File-file telah tersimpan, sambil menunggu layar monitor padam, mata ini terfokus pada bingkai foto di atas meja kerja. Jariku mengusap permukaan kaca. Ada senyuman cantik tercetak di sana. Dialah duniaku, penyemangatku. Namun, tiba-tiba teringat akan keanehan sikap Mayra hari ini. Tak ada telepon atau notif pesan yang mengingatkanku waktu salat dan makan siang. Termasuk tentang tadi pagi, saat Mayra spontan memeluk dan menciumku. Lantas mengejar hanya untuk mengatakan bahwa dia mencintaiku. Sangat ganjil. Sayang, seharian ini pikiranku hanya terfokus dengan pekerjaan. Sampai-sampai aku terlupa dengan binar terakhir saat dia menatap dari kejauhan. Bisa jadi ada sesuatu yang tersirat, tetapi aku mengabaikannya. Ada apa denganmu, May? Segera kuraih ponsel dan mengusap layar bertuliskan nama kontaknya. Tertera tulisan memanggil, tak berubah menjadi berdering. Berarti sedang tidak aktif. Beralih menggeser kontak mencari nama Mama. "Hallo, Ndra!" Beruntung langsung diangkat oleh M
"Saya berangkat dulu, May." Hangat peluk juga ciuman di kening kuterima sebelum Mas Gun berpamit. "Tunggu, Mas!" Aku menahan lengan besar berbalut kemeja panjang hitam itu, lalu memutar tubuhnya. "Kenapa, Say--" Bibir itu terdiam saat aku berjinjit untuk membunuh jarak di antara kami. Lantas menarik wajah usai menuntaskan spontanitasku. Tangan ini masih terkalung di lehernya. "Maaf." Aku menarik wajah dan menunduk. Namun, wajahku kembali terangkat oleh satu jarinya, hingga sepasang mata tajam Itu menghujam kedalaman mata ini. "Ada apa, May?" Kupaksakan bibir ini mengembang guna mengalihkan kecurigaannya. Bagaimana tidak curiga, sebelumnya aku tak pernah seagresif ini. Mas Gun lah yang selalu memancingku untuk mengawali. "Bonus extra untuk tadi malam." Dia menepuk kepala, kemudian tertawa. Tawa lepas yang selalu membuatku jatuh cinta. "Masih ada waktu kalau mau nambah, May." Dia memperlihatkan arloji keluaran Swiss di pergelangan tangan. "Sudah cukup, kok, Mas. Nanti malah
"Sudah puas menghukum perut Papi?" Lelaki berperawakan sedang itu menepuk-nepuk perut setengah buncitnya. Menuruti mauku, selama kurang lebih seminggu ini, Papi melahap semua makanan yang tidak terbiasa masuk perutnya. "Sudah, Pi. Ternyata jajanan pinggir jalan enak, ya, Pi." "Dasar!" Papi mengacak kepala dengan balutan hijab dusty pink ini. "Ponsel kamu," lanjutnya. Sembari menyerahkan benda yang tak ingin kulihat beberapa hari ini. "Iya, Pi." Jujur, enggan sekali menyentuh ponselku sendiri. Namun, Papi sudah harus kembali. Banyak pekerjaan tertunda hanya karena ingin menemaniku di sini. "Papi pulang dulu, ya. Ingat! Jangan lama-lama menghanyutkan diri dalam kesedihan. Kamu berhak membahagiakan diri sendiri." Tangan tuanya membingkai wajahku. Tak lupa memberi motivasi agar putrinya ini jauh lebih kuat. Lantas memelukku erat. "Iya, Pi. Maafkan Mayra belum bisa melahirkan generasi-generasi penerus keluarga Handoko, seperti harapan Papi waktu itu." "Sudah, tidak perlu dibahas.
"Tumben kamu berangkat pagi-pagi, Ndra." Mama menatap keheranan di bawah tangga. "Ada urusan, Ma," jawabku, mencium punggung tangannya, singkat. "Enggak sarapan dulu?" "Enggak usah, Ma." Menggulung lengan kemeja hingga sesiku, aku meninggalkan wanita yang akhir-akhir ini merasa bersalah atas kepergian Mayra. Aku tidak bisa diam saja menuruti keinginan Papi. Aku ini lelaki, punya hak untuk menyelamatkan rumah tangga kami apapun dan bagaimanapun caranya. Cukup satu minggu lebih aku tersiksa tanpa sosoknya. Aku telah terbiasa dengan usapan lembutnya saat membangunkanku pagi hari. Menyiapkan keperluanku dengan rapi. Memanjakan diri ini dengan perhatian juga ketulusan di selarik senyum hangatnya. Aku tidak mau kebiasaan itu digantikan orang lain. Sekalipun itu Denia--mantan istriku sendiri. Mayra berhasil membuatku jatuh cinta dengan caranya. Jika nanti persoalan ini tak pernah berujung dan mengharuskan kami untuk berpisah. Aku bersumpah bahwa ini adalah pernikahan terakhir. Tak s
'Setiap orang pasti pernah memiliki penyesalan terbesar dalam hidup, May. Tapi bukan berarti kita bisa semudah itu mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Kenangan itu cukup untuk dikenang bukan dilakukan kembali.' 'Biarlah cinta saya dan Mas Indra terkubur bersama kenangan itu. Cukup sampai di situ. Karena saya tahu bahwa dia sangat mencintai kamu, May. Segala sesuatu yang dia inginkan dari seorang wanita, ada dalam diri kamu.' 'Saya menyaksikan sendiri, bagaimana Mas Indra begitu terpukul mendengar kamu pergi dan meminta cerai. Hanya di depan Zio, dia berpura-pura tersenyum. Tapi diam-diam, saya sering memergokinya tengah melamun, frustrasi, bahkan menangis. Dan itu membuat saya merasa sangat bersalah. Takut menjadi penyebab kemelut rumah tangga kalian.' 'Tolong angkat telepon saya, May. Setidaknya balas chat saya. Mari kita bicara dari hati ke hati sebagai sesama wanita. Saya berani bersumpah, tidak ada niatan di hati saya untuk rujuk dengan Mas Indra. Intens-nya saya datang k
"Maafkan mama, May." Wanita tua itu menunduk, ada air mata yang tersimpan di sana. Aku membungkuk mensejajarkan tubuh dengan beliau yang terduduk di kursi roda. Menggenggam tangan keriput nan dingin di pangkuannya. "Mayra sudah memaafkan Mama, jauh sebelum Mama meminta maaf." Aku menelungkupkan kepala di pangkuan ibu mertua. Tak lama, kurasakan usapan lembut di bahu. Ada kasih sayang tulus yang tersalur darinya. "Alhamdulillah." Mas Gun yang menyaksikan adegan ini tampak lega. Dirangkulnya dua wanita yang teramat dia cintai. Lantas diciuminya bergantian. Aku kembali. Setelah perenungan panjang tempo hari. Setelah mengumpulkan rekam peristiwa yang kami lalui hingga detik ini. Hatiku cenderung memilih untuk bertahan. Menyambut erat tangan yang juga mati-matian ingin mempertahankanku di sisinya. Menerima segala sesuatu yang tak bisa kuberikan padanya. Tidak ada alasan lagi untuk pergi, karena dia memiliki seribu satu cara agar aku tetap tinggal. "Papa!" Zio muncul dari ruang dalam
"Mas! Ada apa?" Kening istriku mengerut. Entah bagaimana meluapkan kebahagiaan tiada tara ini. Usai mengakhiri percakapan dengan dokter Hans, aku tak langsung menjawab pertanyaan Mayra. Beranjak dari kursi, kutarik tubuh wanita yang masih keheranan itu ke dalam pelukan. Erat. Menghujani tiap inci wajahnya dengan kecupan. Tak peduli meski ada Firman dan Rasti di sana. "Mas ... siapa yang menelepon?" "Dokter Hans, Sayang." "Gimana hasil tes terakhirku, Mas?" Mayra mulai tak sabaran saat aku menyebutkan nama dokter yang menangani program bayi tabung kami. "Alhamdulillah ... positif, May." Dia menarik wajah dari dadaku, menatap suaminya ini dalam-dalam. Bibir tipisnya menganga seakan tak percaya. Perlahan jariku mengusap kaca-kaca di sepasang mata indah itu. Namun, sekali mengerjap tetesan bening tetap meluncur di kedua pipi. "Kamu serius, Mas?" Aku mengangguk yakin. "Iya, Sayang." "Alhamdulillah, ya Allah." Mayra kembali memeluk. Untuk beberapa saat kami terdiam, hanya isak yan
Jam di nakas masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun, sejak terbangun karena tenggorokanku haus tadi. Sulit mata ini untuk terpejam kembali. Bergonta-ganti posisi tidur pun tetap membuatku merasa tak nyaman. Aku gelisah. Bukan karena memikirkan persoalan berat. Namun, tiba-tiba saja terlintas ingin memakan sesuatu. Makanan yang tidak tersedia di rumah ini, mustahil juga ada yang menjualnya di jam seperti ini. "Mas!" Aku menepuk pundak lelaki yang tengah terbuai mimpi. "Hmmm." Dia hanya menggeliat sebentar, lalu tertidur lagi. "Mas--" Kuguncangkan lagi bahu kekar itu. Kali ini dia terbangun dan langsung terduduk mengumpulkan kesadaran. "Kenapa, Sayang?" Tangan besarnya terulur mengelus pipiku. "Aku--" Ah, bagaimana mengatakannya? Tega sekali aku mengusik suamiku yang tengah beristirahat, setelah seharian penuh bekerja keras. Ditambah mengurus istrinya yang mendadak sensitif dan manja. "Kamu sakit? Muntah-muntah lagi?" Dia menempelkan telapak tangan di kening, lalu beralih