Josephine pun menyadari keheranan pada Paman dan sepupunya pun ingin tertawa. Namun ia tetap menghormati keluarganya dan memperkenalkan mereka pada Tuan Evans. Tanpa mengetahui maksud dari sikap yang ditunjukkan oleh wakil direktur Richmond.
"Perkenalkan, ini adalah Nenekku, Elizabeth Windsor, beliau menjabat sebagai penasihat perusahaan Windsor," katanya kemudian memperkenalkan satu-persatu termasuk suaminya."Ini suamiku Nicholas," katanya menunjuk pada pria yang ada di sampingnya."Hei Jo, apa kau tak malu memperkenalkan pecundang itu pada Tuan Evans?" balas Catherine mempertegas posisi Nicko di keluarga mereka."Sst, sudahlah tak perlu kau perjelas posisinya, Istriku!" tambah Armando, kemudian pria berambut hitam itu pun menatap ke arah Tuan Evans dan menyapanya ramah."Apa kabar Tuan Evans, saya senang sekali melihat kehadiran Anda di tengah keluarga kami," kata Armando berusaha bersikap ramah, tapi sebetulnya ia hanya bArmando tak berkata apa-apa semenjak kembali dari menjawab telepon. Pria angkuh itu lebih banyak diam mendengarkan percakapan keluarga Windsor dengan Tuan Evans.Tak seorangpun peduli dengan perubahan sikap menantu kesayangan Edmun kali ini kecuali Catherine yang mempertanyakan kenapa. Juga senyum satir yang diberikan oleh Nicko karena tahu apa yang membuatnya berubah."Tunggu giliran kalian, Windsor!" batin Nicko sambil menggenggam garpu kuat-kuat."Saya cukup senang melihat hotel kalian," kata Raymond Evans membuka percakapan setelah melihat drama yang barusan terjadi di hadapannya."Terima kasih Tuan Evans. Ini semua telah diupayakan oleh mendiang suamiku sejak lama. Kami sebagai anggota keluarga ingin sekali merawat apa yang telah ditinggalkan oleh beliau," kata Nenek."Anda benar sekali Nyonya. Saya banyak mendengar tentang kinerja Tuan Gilbert Windsor. Semoga beliau tenang di sana dan tersenyum melihat perkembang
Lobby hotel Windsor tampak ramai, tapi bukan karena ada tamu yang hendak cek in di hotel. Ada dua orang yang tengah marah-marah di depan meja resepsionis.Pertama adalah Tuan Watanabe yang mengeluhkan menu sushi dan sashimi yang tidak segar. Pria Jepang ini merasa sangat malu karena saat itu beliau tengah mengundang koleganya, dan saat ini menantikan pertanggung jawaban.Satu lagi adalah Tuan Reynold Henry yang tiba-tiba tidak bisa menggunakan ruangan Opal untuk pertemuan mereka. Keluarga Henry nampak tak terima dengan alasan yang diberikan oleh resepsionis tentang pemeliharaan ruangan.Sebenarnya bagi tamu hotel ini tak masalah jika memang ada pemeliharaan. Namun seharuanya pihak hotel menyediakan alternatif lain untuk mengganti ruangannya. Bukan membatalkan dan mengembalikan DP secara tiba-tiba."Saya ingin bertemu dengan General Manager hotel ini!" seru Tuan Henry sambil menggebrak meja resepsionis, membuat petugas yang berjaga
Damian tak bisa berkata apa-apa saat dua orang tamu mencoba menghadangnya."Hei, aku ingin bicara dengan General Manager sekarang!" seru Tuan Henry diikuti oleh anggukan Tuan Watanabe di sebelahnya.Dengan tenang Damian menjawab kalau dialah General Manager dari hotel Windsor."Ada yang bisa saya bantu Tuan-Tuan?" tanya Damian. Wajah dua pria di hadapannya tampak tak bersahabat. Membuat nyali Damian menciut secsra perlahan."Hei, kau ini bagaimana, aku sudah memesan ruangan ini padamu kan?" tanya Tuan Henry dengan wajah yang memerah.Andai saja ini film kartun, pria berwajah oval di depannya pasti sudah mengeluarkan asap dari telinga. Sementara pria bermata sipit di sampingnya hanya diam namun bahunya naik turun karena napas yang memburu."Tuan ... Tuan ada apa?" tanya Damian mencoba untuk menguasai keadaan.Cih! Pria berambut pirang di hadapannya membuang muka kemudian bicara dengan san
Tak ada pilihan lain bagi Damian selain meminta bantuan keluarganya yang ada di ruangan Opal. Ia teringat kalau Nenek adalah seorang penasihat, dan ayahnya adalah komisaris. Mereka berdua pasti bisa memberikan solusi untuk masalah yang dihadapi kali ini. "Maaf Tuan ... Tuan silakan duduk dulu, akan saya bicarakan masalah ini dengam penasihat dan komisaris," pamit Damian kemudian mempersilakan kedua tamunya untuk duduk. Damian lalu memanggil pelayan dan memintanya untuk menyediakan minuman dan snack manis untuk mereka. Berharap agar tamunya sedikit merasa rileks. Dengan langkah yang cepat, pemuda ini pun menuju ruangan Opal dan menemui Ayah serta neneknya. Saat itu, ia tengah membuka pintu dan berpapasan dengan pasangan yang paling ia benci, Josephine dan Nicko. Lebih menyebalkan lagi pasangan itu tampak bahagia dan bergandengan mesra. Raut wajah dan mood mereka terlihat begitu berbeda dengannya. Sengaja ia tak mau menegur sepupunya. Ia jus
Kedua sejoli itu berjalan bergandeng tangan mengitari taman kota. Sejenak si perempuan melirik ke arah pasangannya."Perutmu berbunyi, apa kau lapar?" tanyanya. Ia tahu, kalau semenjak di hotel tadi suaminya hanya sempat meminum secangkir teh."Hmm ya begitulah," jawabnya malu-malu.Perempuan cantik di sampingnya mencubit lengan sang suami manja, kemudian berkata,"Aku juga, sayang," jawabnya sambil melihat ke sekeliling.Hanya ada pedagang makanan cepat saji ala street food di sana. Untuk mencari restoran, mereka harus menggunakan jembatan penyebrangan, dan perempuan itu terlalu malas melakukannya."Kau ingin apa?" tanya suaminya."Hmm bagaimana kalau kita makan hotdog saja, sudah lama aku tak memakannya," jawabnya.Tanpa ragu, laki-laki itu pun merangkul pundak istrinya dan mengajaknya ke sana.***"Kau bilang ada yang ingin dibicarakan denganku?" tanya
Catherine memperhatikan suaminya yang semenjak tadi hanya diam. Ia pun memberanikan diri untuk menyentuh lengan sang suami dan menanyakan keadaannya."Sayang, kau sakit?" tanyanya sambil memeluk erat lengan suaminya.Namun Armando tak menjawab omongan Istrinya. Pria hispanic ini memilih untuk menatap ke arah jendela terus sampai sopirnya berhasil mengantar mereka.Melihat reaksi Armando yang tidak merespons, kakak dari Josephine ini pun memilih untuk ikut diam. Ia tak ingin menyulut emosi dari sang suami.Catherine selalu mencoba untuk menjadi istri yang sempurna untuk Armando. Salah satunya adalah dengan kepatuhan dan menghargai privasi dari sang suami.Ia sama sekali tak pernah mendesak sang suami untuk menjawab semua pertanyaannya, seperti sedang dimana, bersama siapa, sedang apa. Jika Armando diam, ia pun akan memilih diam, meski dalam hati ia sangat ingin tahu.Pernah sesekali ia mendesak Armando deng
Tak biasanya Edmund dan Daisy mengajak Nicko untuk menikmati sarapan pagi bersama mereka. Yang lebih mengejutkan lagi, ia tak perlu menyediakan sarapan, karena set menu american breakfast sudah tersedia. Tentu saja hal ini menimbulkan kecurigaan pada dirinya.Sejenak pemuda kaya yang menyamar ini melirik ke arah istrinya yang juga keheranan."Ada apa dengan Ayah Ibumu?" tanyanya lirih dan penuh curiga.Sang istri hanya mengangkat bahu karena tak memiliki jawaban."Sudahlah, kita nikmati saja, mungkin Ibu ingin berdamai denganmu," bisik Josephine. Nicko hanya mengangguk, tapi dalam hati ia tak setuju dengan pendapat istrinya. Pasti akan ada sesuatu di balik semua ini.Ia pun mulai menyuapkan pancake madu perlahan-lahan."Lumayan juga buatan Ibu mertua," batinnya.Benar saja, saat Nicko hampir menyelesaikan sarapannya, Ayah mertua pun mulai membuka suara."Kau suka dengan masa
Daisy tiba-tiba mendekati putrinya yang tengah menikmati hari liburnya dengan menonton TV dan bercengkrama dengan suaminya."Jo, kau jangan hanya diam di rumah!" serunya."Ibu, aku hari ini sedang libur bekerja. Besok aku baru mengunjungi Richmond dan bertemu dengan Tuan Evans," katanya."Lebih baik kau temani Ibu ke tempat teman Ibu.""Untuk apa Bu?" jawabnya malas."Sudah kau menurut saja!"Perempuan berambut pirang itu pun melirik ke arah suaminya. Laki-laki di sebelahnya pun mengangguk dan memberi ijin istrinya untuk pergi."Cepat ganti pakaianmu dengan busana yang pantas, bukan celana pendek dan tanktop seperti saat ini!" perintah Daisy yang disambut Josephine setengah-setengah."Dan kau Nicko, cepat siapkan mobil dan antar kami berdua ke restoran cantaloupe!" perintah Daisy."Baik Bu!"Pemuda itu pun menuruti kemauan Ibunya dan segera memanaskan mob