu bukan kamu,” jelas Gilang kemudian setelah melohat air muka Ressa berubah sendu.“Kamu percaya itu bukan aku?” tanya Ressa lagi.Dengan cepat Gilang mengangguk, “Sangat percaya.”Mendengar jawaban dari Gilang, membuat Ressa bisa bernafas dengan lega, setidaknya sekarang suaminya berada di pihaknya.Meski Gilang tahu itu foto asli Ress
Ressa menggosok kedua tangannya. Ia terlihat begitu tidak tenang, “aku takut ketemu orang rumah, Mas. Aku malu dengan foto dan video yang mereka lihat.”“Ressa, jangan takut, ada aku yang akan menjelaskan semuanya. Lagi pula, hanya ayah dan ibu yang tahu. Bahkan bapak ibuku pun tidak kuberi tahu. Aku juga yakin sekali, untuk satu kasus ini, ayah tidak akan menceritakannya kepada kakak-kakakmu. Tenang ya, Sayang. Kita hadapi sama-sama.”Kalimat yang diucapkan Gilang sedikit membuat Ressa menjadi lebih tenang.“Tenang ya, Ressa sayang.” Lagi, Gilang mencoba menenangkan Ressa.Ressa mengangguk. Ia mengambil nafas dan menghembuskannya sampai ia merasa benar-benar tenang.Beberapa menit mereka saling terdiam, setelah dilirik Gilang, ternyata Ressa sudah tertidur. Mungkin ia lelah bangun sejak pagi mencuci dan menyiapkan sarapan. Gilang tidak membangunkan Ressa hingga sampai di halaman rumah kedua orang tuanya.Tiga puluh menit kemudian, sampailah mereka di rumah tuan Sanjaya. Dengan lembut
“Iya,” jawab Tuan Sanjaya mengangguk dan lanjut menyesap rokoknya.Bi Inah datang membawakan dua buah minuman untuk majikan kecilnya itu dan segera kembali ke dapur.Sementara Gilang dan Ressa masih salah tingkah ketika nyonya Mira mulai membahas perihal bulan madu dan cucu. Bagaimana tidak, mereka berdua saja baru akur pagi tadi.“Kalian berdua pengennya bulan madu ke mana? Kalau butuh bantuan ibu buat urus paketan honeymoon, ibu siap. Ibu ada beberapa temen yang buka jasa paketan honeymoon gitu, itu include akomodasi, fotografer, hotel, dan sebagainya, ada untuk area dalam negeri dan luar negeri juga,” jelas nyonya Mira.Gilang dan Ressa hanya cengengesan mendengarnya. Mereka berdua sama sekali belum kepikiran untuk berbulan madu.“Ibu ini bagaimana, malah mempromosikan dagangan temen. Biarkan mereka berdua yang menentukan sendiri mau pake jasa atau hanya berdua saja. Atau mereka berdua punya temen yang buka jasa piknik juga kan kita nggak tahu, biarkan mereka dengan impian mereka s
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba
“Jadi kamu sudah tahu masalah aku sama Ressa?” tanya Winda pada Dika setelah mendengar penjelasan dari Dika terkait alasannya kenapa menjauhi dirinya.Dika mengangguk. Matanya tidak berani menatap Winda. Tatapan matanya terus ke mejanya atau terkadang ke lantai. Sesekali melihat ke arah jauh. Dika benar-benar menghoindari kontak mata dengan Winda.“Dik! Tolong lihat aku!” seru Winda karena melihat Dika yang tidak fokus kepadanya.“Dik!”Tangan Winda meraih dagu Dika dan mengarahkan ke depan dengan setengah memaksa agar Dika menatapnya.“Win, maafin aku jika aku terkesan menghindari kamu. Aku kecewa dengan sifatmu.”“Tapi Dik, semua orang bisa berubah. Apa kamu tidak bisa menerima masa lalu orang lain?”“Tapi yang kamu lakuin ke Ressa itu sangat keterlaluan. Kamu merusak rumah tangga kakakmu sendiri. Ressa sampai depresi gara-gara kamu dan keluargamu. Dia harus bolak-balik psikiater untuk berobat. Jiwanya terguncang. Bagaimana nanti jika aku terus dekat dengan kamu? Hal tega apa yang a
“Kedatangan saya kemari hendak mengucapkan terima kasih atas pencabutan laporan Pak Sanjaya terhadap kedua anak kami.”“Kami sangat menyesal atas semua yang telah terjadi. Saya mengakui jika kelakuan kedua anak kami memang sangat di luar batas kewajaran. Perbuatan mereka sangat-sangat salah. Karena itu saya tidak membela mereka di hadapan Pak Sanjaya. Saya malu dengan Pak Sanjaya. Saya merasa gagal mendidik kedua anak saya, Pak.”“Tetapi setelah mengetahui jika Pak Sanjaya mencabut laporannya terhadap Gilang, terlebih kepada Winda, Saya sujud syukur, sangat bersyukur atas kebaikan hati Pak Sanjaya. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sanjaya. Saya menunggu waktu yang tepat untuk datang kemari. Saya harap, ke depan, hubungan kita masih baik-baik saja.”Akhirnya, keluar juga kalimat yang telah dirancang Pak Budiman sejak sebelum melangkah keluar rumah menuju rumah mantan besannya itu. Pak Budiman menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja selesai berperang. Sementara Bu Nani
Bruk.Dika berlari dengan cepat sampai terengah-engah hingga menabrak sebuah kursi yang sedari tadi diam bergeming.“Ada apa sih Dik lari-lari gitu? Nggak bisa santai saja?” tegur Arya yang melihat sahabatnya menabrak kursi.“Gawat Ar. Kamu harus cepat ke kota. Kamu harus segera ke bandara!” seru Dika dengan napas yang masih terengah-engah.“Bandara? Buat apa? Aneh kamu!” ujar Arya tak menghiraukan Dika. Ia berbalik badan melangkah ke lantai atas kafenya.“Ressa, Ar. Ressa. Dia hari ini mau berangkat ke luar negeri. Dia mau kuliah di luar negeri. Dia tidak mengabari kamu?” jelas Dika dengan cepat.Deg. Terang saja Arya terkejut. Beberapa hari ini ia memang sempat mengabaikan pesan masuk dari Ressa karena kesibukannya yang seakan tidak pernah berhenti.Kakinya yang baru saja hendak menaiki anak tangga pertama diurungkannya.“Apa kamu bilang?”“Iya Ar. Ressa … ““Kamu handle semua urusan kerjaan di sini, aku mau nyusul Ressa,” ujar Arya terburu-buru. Tangannya dengan cepat menyambar kun