“Ressa bisa berangkat sendiri loh Yah,” jawab Ressa dengan setenang mungkin agar tidak memicu emosi ayahnya.
“Ayah sudah bicara pada Gilang dan orang tuanya semalam, mulai sekarang kalau kamu mau berangkat ke kota harus didampingi Gilang, dia itu calon suamimu,” jelas tuan Sanjaya.
Ressa menunduk. Memainkan sendok dan setengah nasi yang tersisa di piringnya. Rasanya tak kuasa untuk menolak lagi. Hidupnya benar-benar diatur oleh ayahnya.
“Yah, Ayah meetingnya mulai jam berapa hari ini?” tanya nyonya Mira mengalihkan pembicaraan, ia seperti tahu situasi ruang makan yang tak nyaman untuk Ressa.
“Ini sebentar lagi Ayah mau berangkat, nunggu mobilnya siap dulu,” jawab tuan Sanjaya. Ia meneguk air putih yang tersedia di depannya.
“Ress, kamu itu harus melakukan pendekatan dengan Gilang, kalian sering-seringlah jalan berdua biar mengenal satu sama lain,” ujar tuan Sa
Tok tok tok. Pintu kafe diketuk. Arya beranjak dari kursi menuju ke pintu masuk. Pintu yang seluruhnya terbuat dari kaca memudahkan Arya melihat siapa yang datang. Rupanya gadis manis yang mengetuk pintu. Ya, dialah Ressa. Sang pemilik hati si pemilik kafe.Ceklek. Pintu terbuka.“Eh, Ressa, masuk sayang,” sapa Arya mempersilakan kekasihnya untuk masuk.Ressa dengan cepat menghambur ke badan Arya dan memeluknya erat. Arya pun membalas rangkulan kekasihnya itu.“Kangen banget aku,” ucap Ressa masih memeluk Arya tanpa melihat sekitar. Ia tidak melihat ada bapaknya Arya.Dari tempat duduknya, Pak Sukardi mengamati kedua sejoli ini.“Sama aku juga. Tapi ada bapak di depan meja kasir,” ujar Arya berbisik di telinga Ressa.Ressa spontan melepas pelukannya ke Arya dan menundukkan kepala pada pak Sukardi.“Pak, ini Ressa anaknya tuan Sanjaya, kekasihnya
“Ini aku bawain brosur kul....” Belum selesai Dika berkata, Arya meletakkan jari telunjuk di mulutnya memberi isyarat agar Dika diam dan tidak meneruskan omongannya. Matanya mengisyaratkan ke bangku pengunjung. Dika menoleh, benar saja, ada Ressa di sana.“Sorry, bro, gak liat aku,” ucap Dika lirik sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.“Padahal di luar terparkir mobil segede gaban,” celetuk Arya setengah berbisik.Dika hanya cengengesan.“Taruh brosur di laci,” perintah Arya masih dengan bisik-bisik sambil berlalu balik ke tempat duduk di mana Ressa berada.Ressa memandang dinding kafe. Ia tidak memperhatikan percakapan Arya dan Dika. Dibandingkan penasaran dengan tujuan Dika kemari pagi hari, ia justru lebih malu jika ketahuan menangis di kafe Arya.“Jangan digosok-gosok matanya nanti maskara kamu luntur,” ucap Arya setelah mendaratkan tubuhn
“Siapa yang telepon Ress?” tanya Arya.“Entah. Tak dikenal.” Ressa jelas berbohong.Telepon itu dari Gilang. Ia sudah menyimpan nomer Gilang, seharusnya di layar ponselnya tertera nama Gilang.Arya tak curiga tentang kebohongan Ressa kali ini, ia fokus pada bersatunya bapak dan ibunya.Dalam momen mengharukan seperti ini, ada saja situasi yang membuat kacau. Seperti yang dilakukan kakak Arya, kak Tania. Dia masuk ke kafe Arya dengan lempeng dan berseru, “Arya...!”Pandangan matanya menuju ke empat orang yang lebih dulu berada di dalam, “Kalian di sini? Bapak?” tanya Tania heran. Ia bahkan tidak tahu apa-apa soal ini.“Tania,” panggil Pak Sukardi.“Untuk apa bapak kembali? Kami sudah bahagia tanpa Bapak,” ujar Tania dengan nada tinggi. Langkahnya mendekati ibunya.“Tania! Jaga bicaramu!” seru Bu Kalimah.&nb
“Di sini yang jual es boba di mana ya Mbak?”tanya Gilang malu-malu.Eh, aku telah salah mengira. Batin Vera.“Oh, yang paling deket dari sini sih depan kantor pos tuh ada penjual es boba,” jawab Vera. Ia kepedean dikira Gilang mengenalinya sebagai kawan Ressa. Taunya cuma mau nanya es boba.“Makasih ya Mbak.” Gilang segera mengambil motornya dan meninggalkan Vera di tempat parkir yang bengong.Bagaimana bisa Gilang tidak tahu tempat penjual es boba terpopuler di desanya? Sebenarnya dia orang mana? Vera bertanya-tanya sendiri. Sementara Gilang sudah melaju jauh meninggalkan apotek.Beberapa menit kemudian, sampailah Gilang di depan stand penjual es boba.Gila! Rame banget gini antreannya berapa lama nih. Kalau aku sih mending ga minum boba dari pada disuruh mengantre gini. Dasar adik tidak tahu diri. Menyusahkan. Batin Gilang.Meski merutuk dalam hati, tetap
“Ada apa Ress?” tanya Arya.“Aku tidak tahu sampai kapan ada tanggal libur di kalender. Aku harap kamu bisa mengunjungiku di kota. Aku akan sangat merindukanmu.”“Bukankah kamu akan bertunangan dua bulan lagi?”“Lupakan tentang itu, Mas. Tolong hanya bahas kita berdua.”“Maaf.”“Jika aku bisa memilih, aku akan memilih pergi jauh bersama kamu tapi kamu yang menolaknya.” Air mata Ressa jatuh begitu saja tanpa bisa terbendung.Arya yang panik mendekati Ressa dan mengusap air matanya. Ia tak peduli banyak pasang mata yang mengawasinya.“Ressa sayang maafkan aku.”Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Arya.Ressa menghambur ke pelukan Arya.“Mas, janji ya kita akan terus berusaha bersama untuk meyakinkan ayah,” ucap Ressa.“Janji.”Ressa melepas pelukannya da
Belum selesai Ressa mengelak, Tuan Sanjaya segera memotong, “Turun! Pindah ke depan! Hormati dia sebagai calon tunanganmu!”Ressa tak berani menjawab lagi, dengan kesal ia turun dan berpindah duduk di samping pengemudi.Gilang segera masuk ke mobil dan duduk sebagai pengemudi. Ia menoleh ke Ressa tapi pandangan Ressa ke arah lain. Ressa tidak ingin menatap calon tunangannya itu. Pandangan Gilang kembali ke arah depan. Entah apa yang dia pikirkan. Mobil melaju meninggalkan rumah megah di pinggiran kota.Tuan Sanjaya dan Nyonya Mira kembali masuk ke rumah. Namun baru saja mereka duduk di teras samping, terdengar bel pintu rumah yang berbunyi.Tanpa diperintah, Bi Inah, asisten rumah tangga keluarga Sanjaya, segera membukakan pintu. Ia tidak mengenali sosok yang datang, hanya mempersilakan masuk dan memberi tahu pada tuannya jika ada tamu yang ingin bertemu dengannya. Nyonya Mira mengisyaratkan untuk membuatkan teh pada Bi Inah
“Nah, udah sampe kota nih.” ujar Gilang yang sedari tadi terus berusaha mengajak Ressa mengobrol duluan. “Kita makan di luar dulu yuk, baru setelah itu aku antar kamu ke rumahmu,” ajak Gilang.Ressa menoleh pada Gilang, “rumah? Kontrakan kali.”“Ayahmu tadi bilang ke aku, kalau barang-barangmu sudah dipindahin ke rumah sama bibi dan paman yang jagain rumah ayahmu,” jelas Gilang.Tanpa bertanya ke Gilang, Ressa segera menelepon ayahnya. Bagaimana bisa ayahnya tidak meminta persetujuannya dulu, main pindah-pindah saja. Sangat tidak dibenarkan dalam kamus Ressa.“Halo Ayah, bener Ayah udah mindahin semua barang Ressa ke rumah?”“Kenapa enggak bilang ke Ressa?”“Oh”“Iya, Ayah.”“Iya.”“Oke.”Klik. Telepon ditutup. Air mukanya tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Tapi bagai
Dua bulan sudah berlalu sejak Ressa berangkat ke kota selepas acara pertemuan dua keluarga untuk menjodohkan putra putrinya. Tapi hingga kini masih belum ada acara pertunangan yang digelar. Ressa selalu mengulur-ulur waktu agar diundur pertunangannya.Ia sama sekali merasa belum siap jika harus terikat dengan Gilang. Tapi bagaimanapun juga ia tidak bisa menghindar terus menerus.Hari ini tuan Sanjaya ada pekerjaan di kota, ia dan istrinya bertolak menuju kota di pagi hari. Menjelang siang tuan Sanjaya mengurus pekerjaan hingga petang hari. Sedangkan nyonya Mira hanya menunggu di rumah. Di sana hanya ditemani bi Wati dan paman Toni saja. Karena ini hari aktif kerja, Ressa masih berada di kantor ketika mereka sampai di rumah.Sore hari, Ressa pulang ke rumah. Ia tahu di rumah ada ibunya. Pagi tadi ia sudah menerima pesan singkat dari ibunya jika mereka sudah sampai di rumah.“Ibu...!” seru Ressa dengan wajah yang lelah namu
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba
“Jadi kamu sudah tahu masalah aku sama Ressa?” tanya Winda pada Dika setelah mendengar penjelasan dari Dika terkait alasannya kenapa menjauhi dirinya.Dika mengangguk. Matanya tidak berani menatap Winda. Tatapan matanya terus ke mejanya atau terkadang ke lantai. Sesekali melihat ke arah jauh. Dika benar-benar menghoindari kontak mata dengan Winda.“Dik! Tolong lihat aku!” seru Winda karena melihat Dika yang tidak fokus kepadanya.“Dik!”Tangan Winda meraih dagu Dika dan mengarahkan ke depan dengan setengah memaksa agar Dika menatapnya.“Win, maafin aku jika aku terkesan menghindari kamu. Aku kecewa dengan sifatmu.”“Tapi Dik, semua orang bisa berubah. Apa kamu tidak bisa menerima masa lalu orang lain?”“Tapi yang kamu lakuin ke Ressa itu sangat keterlaluan. Kamu merusak rumah tangga kakakmu sendiri. Ressa sampai depresi gara-gara kamu dan keluargamu. Dia harus bolak-balik psikiater untuk berobat. Jiwanya terguncang. Bagaimana nanti jika aku terus dekat dengan kamu? Hal tega apa yang a
“Kedatangan saya kemari hendak mengucapkan terima kasih atas pencabutan laporan Pak Sanjaya terhadap kedua anak kami.”“Kami sangat menyesal atas semua yang telah terjadi. Saya mengakui jika kelakuan kedua anak kami memang sangat di luar batas kewajaran. Perbuatan mereka sangat-sangat salah. Karena itu saya tidak membela mereka di hadapan Pak Sanjaya. Saya malu dengan Pak Sanjaya. Saya merasa gagal mendidik kedua anak saya, Pak.”“Tetapi setelah mengetahui jika Pak Sanjaya mencabut laporannya terhadap Gilang, terlebih kepada Winda, Saya sujud syukur, sangat bersyukur atas kebaikan hati Pak Sanjaya. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sanjaya. Saya menunggu waktu yang tepat untuk datang kemari. Saya harap, ke depan, hubungan kita masih baik-baik saja.”Akhirnya, keluar juga kalimat yang telah dirancang Pak Budiman sejak sebelum melangkah keluar rumah menuju rumah mantan besannya itu. Pak Budiman menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja selesai berperang. Sementara Bu Nani
Bruk.Dika berlari dengan cepat sampai terengah-engah hingga menabrak sebuah kursi yang sedari tadi diam bergeming.“Ada apa sih Dik lari-lari gitu? Nggak bisa santai saja?” tegur Arya yang melihat sahabatnya menabrak kursi.“Gawat Ar. Kamu harus cepat ke kota. Kamu harus segera ke bandara!” seru Dika dengan napas yang masih terengah-engah.“Bandara? Buat apa? Aneh kamu!” ujar Arya tak menghiraukan Dika. Ia berbalik badan melangkah ke lantai atas kafenya.“Ressa, Ar. Ressa. Dia hari ini mau berangkat ke luar negeri. Dia mau kuliah di luar negeri. Dia tidak mengabari kamu?” jelas Dika dengan cepat.Deg. Terang saja Arya terkejut. Beberapa hari ini ia memang sempat mengabaikan pesan masuk dari Ressa karena kesibukannya yang seakan tidak pernah berhenti.Kakinya yang baru saja hendak menaiki anak tangga pertama diurungkannya.“Apa kamu bilang?”“Iya Ar. Ressa … ““Kamu handle semua urusan kerjaan di sini, aku mau nyusul Ressa,” ujar Arya terburu-buru. Tangannya dengan cepat menyambar kun