Entah sudah yang keberapa kali dalam sebulan, Mao melakukan swab test. Itu salah satu syarat demi menunjang pekerjaannya di era pandemi yang mengharuskannya selalu steril dalam memerangi virus. Kali ini, setelah ia membawa hasil negatif kepada calon pelanggannya,Mao masih harus disemprot disinfektan terlebih dahulu baru ia dibawa ke salah satu ruangan luas dan minim cahaya oleh salah satu maid disana.
Tidak seperti awal awal,Mao sudah sangat terbiasa dan tenang. Raut gelisah, gugup dan perasaan takut yang pernah campur aduk kini sudah terkikis dan menampilkan wajah tenang serta penuh senyum.
"Ini minuman teh hijau nona, silahkan. Mohon menunggu sebentar akan saya panggilkan"
"Terima kasih"
Hanya berselah lima menit dari kata 'menunggu. Mao bisa melihat jelas kliennya itu. Berdiri dihadannya dengan mengulurkan tangan yang masih terayun tanpa sambutan.
"Saya negatif juga. Apa perlu saya tes swab yang kedua kalinya untuk meyakinkan anda?"
Mao buru buru berujar dan menunjukkan sikap membungkukkan badan sebagai permintaan maaf. "Maaf. Sekali lagi lagi maafkan saya"
"Duduk kembali. Perkenalkan saya Zaki Darmawan. Saya yang sudah menghubungi anda melalui website dan menyewa anda satu harian full"
Benar adanya. Namun nampaknya ada yang keliru disini. Mao menunggu Sosok pria yang tingginya hampir sama dengan Rafa itu kembali berucap tapi rasanya ia hanya menunggu jeda. "Bukannya yang menghubungi saya namanya Vera Indrawati? "
Zaki tersenyum singkat dan itu terlihat seperti seorang psikopat yang pernah ditonton Mao pertama dan berakhir dengan selera nafsu makannya selama 4 hari yang terjun bebas dengan Rafa yang memarahinya. Ruangan full ac ini seketika mampu mendinginkan telapak tangan, kaki,wajah Mao yang sekarang lebih menatap kearah pintu keluar untuk segera kabur. Ya, Mao yakin ia dibohongi entah untuk apa.
"Tenang nona. Anda tidak perlu panik dan merasa takut atau terancam. Saya akan menjelaskan secara detail, tapi saya mohon semoga pilihan anda untuk tetap ambil job ini tidak berubah"
Mao buru buru mengangguk dan memainkan buku jarinya. Ia mendengar seksama dan menatap detail wajah pria dihadapannya ini sehingga kalau terjadi apa apa dengan dirinya dan belum sempat mengucap salam perpisahan dengan Rafa dan berakhir mati secara tragis, wajah pria inilah yang akan ia sambangi setiap harinya tanpa absen. Ya, Separno itu Mao sekarang.
"Saya tau anda tidak membuka jasa untuk klien pria. Sudah ada dua jasa seperti anda yang saya panggil dan melakukan job desknya namun sayang tidak membuahkan hasil apa apa"
"Ia masih terlalu tertutup dan seolah membenci apapun yang berkaitan dengan dunia luar. Dia benci orang asing. Rasa percaya dirinya sangat minus dan membuatnya gelap akan sekitar"
Oke,Mao mulai melonggarkan ketakutannya yang kini sudah berubah dengan rasa penasaran. Hah, ia seperti diperdengarkan dongeng yang membuat matanya seperti akan sayup. "Siapa? " pertanyaan itu muncul saat Zaki tidak mengeluarkan kalimatnya kembali dan seoalah menunggu Mao untuk bertanya.
"Tuan besar. Dirumah ini tidak ada yang tau hal apa yang mendasari sikapnya yang mengambil jalur menjadi pembenci, pendiam dan tidak memiliki semangat. Ia menutup diri bahkan kepada kakak laki lakinya, satu satunya keluarga yang ia punya"
Mao nampak mengangguk paham. Namun akankah ia bisa? Semua pelanggannya saat ini tidak ada yang memiliki kasus serumit ini dan Mao bisa menjalankannya dengan mudah. "Tapi maaf tuan Zaki, saya bukan seorang psikologi atau orang orang yang kompeten dalam hal ini"
"Anda memiliki rating yang bagus nona. 'Cuddle' yang menjadi modal anda,sangat cukup memberi klien kepuasan" Ujarnya tak mau kalah.
Mao masih bergeming. Entah harus mengambil pekerjaan ini atau tetap pada prinsipnya dan memilih pamit pulang tanpa menyuapkan rekeningnya dengan harga yang fantastis itu.
Sudah ada yang bisa nebak, sebenarnya Mao membuka jasa apa?
Dugaan Mao ternyata salah.Kamus 'Tuan Besar' yang mampu digambarkan dirinya itu pasti sudah keriput, berumur dan ubanan. Belum lagi suaranya yang memberat sesuai umur yang kian menua.Setelah melalui dilema yang lumayan menyita, Mao pada akhirnya menyetujui kesepakatan dan melanggar prinsipnya untuk tidak menerima klien pria demi menyuapkan rekeningnya dengan harga yang tinggi.Disinilah Mao berada, diantarkan keruangan yang dua kali lipat luasnya dengan ruang tamu dilengkapi ornamen hiasan yang Mao taksir bernilai ratusan juta itu. Mirip dengan kamar bangsawan yang menjamur kemewahan tapi tidak dengan ini yang sarat akan kemuraman.Disana, ada sesosok pria tengah membelakangi mereka yang terlihat hanya punggungnya dan memakai kaos saja. King kasur yang Mao yakini empuk dan super nyaman itu terlihat miris dimana seprai dan selimut menjuntai ke sembarang arah.Belum lagi, sisa makanan berserakan menampilkan kesan
Mao masih salah tingkah saat kalimatnya masih menggantung dan yang lebih memalukan melongo dengan mulut setengah terbuka saat melihat calon kliennya.Entah pahatan dari mana ia berasal. Hatinya terus berujar kata maaf untuk Rafa saat Mao berani memuja orang lain disaat dirinya sudah memiliki kekasih."Hehehe.. Sekali kali ya Raf, ada yang lebih tampan dari kamu nih. Makannya jangan sombong! Huhuhu" Lagi, Mao hanya bersuara lirih."Ayo Nona. Kita keluar"Zaki mempersilahkan sebelum tuan besarnya itu bertindak lebih karena beliau tidak suka jika ada yang membantah perintahnya. Kejut setrum seperti yang tadi dilakukan bukan hal pertama bagi Zaki, terlampau sering dan menjadi biasa."Nona.. "Mao segera tersadar dan tak sengaja pandangan matanya bertemu dengan telaga hitam pekat yang menyimpan begitu kecamuk dalam sana. Sorotnya begitu dingin namun tersimpan banyak sekali luka.
Lagi dan lagi, Mao harus menerima rentetan celotehan panjang kali lebar kali tinggi milik Rafa yang saat ini duduk disampingnya sambil menyuapkan cemilan cake yang ia beli sebelum mampir ke kosan.Mao menduga, bibir milik kekasihnya itu habis di charge 100 persen sehingga begitu tahan lama dan sampai membuat telinga Mao kepanasan. Salahnya sendiri memang yang kebiasaan mengheningkan dering handpone ketika berada diluar rumah entah karena alasan apa.Sebagian kapasitas otaknya ia gunakan untuk mendengar setia rentetan kaset rusak yang didendangkan Rafa. Waktu 1 jam rasanya belum cukup puas menahan mulut itu untuk tidak lagi cuap cuap. Jangan sampai cerita didalam kartun yang telinganya mengeluarkan asap akan benar terjadi, bisa viral nanti.Mao juga saat ini sedang kalang kabut meski diluar nampak biasa aja, namun siapa sangka sesungguhnya ia sedang berpikir keras bahwa harus ada kejelasan tentang apa yang telah terjadi belakangan ini.Bagaimanapun,
Flashback OnSatu tahun yang lalu. Mao menyaksikan sendiri bagaimana kerusuhan yang terjadi disemua minimarket, pasar dan semua warung warung yang menyediakan kebutuhan sehari hari.Saling sikut, saling mendahului, saling berteriak satu sama lain, saling menjatuhkan begitu jelas dalam jangkauan matanya. Tak peduli wanita, pria, nenek,kakek, remaja, anak anak semua seolah gelap mata dan berubah rusuh berebut semua yang terpajang bahkan penjarahan terjadi disana.Kemunculan berita yang mengatakan dunia sedang dilanda pandemi dan mengharuskan mengambil tindakan lockdown, masyarakat seolah berbondong bondong menyetok kebutuhan harian mereka dengan brutal disana.Mao yang saat itu baru saja akan berganti shift kerja dengan temannya,harus menyaksikan kengerian itu dan hanya menahan sesak dan tangis. Buru buru, ia menghubungi sang ibu untuk jangan keluar rumah dan mengunci semua pintu, jendela sampai pemerintah mengambil tindakan cepat untuk ma
Setelah jeda terbentang panjang. Baik Mao dan Rafa kini sudah bisa menguasai hati menjadi lebih baik dan kembali berpijak dengan ditandai acara saling melempar senyum. Menghapus jejak air mata kala ingatan terputar dengan rekaman kejadian yang berbeda namun memiliki kepiluaan setara.Rafa berdehem sambil mengamit kedua tangan Mao yang mendadak gugup. Melanjutkan pertanyaan kekasihnya tentang hubungan mereka. Aura maskulin seketika terpancar saat kedua mata hazelnya menatap lembut."Ayo kita melangkah lebih serius, Mao" Ucap Rafa penuh kesungguhan.Pipi Mao bersemu merah. Perasaannya dag dig dug seperti diajak naik roll coster."Ini kamu lamar aku? Ih ga romantis bangeett jadi cowok. Gak modal lagiiiiii" Sungut Mao yang mendapat sambaran ciuman di pipi.Kilas bangetttt, tapi mampu menambah debaran keduanya."Yaaaaaaaaaaaaaak. Ini first kiss aku buat Nam Do San taaaaaaaaaaaaaaaaau""Bodoamaaaaaat" Balas Rafa yang
Mao baru selesai mematikan kompor dan menuang indomie kuah yang berisikan telor dan bakso kedalam mangkok. Perutnya berbunyi lapar saat jam sudah merujuk pada dini hari dan ia tidak bisa tidur dalam keadaan perutnya yang meronta untuk segera diisi.Tidak ingin menyalakan televisi, Mao hanya mendendangkan lagu bernada mellow. Menemaninya menyuap helai demi helai mie dengan nikmat sambil matanya yang bergerilya scroll instagram.Senyum mengembang begitu saja saat kekasihnya, post foto beberapa jam lalu dan mematikan kolom komentar karena tidak ingin membuat khalayak terlalu kepo akan kehidupannya. Netizen istilah jaman sekarang. 800 like. Wowwwww..Foto mereka yang diambil tadi siang saat pernyataan manis keduanya terlontar. Monokrom dengan wajah Mao yang menghadap kesamping dan Rafa yang merebahkan kepalanya di bahu Mao. Cute.Namun masih ada kejanggalan bagi gadis berzodiak Virgo itu yang saat ini belum jujur tentang background pekerja
Rafa masih menggunakan handuk sepinggang berwarna putih dengan atasan yang memperlihatkan dada bidangnya disertai sekat sekat kotak yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya meneguk liur.Ia sengaja bangun pagi buta hanya untuk sarapan bersama di kos-an Mao. Katakanlah Rafa bucin, pasalnya baru kemarin ia berkunjung dengan segala celotehan akan tindakan Mao yang selalu tidak mengangkat panggilannya dan pergi entah kemana tanpa pamit.Bukankah didalam hubungan juga perlu sebuah kejujuran?Maka untuk menambah daya energi sebelum menghadapi tumpukan berkas yang meminta perhatiannya di kantor. Rafa akan dengan senang hati berkunjung kembali,melihat,memandang wajah cantik kekasihnya. Ah, atau bisa disebut calon istrinya."Sial. Gak sabar bawa Mao ke penghulu"Rafa senyum senyum sendiri. Bersiul kesenangan. Menghadapkan wajah tampannya pada kaca besar dan mengambil baju formalnya di walk in closet.Sebuah pemberit
"Permisi tuan. Nona yang anda cari sudah berada di ruang tamu" Ucap Zaki sambil membungkuk tanda hormat.Tuan besar yang saat ini tengah melamun melempar arah ke gazebo taman dengan dibantu kursi roda mengangguk kecil, tanpa menoleh.Langsung saja tanpa berharap dapat balasan kata, Zaki bergegas menyuruh salah satu maid yang terbiasa berjaga di depan kamar tuan besarnya untuk memanggil Mao yang baru saja menyesap teh hijaunya."Maaf nona, mari ikuti saya"Hampir saja, Mao tersedak karena sedang menikmati hirupan teh hijau dan dengan cepat menguasai diri. Bergegas berdiri, mengikuti kemana langkah kaki maid tersebut.Ruangan dengan penjagaan beberapa maid di depannya sudah ditebak Mao bahwa ia akan dibawa kesana. Kamar tuan besar yang bahkan sampai saat ini belum juga diketahui namanya.Zaki sudah berdiri disana. Mengarahkan Mao untuk menyapa tuan besarnya itu terlebih dahulu."Selamat pagi tu.... "
Keduanya menoleh bersamaan pada sumber suara yang berada tujuh langkah didepan mereka. Adam menepuk kening. Ia lupa tujuan awalnya datang ke kamar abangnya.Lagi dan lagi. Salahkan Rafa yang berbuat seenaknya dan berakhir menyuguhkan pemandangan menyedihkan bagi Adam yang jomblo.Ketukan sepatu yang beradu lantai terdengar mendekat dan hanya menyisakan jarak tak jauh dari kakak beradik itu berdiri. "Ada apa ini? " Ulang orang tersebut. Belum sempat Adam menjawab, ada yang lebih dulu bersuara dengan nada dinginnya."Ada perlu apa? Sehingga anda repot repot datang kesini di pagi hari? "Keduanya beradu pandang. Menampilkan makna tersirat yang terlihat berselisih tanpa perlu diungkapkan.Seorang tamu tak diundang menampilkan senyum kecilnya yang hanya bertahan 2 detik lalu dikembalikan pada sisi wajahnya tegas dan seolah tak terbantahkan oleh siapapun. Tangan kanannya ia selipkan pada kantong celana yang lengkap berpakaian khas
Adam melongo di ruang tamu. Kegiatannya yang sedang menonton film kartun di jam setengah 7 pagi dengan sepiring pancake pisang terhenti. Sapaan selamat pagi yang dilontarkan sang lawan bicara pun ia gantung dan memilih lari terbirit birit ke kamar abangnya berada. "Astagaaaaa, masih pagi dan kalian mau ciuman aja? Plis donggg. Gak kasian apa sama gua yang masih jomblo! " Sungut Adam yang untuk kedua kalinya, berhasil mengagalkan padu kasih mereka. Jangan salahkan Mao yang masih mematung dengan kejadian kilat barusan. Rafa yang memang mengambil kesempatan di waktu yang menurutnya pas. Dasar lelaki! "Siaaaal. Kenapa muncul terus sih? Gak sekolah? Sana berangkat. Gausah ganggu orang dewasa! " Rafa mendorong badan Adam yang menurutnya minimalis dan jauh dari kata 'Macho' yang selalu berhasil membuat adiknya itu bertekad untuk memperbagus badannya dengan gym. Dan entah kapan itu terlaksana. Sampai saat ini aja, Adam masih og
Adam membuka pintu utama dengan lebar diiringi wajah panik sang kakak yang sedang menggendong Mao menuju kamar pribadinya. Ia yang tidak tau apa apa hanya mengekori dua pasangan insan tersebut untuk melihat apa yang terjadi.Direbahkannya Mao dengan penuh kelembutan setelah menyusun beberapa anak bantal untuk menambah kenyamanannya,melepas sepatu, mengurai rambutnya yang terlilit ikatan.Jika tidak dalam kondisi saat ini, Adam pasti sudah berteriak BUCIN terhadap abangnya dan mencibir habis habisan mereka yang selalu berakhir dengan Adam dan Rafa yang saling melempar sindiran bocah.Nasib memang Adam yang belum mau memiliki kekasih dan masih terlalu enjoy menikmati dunianya sambil menyelam bersama para game kesayangan. Padahal di sekolah banyak cewek cewek yang mencoba menarik perhatiannya dengan beragam cara dan selalu diabaikan."Hei sayang. Tenang ya. Tenang" Bisikan Rafa terdengar sebagai dendangan peri peri penolong yang
Mesin mobil Rafa baru dua detik lalu dimatikan. Ia bersiap mengantar Mao pulang kembali ke kosan di jam yang sudah hampir mendekati pukul 10 malam. Namun, iris matanya melebar saat melihat dua mobil ambulan berjajar tidak jauh dari mobilnya terparkir.Mao juga sedang fokus disana. Menurunkan setengah kaca mobilnya dan mendapati tiga orang berpakaian APD lengkap sedang mondar mandir."Maaf ada apa ya pak? " Tanya Rafa setelah turun dari mobil. Mendekati seorang bapak yang juga warga disekitaran sini."Satu keluarga ada yang terpapar virus mas. Itu mau dibawa petugas puskesmas ke rumah sakit"Rafa undur diri setelah mengucapkan terima kasih dan kembali masuk kedalam."Kenapa? Ada apa? "Mao terlihat panik. Petugas itu berdiri di dua rumah dari kosannya berada."Satu keluarga terpapar virus. Mungkin setelah pasien dibawa ke rumah sakit akan diadakan strelisasi dan swab untuk warga yang kontak dekat""
Masih lanjut dengan ke-bucinan Rafa yang berhasil meluluhkan Mao untuk bersantai dulu dan menikmati sarapan pagi yang hampir menjelang siang itu.Enjoy!Sudah berapa kali Rafa menegur sikap makan Mao yang terkesan tidak sopan. Berbunyi kecipak saat makan memang dinilai kurang baik bukan? Rafa ingat ajaran papahnya dulu saat Adam, adiknya makan dengan gaya yang berantakan.Namun, memang susah dan sudah tabiatnya dari sana. Mao hanya bisa menyengir kala mendengar dirinya sendiri berbunyi kecapan dengan Rafa yang hanya menggeleng pasrah."Percuma. Balik lagi kan? Udah deh nikmatin aja makananya. Enak bangetttt ini" Protes Mao sambil menyuapkan nasi goreng kambing ke mulutnya.Rafa sendiri hanya memesan kopi espresso. Mao sudah hapal, bahwa kekasihnya itu tidak bisa sarapan pagi meski satu jam lagi mendekati pukul 12 siang.Jika
let's enjoy!Sesuai agenda. Mao saat ini sudah berkeliling supermarket dengan dorongan belanja yang sudah hampir memenuhi isinya. Bahkan, hal yang menurutnya tidak termasuk kedalam belanja bulanan ikut serta ambil bagian.Awalnya, Mao hanya ingin berbelanja di warung seperti yang selama ini menjadi kebiasaannya, lagipula jarak yang ditempuh hanya beberapa rumah warga saja tapi semua mendadak berubah haluan.Ulah siapa lagi memang, kalau bukan kekasihnya itu yang merengek meminta ikut, setelah Mao mengirimkan pesan singkat. Padahal seharusnya kekasihnya itu sudah berada dikantor, bukan berleha menemani belanja.Ya, sejak semalam.Mao sedang belajar mencoba merubah sikapnya untuk terbuka di hubungan ini. Ia tidak lagi ingin bersikap apatis, semaunya dan jujur terhadap apapun. Ia ingin hubungan ini berjalan semestinya. Simbiosis mutualisme."Mao, coba deh wangi kan? Cocok nih
Setelah adegan 17 tahun keatas itu batal dilaksanakan. Baik Rafa dan Mao jadi saling salah tingkah. Masing masing sibuk bermain handpone hanya untuk mengutak atik sosial media yang bahkan tidak ada pemberitahuan apa apa. Kecuali Rafa yang mengirim spam pesan ke adiknya dengan tumpahan kata kata yang tidak patut dicontoh.Malam kian larut dan keduanya butuh istirahat. Rafa memilih undur diri dengan muka malu malunya persis layaknya anak abg yang baru saja menyatakan cinta.Setelah kepergian Rafa, Mao loncat loncat dengan mengipasi wajahnya yang terus merasa panas dan jantungnya yang masih berdebar kencang."Aissssssssh.. Udah dong jantung, sana ikut tuan lu. Masih jedag jedug aja heran" Omel Mao dengan menepuk bagian dadanya.Ia mengatur napas berulang kali. Mengatur diri supaya lebih rileks."Hampir aja... "Mao memegang bibirnya yang masih terasa berminyak. Setidaknya
"Beliau adalah ibuku"Terjawab sudah apa yang selama ini mengganjal bagi Rafa. Entah harus lega atau justru sekarang ia merasa bersalah. Bersalah karena membuat Mao mengingat dan mengungkap alasan dibalik ini semua.Rafa merengkuh badan Mao yang kembali bergetar melepas tangis. Mengecup sisi kanan kepalanya yang terbalut untaian helai rambut yang hanya sebatas bahu. "Maaf Mao"Sikap dingin dan nada datar mendadak lenyap dengan perasaan sayang yang kian menggelora. Rafa sungguh menaruh harapan besar di hubungannya ini. Bahwa kelak Maudy lah yang akan bersanding dengannya. Menjadi istri seutuhnya sambil merajut kebahagiaan bersama."Aaku yang seharusnya.. hiks.. minta maaf Raf. Aku belum bisa ungkapin ini semua karena hiks..""Hei udah cukup Mao. Jangan nangis terus. Mata kamu bisa bengkak nanti"Mao meluk Rafa kian erat sambil mengangguk dan menggumam kata maaf yang terus dilafal be
Baik Rafa dan Mao keduanya masih sama sama terdiam. Deru tangis sang gadis menjadi alunan malam yang terdengar memilukan.Mao juga belum memberi penjelasan apa apa. Padahal Rafa sangat menantikan itu dan sengaja menekan sisi egoisnya untuk tidak pulang dan memilih mendengarkan alasan. Ia ingin sekali merengkuh Mao dan menenangkan tangisnya. Tapi, seakan ada yang menahan dan membiarkan begitu saja Mao dipeluk kehampaan."Apa kamu hanya ingin menangis? Aku pulang saja kalau begitu,kasian Adam ditinggal seharian"Rafa menyerah. Detik ke menit yang sudah disediakan terbuang begitu saja. Ia butuh istirahat. Badannya butuh sandaran. Hatinya pun sama. Lelah."Raf.. " Cicit Mao disela senggukan tangisnya. Ia merasa sangat bersalah.Mao terkesan menyepelekan sebuah hubungan."Jangan per..pergi. Aaku mmau je..jelasin""Oke"Keduanya sedang mempersiapkan diri. Mao yang bersiap untuk menuntaskan kesal