(POV Sabiru)
Hari yang menyenangkan. Nanti sore aku dan Nabila akan menghabiskan waktu berdua saja. Couple time.
Keanu? Tentu saja bayi itu akan dititipkan pada Ibu Maryam, Ibu mertuaku. Momen yang sangat jarang dilakukan ini membuatku tidak ingin segera pulang.
Selama setahun setengah pernikahanku dengan Nabila, bisa dihitung dengan jari kapan kami pergi berdua saja. Tidak sampai sepuluh kali. Itu pun dulu kebanyakan karena menemani dia periksa kandungan.
Momen yang paling berkesan adalah saat kami pergi nonton bioskop bersama. Di mana waktu itu kandungan Nabila sudah memasuki masa kelahiran. Wanita keras kepala itu ngotot ingin pergi ke mall cukup dengan menaiki motor saja.
Tadinya sempat ragu, tapi setelah dipikir tidak tega juga. Pasalnya di pernikahan pertama kami, jangankan meminta sesuatu. Nabila ngomong baik tanpa nada ketus merupakan momen langka. Se
"Bila ... kamu gak papa?!" tanyaku setengah berteriak.Karena tidak mendapat balasan, aku bergegas menyusul Nabila ke belakang. Kuketuk pintu kamar mandi."Pergilah, Kak! Jangan buat keluarga Kiara kecewa. Aku baik-baik saja kok," sahut Nabila dari dalam kamar mandi."Kamu yakin?" Aku memastikan."Iya. Pergilah!"Mendengar perintah Nabila yang bijak, aku tidak bisa lagi menahan. Dengan langkah gontai kutemui lagi Kiara dan adik-adiknya."Ayok kita berangkat!" ajakku lesu."Kak Bila?" Nasya memastikan keadaan kakaknya."Dia gak ikut," balasku lemah.Ogah-ogahan aku melangkah menuju mobil. Diriku kian kesal saat Amara membukakan pintu mobil depan untuk Kiara."Tara di depan bareng aku!" tegasku cepat.Tidak peduli Amara dan Kiara menekuk mukanya mendengar perintahku. Walau begitu mereka patu
(POV Sabiru)Tingkah aneh adik-adik Kiara semakin menjadi. Kinara dan Amara bagai cacing kepanasan. Mereka bergerak-gerak tidak jelas. Merasa kegerahan di ruangan bertemperatur rendah seperti ini."Aku mau ke kamar mandi!" seru Amara menggelegar. Gadis itu tampak begitu seksi selepas melepas blazer putih yang ia pake dari rumah. Kini ia hanya mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih ketat setinggi pusar. Secepat kilat dia berlari menuju toilet dalam resto ini. Bahkan sampai menabrak pengunjung lain yang berpapasan dengannya."Aku juga ah!" Kinara ikut bangkit dari duduknya. Dia pun terbirit menyusul adiknya ke toilet.Aku menggeleng heran.Ada apa dengan mereka? Kenapa adik-adik Kiara bertingkah aneh seperti ini?Kinara jauh lebih memalukan lagi. Urat nadinya seolah sudah putus. Gadis yang sehari-hari tampak kalem bahkan cenderung agak jutek s
(POV Sabiru)"Apa? Apa yang mesti kulakukan sekarang?" tanyaku putus asa. Kedua bocah itu mematikan ponselnya. Kusugar rambut ini dengan frustasi. Kenapa jadi rumit seperti ini?"Tenang, Biru! Aku akan melacaknya." Omongan Reza sedikit menyejukkan. Pasalnya aku tahu kalau Pemuda itu ahli di bidang otak-atik perangkat. Reza lantas mengeluarkan ponsel pintarnya dari dalam saku kemeja. "Kamu hapal email Tara atau adikmu?" tanya dia serius."Aku mana hapal," sahutku jujur. Seketika hatiku kembalidown. "Kamu hapal gak, Key, email adikmu?" tanyaku mengalihkan pandangan dari Reza ke Kiara."Enggak," jawab Kiara lemah."Wahhh ... susah kalau gitu!" Reza menukas, "masalahnya hape mereka mati," lanjutnya serius. Kami semua terdiam. Larut dalam kebingungan. "Ya udah cari di media sosial. Apa nama IG Tara?" Reza kembali bertanya.
(POVNabila)Kiara. Wanita itu tiba-tiba saja mengundang aku dan Kak Sabiru beserta Nasya untuk makan-makan. Dengan alasan merayakan keberhasilannya mampu melangkah. Juga gajian pertamanya Tara.Tentu saja ajakannya ditolak oleh Kak Sabiru. Karena kami memang akan menghabiskan waktu berdua saja. Couple time bahasa kerennya. Terlebih semenjak menikah ulang kami sangat jarang pergi berduaan. Momong badan istilahnya. Sekalian mengulang moment-moment indah kami.Makanya hari ini, Ibu sengaja kuundang ke rumah. Wanita itu akan kumintai tolong untuk menemani Keanu barang sebentar selama kami ke luar mencari angin.Raut wajah sedih Kiara saat mendengar penolakan dari Kak Sabiru membuatku iba. Aku tahu dia kecewa. Dan aku tak mau membuatnya bersedih. Walau dia kerap kali sering membuat jengkel. Namun, gadis itu sudah cukup menderita. Ditinggal mati oleh tunan
Kami tiba di rumah sakit saat pukul sembilan malam. Tidak banyak pengunjung. Alhamdulillah ... jadi tidak perlu menunggu terlalu lama.Ketika masuk ruang praktik dokter, aku langsung diperiksa. Tekanan darahku rendah. Juga banyak kekurangan cairan. Dokter menganjurkan agar rawat inap. Aku butuh diinfus katanya.Saat aku menolak dengan memilih rawat jalan, dokter tidak mengizinkan. Kata dokter keadaanku cukup lemah. Jika memaksa pulang setidaknya menunggu sampai tensi darah kembali normal. Akhirnya, mau tidak mau aku harus menginap di rumah sakit.Kak Sabiru memilihkan kamar kelas satu. Ruangannya cukup nyaman karena hanya ditempati sendiri. Tubuhku terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di pembuluh darah Vena yang terdapat di punggung tangan.Ketika Kak Sabiru menyuruhku untuk beristirahat, aku menggeleng. Mata ini sulit untuk dipejamkan. Otakku melayang terus memikirkan nasib Nasya.
Nasya tidak juga mau membuka pintu kamarnya, walau sudah berulang kali kuketuk. Bahkan sampai matahari condong ke arah barat, gadis itu tidak juga menampakkan diri. Sebagai seorang kakak tentu saja aku merasa khawatir.Nasya tidak pernah sesedih ini. Dia anak yang selalu ceria dan ceplas-ceplos. Karena sejak kecil selalu dimanja Ayah dan Ibunya. Berbeda denganku yang dulu kerap kali mendapat perlakuan yang berbeda.Nasya baru mau memperlihatkan batang hidungnya, setelah adzan magrib berkumandang. Itu pun cuma sebentar untuk membersihkan badan. Setelah itu dia kembali mengurung diri di kamar."Sya, ke luarlah! Kita makan malam bersama!" ajakku saat malam kian beranjak. Tanganku tidak henti mengetuk pintu kamarnya."Aku gak ikut makan malam, Kak. Gak lapar." Suara Nasya terdengar serak dari dalam kamarnya. Bertanda dia habis menangis lama.
Waktu berlalu dengan cepat. Satu purnama pasca putusnya hubungan Nasya dengan Tara, adik-adiknya Kiara jarang sekali berkunjung. Bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah lagi.Apalagi aku pernah mengharamkan kaki Kiara menginjak rumah. Hanya Rani saja yang sesekali mau main ke rumah. Meski begitu, justru Kak Sabiru yang menyambangi rumah mereka. Lelaki itu tetap berlaku baik kepada keluarga Kiara.Kak Sabiru masih menyantuni adik-adik Kiara. Membantu biayai pengobatan Tante Santi. Serta membayar gaji Rani.Aku sendiri tidak begitu mempermasalahkan. Karena memang sudah selayaknya kita saling membantu. Terlebih lagi Tante Santi sudah menjaga Kak Sabiru seperti anaknya sendiri sedari kecil.Kembali lagi kepada Nasya. Walau sekarang tidak seceria saat berpacaran dengan Tara, tetapi senyum gadis itu telah kembali. Hanya saja akhir-akhir ini kuperhatikan Nasya jadi sedikit pucat. Sering mengeluh pusing dan tida
Aku dan Tara refleks menoleh ke arah Nasya. Meminta penjelasan pada gadis itu. Ingin kudengar Nasya membantah ucapan dokter cantik dengan name tag Dewi itu. Namun, asaku tidak terkabul. Karena kenyataannya Nasya hanya membisu tanpa berkata apa-apa.Mata Tara pun tidak lepas menatap sang mantan kekasih. Gurat kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. Apakah itu pertanda jika memang bukan Tara ayah dari janin yang dikandung oleh Nasya?Walau begitu, pemuda itu juga manggut-manggut patuh, saat dokter memberikan beberapa nasihat padanya. Tara juga menurut kala dokter mengharuskannya menjadi suami siaga untuk Nasya.Nasya sendiri terus saja terdiam ketika mendengar dokter menjelaskan tentang kehamilannya. Dia akan membuang muka saat ditatap olehku ataupun Tara. Mulutnya tetap terkunci rapat. Sesekali hanya terdengar helaan napasnya yang tampak begitu berat. Sampai kami meninggalkan ruangan praktik, Nasya setia bungkam.
Sedikit ragu aku melangkah menuju kamar. Membuka laci nakas. Aku memang menyimpan alat tes kehamilan. Usia Keanu genap 18 bulan, aku memang lepas KB.Kak Sabiru menginginkan adik untuk Keanu. Sebenarnya aku kasihan pada Keanu. Dia masih terlalu kecil. Namun, aku juga tidak bisa membantah perintah suami.Langkah pelan kuayun ke kamar mandi sembari membawa cawan kecil di tangan. Hati-hati zaman itu kuisi dengan air seni sendiri. Lalu mulai mencelupkan alat tersebut pada cairan berwarna kuning kecoklatan itu.Beberapa detik kemudian tanda dua garis merah muncul. Mulutku ternganga. Antara bahagia dan galau. Bahagia karena impian Kak Sabiru mendapat momongan lekas terpenuhi. Namun, kalau juga karena Keanu belum lepas ASI."Udah, Bil?" tanya Kak Sabiru dari luar. Sepertinya dia sudah tidak sabar. Aku diam tidak menyahut. Hanya langsung membuka pintu kamar mandi saja. "Bagaimana hasilnya?" tanya Kak Sabiru antusi
"Sedang apa?" Aku dan Elma menyela cepat.Kak Sabiru bergeming. Dia tampak menyesali ucapannya."Ayo katakan, Biru! Apa yang sedang Zayn rencanakan?" desak Elma sambil menarik-narik lengan suamiku. Seperti anak kecil yang merengek pada kakaknya."Aduh gimana ya?" Kak Sabiru mengusap tengkuknya beberapa kali. "Sebenarnya ini tuh rahasia, El. Aku sudah berjanji untuk tidak membocorkannya padamu," tutur Kak Sabiru dengan wajah meragu. "Laki-laki itu yang dipegang adalah omongannya, jadi ... sorry to say. Aku gak bisa." Kak Sabiru angkat bahu, lalu menangkup kedua tangan."Yah ... Biru gak asyik," keluh Elma kecewa. Gadis itu sengaja memanyunkan bibirnya ke depan."Denger, El, percaya deh sama Zayn. Dia itu pemuda yang baik." Suamiku berucap yakin. "Udah yuk lanjut makan!" suruhnya sambil menunjuk makanan dengan matanya.
"Kiara?" sapaku dengan perasaan tidak menentu.Jika aku paling mencemburui Kiara, maka Zayn adalah lelaki paling mencemburui Kak Sabiru cemburui. Sama halnya Zayn yang masih saja perhatian padaku, Kiara bahkan tidak pernah mundur untuk mendapatkan suamiku."Hai, Bila? Baru pulang?" Kiara balas menyambut kalem. Tangannya terulur menjawil pipi Keanu. Bagai sehati bayi itu langsung merengek dijawil oleh wanita yang dicemburui ibunya.Reza menyusul usai mematikan mesin mobil. Pria itu menganguk ramah pada Kiara dan ditanggapi senyuman simpul oleh sang gadis."Iya, nih," sahutku sambil berusaha mendiamkan Keanu, "tumben main? Ada apa?" Aku mencoba santai saat bertanya."Kayaknya kamu gak suka aku menginjakkan kaki di sini deh." Kiara menebak sotoy sembari berkacak pinggang. "Cemburu, ya?" Kiara meledek dengan seringai kecil.Aku mendesah pelan. "Salut ya. Setelah serangkaian ak
Usia sholat Isya bersama, kuajak Kak Sabiru makan malam bareng. Lelaki itu menurut. Walau dia jujur mengaku sudah mampir makan di restoran favorit saat balik ambil laptop."Pantes saja aku nungguinnya lama," balasku dengan sedikit merajuk. Bibir pun sengaja kubuat cemberut. Kak Sabiru paling senang melihat aku bermanja-manja padanya.Begitu sampai di meja makan kubuka tudung saji. Hanya ada menu semur daging dan jamur goreng krispi. Walau begitu ada tatapanmupengyang kulihat dari matanya."Aromanya bikin cacing di perut menggeliat lagi," selorohnya sambil menarik kursi. Pria itu langsung menyomot jamur goreng tersebut. Lantas mengunyahnya perlahan-lahan.Bunyi kriuk-kriuk yang keluar dari mulut membuat aku tersenyum senang. Dengan semangat kuciduk nasi dari dalam rice cooker. Nasi putih pulen dengan asap yang masih mengebul kusiram dengan kuah semur dan potongan dagingnya.
Sambil menunggu kepulangan Kak Sabiru, Keanu aku kompres dengan air hangat. Saat menatap mata mungil Keanu yang terlelap, rasa menyesal menusuk sukma. Hanya karena uang aku mengabaikan anak ini. Padahal Kak Sabiru sudah mencukupi segala kebutuhan. Pantas rasanya jika lelaki itu kesal.Pelan-pelan suhu tubuh Keanu mulai turun. Rasa khawatir ini perlahan luntur. Kutengok jam kotak yang menempel pada dinding. Sudah satu jam lebih Kak Sabiru pergi. Namun, belum ada tanda-tanda ia kembali.Sembari menunggu kedatangan suami kesayangan, aku membersihkan badan. Tidak perlu lama-lama karena malam kian menjelang. Apalagi saat mendengar kumandang adzan Isya, kegiatan ini lekas kusudahi.Ketika melintas untuk kembali ke kamar tampak Ibu tengah menikmati hidangan makan malam sendiri. Wanita itu hanya menengok sekilas tanpa mau menyapa. Mungkin dia masih marah.B
Rasanya seperti maling yang tertangkap basah. Tiba-tiba aku dilanda gugup. Apalagi saat melihat wajah Kak Sabiru yang datar. Tidak ada senyum, tetapi tidak dingin. Di sisi lain Elma pun menampakkan muka yang sama. Dia yang biasanya ceria hanya menatapku sekilas. Lalu langsung mendekati Nasya yang masih betah berbaring. Tatapan dari Zayn, ia acuhkan. "Bagaimana keadaanmu, Sya?" tanya Elma pelan. "Sudah lumayan membaik," sahut Nasya lemah. "Syukurlah. Maaf ya, aku baru datang hari ini. Kalo Biru tidak mengabari kemarin, aku mana tahu," tutur Elma sambil melirik padaku. Aku sendiri agak tertohok mendengar ucapannya. Sungguh ... bukannya tidak mau memberi kabar pada yang lain, kekalutan pada kondisi Nasya membuat aku lupa melakukannya. "Gak papa, Mbak Elma." Nasya mengedip ramah. Elma tersenyum simpul pada Nasya. Kini tatapannya beralih pada sosok menju
Tidak salah lagi. Itu Kiara dan Zayn. Sedang apa mereka berdua di sini? Setahuku keduanya tidak begitu dekat.Baiklah dari pada otak dipenuhi tanya, lebih baik kuhampiri saja mereka. Tanpa berpikir lagi, kaki ini melangkah menuju tempat Zayn duduk. Tangisan kecil dari Keanu menyadarkan Zayn dan Kiara. Keduanya menoleh melihat kedatanganku."Bila ...." Zayn tampak terpana melihat kedatanganku. Bibirnya melengkung indah. Ya ... mana pernah dia cemberut jika ketemu aku. "Bareng Keanu aja?" Dia menebak sambil menyapu sekeliling. Mungkin mencari tahu dengan siapa aku datang."Iya." Aku membalas pelan. Lalu mulai duduk di samping Kiara. Keanu yang rewel kuberi sepotong muffin kudapan dua orang ini. Alhasil bocah itu diam menikmati makanan warna cokelat tersebut."Mau minum apa?" tawar Zayn hangat."Apa saja yang penting dingin. Sama air mineral buat Keanu.""Oke."
"Saya cari Sabiru," balasnya benar-benar datar tanpa senyum."Eum ... saya istrinya." Aku masih bersikap ramah. Bahkan tangan ini terulur. Sayangnya aku dibuat menahan ludah yang pahit, karena wanita itu mengabaikan tangan ini. Dirinya tetap menaikan dagu tanpa mau menjabat.Ini masih terlalu pagi untuk emosi. Dan aku juga mau tersulut karenanya. Oke ... tahan napas sejenak."Kalo boleh tahu apa keperluan Ibu mencari suami saya?" Pertanyaan yang ke luar dari mulut ini tetap kubuat selembut mungkin. Karena bagaimanapun juga melayani tamu dengan baik adalah kewajiban."Tolong pertemukan saya dengan suamimu!" pintanya tegas.Benar-benar wanita batu. Dia yang butuh kenapa lagaknya songong begini?Astaghfirullah hal adzim."Siapa, Bil?"Dari belakang Kak Sabiru datang. Lelaki yang masih santai dengan piyama tidurnya mendekat, sembari menggendong K
"Usir Mas Reza, Kak Bila! Aku mau bercerai dengan dia!' teriak Nasya lantang walau masih lemah. Telunjuknya mengarah pada Reza dengan tatapan sengit. Dan air matanya tetap saja berderai."Nasya Sayang---""Aku bilang pergi!" Nasya menyambar keras. Matanya mendelik marah pada suaminya."Sya ... tolong maafin, Mas. Sumpah---""Kamu dengar gak sih aku bilang pergi!" Nasya kembali menggertak."Sabar, Nak." Ibu Halimah menenangkan sang putri yang dipenuhi arah dengan dekapan lembut."Reza, tolong kamu patuhi perintah Nasya. Biarkan dia beristirahat untuk memulihkan kondisinya." Ibuku pun mulai angkat bicara.Namun, dasar Reza bebal! Seruan Nasya dan nasihat Ibu hanya jadi angin lalu saja baginya. Dia tetap bersikukuh berdiri di ruangan ini."Mas, tolong jangan buat keributan di sini!" Aku yang geregetan akhirnya turun tangan dengan menarik paks