Damian seakan tak mengubris bibinya yang penuh tanda tanya. Hingga kini Daisy masih saja memasang tampang penuh keheranan .
“Ayo Bibi!” ajak Damian yang mempercepat langkahnya.
Lelaki muda itu tak ragu lagi untuk menggandeng tangan Daisy bahkan mencengkeram kuat dan membuat Ibu kandung Josephine itu mulai merasa kesakitan.
“Apa yang akan kau lakukan Damian, kenapa kau mulai berani bersikap kasar pada Bibi?” tanya Daisy mencoba untuk melepaskan cengkraman Damian.
“Maaf Bibi, aku tak bermaksud untuk bersikap kasar padamu. Aku hanya mengejar waktu, jangan sampai kita kehilangan jejak mereka,” kata Damian sambil melonggarkan cengkramannya pada Daisy.
Daisy kemudian mengangkat wajahnya ke arah Damian dan kembali fokus pada langkah kakinya. Meskipun ia tak tahu apa yang dimaksud oleh keponakannya itu.
“Nicko, Jo tunggu!&rdq
“Kau ingin apa?” tanya Nicko kemudian beranjak sebentar untuk mengambil welcome drink yang memang disediakan untuk para tamu yang berada di lobi.Walau dirinya adalah Tuan Muda, ia tetap merasa risih jika hal yang sepele saja harus dilayani. Mengambil minuman untuk sang istri sudah sepatutnya dilakukan oleh suami.“Samakan saja dengan minumanmu,” jawab Jo.Nicko mengangguk, dan beranjak mengambil dua geles teh lemon dingin untuknya dan Jo. Tentu saja pelayan yang sedang berada dekat bar minuman selamat datang langsung mendatanginya, menawarkan diri untuk memberi bantuan.Namun Nicko menolak, ia malah memerintahkan pelayan itu untuk fokus pada tamu hotel bukan dirinya. Itu sudah tugas dari seorang pekerja hotel, melayani tamu yang datang baik menginap atau sekedar berkunjung.“Untukmu,” kata Nicko menyodorkan minuman pada istrinya yang masih dud
Jo langsung mendongakkan kepala ke arah Ibunya dan Damian yang berdiri berhadapan dengan suaminya. Ia sempat melirik angka yang dituliskan oleh sang Ibu beserta saudara sepupunya. Angka itu jumlahnya teramat besar, dan dia yakin keluarganya pasti hanya ingin mencari alasan untuk mendapatkan keuntungan dari sang suami.Satu miliar itu bukanlah angka yang kecil untuk Jo. Mengumpulkan tiga ratus juta saja ia membutuhkan waktu bertahuntahun, bagaimana dengan satu miliar.“Apa kalian berdua memang bermaksud memeras Nicko? Kalian benar-benar keterlaluan!” amuk Jo sambil beranjak dan menatap keluarganya nyalang.Nicko hanya meraih tangan sang istri kemudian mengangguk, memberinya isyarat untuk duduk diam di sampingnya saja.“Kau tenang saja, masalah seperti ini akan mudah kuatasi,” kata Nicko menepuk paha istrinya.Jo pun menggeleng, bukan ia meremekan sang
Daisy mengangkat tablet Nicko tinggi-tinggi dan berniat untuk membanting benda pipih itu. Ia tentu tak terima dengan apa yang tertera pada layar tablet milik Nicko.“Kurang ajar kau!” serunya sekali lagi.Nicko hanya tersenyum sinis dan terkesan meremehkan. Apalagi saat Daisy mengancam Nicko akan membanting tablet itu hingga hancur berkeping-keping.“Hmm, banting saja jika Anda ingin melakukannya. Aku masih bisa membeli lebih banyak lagi,” kata Nicko yang sengaja untuk memamerkan harta yang ia miliki.“Apa-apaan kau Nicko, bisa-bisanya kau melakukan perbuatan seperti ini? Aku benar-benar tak mengira kau akan melakukan hal yang busuk seperti ini!” seru Daisy penuh kekecewaan.“Memangnya kenapa aku tak bisa melakukannya? Bukankah semua yang kutuliskan ini benar adanya?” tantang Nicko.Pemuda ber jas Armani itu mem
Josephine melirik ke arah lelaki yang telah tertidur lelap di sampingnya sambil melingkarkan lengan pada pinggang rampingnya. Ini pengalaman pertamanya tinggal di bawah atap keluarga Lloyd yang begitu mewah.Sesekali ia melirik suaminya yang tampak lelah setelah mereka berdua bertukar keringat melepas rindu. Suaminya memang perkasa dan ganas saat berhubungan, Jo benar-benar merasa terbang melayang saat sang suami memanjakan dirinya. Tak ada satu inchi pun dari tubuhnya yang luput dari sentuhan tangan, bibir atau lidahnya.Tak heran jika sekarang sang suami tertidur lelap setelah menguras tenaga yang cukup banyak. Biasanya mereka akan tertidur lelap dan saling berpelukan setelah membersihkan diri, tapi tidak dengan kali ini. Jo justru merasa kesulitan untuk tidur.Harusnya ia merasa tenang dan nyaman setelah berkumpul kembali dengan suaminya, tapi ia justru merasa gelisah kali ini. Sebentar-sebentar Jo harus berpindah-pin
Perempuan berwajah seperti Barbie itu pun kembali menunduk. Ia semakin bimbang, ada sedikit penyesalan saat mempertanyakan hal ini pada suaminya.Sesekali ia memaki dirinya sendiri dalam hati. Kenapa harus bersikap begitu bodoh dan mengajukan pertanyaan yang bodoh. Namun bagaimanapun keadaannya sudah tak lagi sama di mata Jo. Nicko bukanlah lelaki miskin, pengangguran dan tak memiliki nama belakang. Nicko tak hanya kaya, tapi lelaki itu juga bosnya.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Josephine, Nicko pun tersentak. ia langsung bangkit berdiri mendengkus dan mengacak-acak rambutnya.Pertanyaan ini sungguh konyol dan di luar ekspektasinya. Tak seharusnya ini keluar dari bibir Jo yang merekah.“Jo, pertanyaan macam apa ini? Apa itu artinya kau meragukanku? Apa kau tak bisa berpikir sedikit lebih jernih?” tanya Nicko yang mencoba untuk terlihat tenang.Sadar kalau ucap
Sara langsung mencium kening putrinya, Angeline yang telah duduk di meja makan bersama sang Ayah, Tuan Wu. Perempuan itu telah berpakaian rapi dan bersiap untuk melakukan pekerjaannya di kantor.“Kau mau ke kantor hari ini?” tanya Tuan wu pada putri sulungnya.Sara hanya mengangguk dan mulai menikmati oat dengan raspberry dan susu tanpa lemak di hadapannya.“Aku akan ke kantor cabang setelah mengantar Angeline sekolah,” jawabnya enteng.“Kurasa kau tak perlu melakukannya, sebaiknya kita fokus pada acara yang lain saja!” seru Tuan Wu.Sara mengerutkan dahinya, meletakkan sendoknya sejenak dan memperhatikan ayahnya. Perempuan Asia ini tak mengerti kenapa sang Ayah justru menghalangi keinginannya untuk ke kantor cabang. Kantor cabang milik Tuan Wu memang sedang mengalami masalah, penjualan di kantor itu semakin hari semakin menurun dan perem
Perlahan Nicko melepaskan dekapannya pada sang istri. Kini tangannya yang sedikit pucat karena minimnya sinar matahari saat hidup dalam penjara pun membelai rambut Josephine dengan lembut.Mata cokelat itu menatap Jo lekat-lekat, dan seperti biasa selalu teduh dan memberikan ketenangan.“Katakan saja apa yang kau inginkan Jo?” tanya Nicko dengan lembut.Jo pun menunduk, ia mulai ragu untuk mengungkapkan permintaannya kali ini. Permintaannya kali ini memiliki hubungan dengan keluarga Windsor.“Mmmm sebenarnya aku … aku bingung untuk mengungkapkannya, dan mungkin aku takut untuk mengatakan hal ini padamu, tapi,—” Jo tak melanjutkan kalimatnya, ia kembali menunduk.Jika ia tak mengatakan hal ini tentunya pikiran Jo terus saja diganggu oleh bayangan tentang keluarganya. Namun jika ia mengatakan, Jo khawatir akan muncul kemarahan pada suaminya.
Mobil mewah milik Nicko berhenti di sebuah bangunan bergaya kuno tapi kokoh. Di halaman gedung itu tampak beberapa anak-anak kecil berlarian. Sementara di sudut lain anak remaja tampak sibuk berolahraga.Yang menarik perhatian Nicko adalah seorang anak laki-laki yang hanya duduk sendiri di bawah pohon sambil mendekap lututnya. Nicko menurunkan kaca mobilnya dan kembali memperhatikan anak itu lagi. Posisi mobilnya memang tak jauh dari pohon tempat anak itu berteduh, itulah sebabnya Nicko dapat melihatnya dengan jelas.“Kasihan sekali,” gumam Nicko mengejutkan Jo yang sedang duduk di sampingnya.Perempuan berambut pirang itu pun hanya mengerutkan dahi. Ia tak juga mengerti kenapa Nicko harus mengajaknya mengunjugi penampungan anak-anak. Apalagi saat suaminya bergumam kasihan, mungkinkah sang suami hendak mengadakan kegiatan amal di tempat ini.“Kau akan menjadi donatur untuk tempat in