Suasana asing sangat terasa begitu Daisy turun dari taxi. Kali ini ia datang ke lingkungan pasar, yang seumur hidup hanya beberapa kali dikunjungi olehnya.
Aroma amis dari ikan dan daging yang bercampur dengan sampah sayuran menusuk-nusuk hidungnya. Membuat wanita ini terpaksa menggunakan saputangannya untuk menutup hidung.Sesekali tubuhnya tersenggol pedagang dan buruh angkut yang ada di sana. Membuat Daisy harus mengusap bagian bajunya yang tersenggol, karena tak rela baju mahalnya terkontaminasi kuman."Huh, kenapa juga aku harus ke tempar ini? Tapi kalau tidak kesini, tentu aku akan terus penasaran," pikirnya.Daisy berbelok ke arah kiri, memasuki sebuah gang mengikuti petunjuk yang ada pada secarik kertas pemberian penjaga rumah Brighton. Namun baru beberapa langkah memasuki gang, ia sudah dikejutkan oleh sesuatu.Seorang pemuda dengan rambut hitam tampak memotong-motong daging, dengan ditemani wanita seumurannya yang m"Hei Nyonya besar, apa kau tidak melihat kalau di sekitarmu hanya ada penjual daging dan ayam?" sindir salah seorang pedagang."Ha ha benar sekali ... Apa jangan-jangan kau ini pasien rumah sakit jiwa ya!" Pedagang yang lain ikut menyindir Daisy.Mendengar ocehan itu tentu saja membuat Daisy naik pitam. Martabatnya serasa jatuh oleh sindirian-sindirian mereke. Sementara Ellen tetap saja bersikap santai dan tak merasa bersalah."Kau! Kau membawa uangku 250 juta, dan menjanjikan akan mengenalkanku pada pembuat perhiasan agar aku bisa mendapatkan harga murah," ucap Daisy sambil mengarahkan telunjuk ke arah wanita di hadapannya.Ellen hanya memandang temannya kemudian mencibir lagi."Kau ini bicara apa? Mana mungkin kami menjual berlian. Uang dari mana untuk modal usaha berlian," balasnya.Sementara Nate putranya hanya menunduk, ia tak berani untuk menatap Daisy ataupun berbicara. Ia tak ingin membuat Ibunya m
Nicko melangkah kaki lebar-lebar dan menyusul istrinya ke kamar. Dia harus menghibur Jo yang sangat kesal akibat Ibunya menggunakan uang tabungan miliknya.Didapatinya tubuh ramping istrinya yang cantik tengah telungkup dan menangis sesenggukan. Pemilik tinggi enam kaki itu pun mengambil tempat duduk di sampingnya dan mengusap kepala Jo dengan lembut."Sayang," panggilnya.Perlahan-lahan Jo mulai membalik tubuhnya dan duduk di samping Nicko. Kepalanya disandarkan pada pundak sang suami."Ibu membogongiku. Uang yang susah payah kukumpulkan sirna begitu saja," ungkapnya dengan suara yang terisak."Katakanlah Jo, ungkapkan semua kemarahanmu," kata Nicko yang memang memilih untuk membiarkan istrinya mengungkapkan semua amarahnya.Tak ada yang lebih melegakan bagi seorang yang sedang susah selain memiliki sosok pendengar yang baik.Ia tahu betul bagaimana perjuangan istrinya mengumpulkan pundi-pund
Armando melirik sosok perempuan yang tengah duduk di pinggir kolam renang keluarga Blanc. Kulitnya yang gelap menampilkan eksotisme yang khas dibalik bikini kuning terangnya.Dilihat dari posisinya yang telentang, dengan majalah yang menutupi wajah. Armando menduga dia sedang tertidur. Saat itulah, sahabat karib Damian terpikir sebuah ide tiba-tiba."Hmm sepertinya aku punya ide tepat untuknya. Baik, kau telah merebut posisiku, maka kupastikan kau tak akan betah berada di sini," gumamnya.Pria bertubuh tinggi ini kemudian berjalan mengendap-ngendap dan mendekati sundeck tempat perempuan itu berbaring. Sebuah benda pipih keluaran terbaru pun seakan-akan mengundangnya."Aku akan membuatmu kembali pada perusahaan lamamu."Armando tahu kalau Raina memang cerdas, tapi dia tak terlalu peduli pada keamanan privasinya. Sandi atm, email semuanya sama dan berhubungan dengan tanggal lahirnya. Bahkan sepupunya ini diketahui tak pe
Baik Raina maupun Armando hanya bisa memperhatikan benda pipih yang jatuh ke air itu. Tentu saja benda itu tak lagi bisa berfungsi karena terendam air.Sejenak Raina membulatkan mata ke arah Armando, dan bermaksud menunjukkan kekesalan yang tengah dihadapinya. "Ha ha rasakan sekarang kau tak akan bisa menghubungi kolegamu lagi!" balas Armando sambil menertawakan sepupunya.Tentu Armando tak ingin mengakui kalau ia merasa bersalah atas apa yang baru saja ia lakukan. Niat awalnya untuk mensabotase terpaksa tertunda, tapi ia cukup senang melihat Raina kehilangan data di ponselnya.Tanpa sepengetahuan Armando, Raina pun tersenyum sinis. Meskipun Raina bukan tipe orang yang terlalu peduli pada keamanan privasinya, tapi bukan berarti ia ceroboh. Raina selalu menyimpan cadangan datanya di dua tempat, hingga ia tak perlu khawatir untuk kehilangan."Kau kira bisa menghancurkanku semudah itu Armando?" pikirnya.Tak berkata apa-a
Raina kembali menolehkan kepalanya ke arah Pamannya. Kali ini ia sengaja memasang ekspresi wajah yang muram, yang tentu saja menggugah rasa penasaran dari Roberto."Ada apa Raina? Kenapa kau tampak begitu muram?" tanya Roberto yang melihat ada perubahan pada wajah keponakannya.Dengan suara sendu yang dibuat-buat, Raina pun menceritakan apa yang terjadi pada ponselnya, tentu saja dengan cerita yang dibuat-buat."Begini Paman, tadi aku sedang memeriksa email di kolam renang, tanpa sengaja Armando menyenggolku dan membuat ponselku terjatuh. Tentu saja sekarang aku tidak memegang ponsel, dan tak bisa menghubungi siapapun," keluh Raina."Masalah itu tenang saja, Armando akan membelikan ponsel untukmu. Kau akan bertanggung jawab kan Armando?"Lelaki hispanic yang tengah menikmati kopi paginya pun terbatuk karena tersedak tiba-tiba. Bukan karena harus membeli ponsel baru untuk Raina, tapi ia sangat yakin kalau membeli ponsel
Langkah Armando terpaksa berhenti saat Raina memanggilnya dengan sebutan El-Hijo*. Sebutan yang membuatnya murka, karena dianggap anak kecil.Dengan emosi yang memuncak, dan wajah yang memerah, laki-laki itu pun melangkah mendekati sepupunya. Jari telunjuknya diarahkan pada Raina yang berdiri dengan satu tangan di pinggang dan dagu yang teragkat."Hei jangan berani memanggilku dengan sebutan El-Hijo!" protes Armando."Kenapa? bukankah kau ini seperti anak kecil? Kau tidak lihat bagaimana Ayahmu tidak mempercayaimu, sampai-sampai perusahaannya pun dipercayakan padaku.""Huh, dasar perempuan busuk! Sudah berani kau rupanya!"Namun Raina hanya tertawa mendengar ucapan Armando. Ia tak ingin lagi ditindas oleh Armando seperti dulu lagi.Statusnya yang merupakan anak adopsi dari adik perempuan Roberto, ditambah warna kulit yang berbeda membuat dirinya selalu direndahkan Armando. Perlakuan yang
Armando berkali-kali melirik ke arah Raina yang sedang duduk menekuni layar computer. Tak bisa dipungkiri kalau kali ini ia sedikit takut dengan perempuan itu."Sial! Jika aku berani menolak permintaannya, ia pasti akan melaporkan pada Ayah," gerutunya.Namun Armando terlihat gelisah kali ini. Ia bingung bagaimana harus meminta ijin pada Raina untuk meninggalkan kantor sejenak.Raina pun memeriksa ponsel Armando saat mendapati notifikasi pada layar datar dalam genggamannya. Gadis itu pun meletakkan ponsel saudaranya dan menatap ke arahnya."Tuan Wilson mengirim pesan padamu, bahwa ia sedang dalam perjalanan menemuimu," kata Raina tanpa melihat ke arah sepupunya.Armando pun segera berdiri dan mendekat ke arah Raina, dan berharap untuk mendapatkan belas kasihannya. Ia memang ada janji dengan Zachary Wilson, seorang pengacara yang akan mengurus kasus perceraiannya dengan Catherine."Raina," katanya kali ini
Catherine mendatangi Nicko yang tengah menunggu di pelataran parkir Hotel Windsor. Kali ini kedatangan kakak Josephine adalah untuk mencari pekerjaan dan menggantikan posisi Josephine.Dengan langkah yang sedikit gontai, ia pun mendekati adik iparnya yang tengah memainkan ponsel. Sejenak ia kembali mengagumi suami adiknya yang terlihat dari samping, saat duduk di bangku kemudi dengan keadaan pintu yang terbuka."Dia memang sangat tampan. Tak heran jika Josephine begitu mencintainya," pikir Cathy. Sementara sosok yang diperhatikannya cuma diam dan tak menyadari.Catherine pun segera melupakan sosok indah di depannya dan kembali pada kenyataan. Melangkah mendekat dan bersiap untuk pulang."Kau sudah selesai?" tanya Nicko saat kakak iparnya sudah mendekat."Ya, aku sudah selesai," jawab Catherine yang masih mencoba menetralisir perasaannya."Ya sudah, kita mau ke mana lagi?" tanya Nicko yang semakin membuat k