"Stev ... kita akan sampai sebentar lagi," ucap Lucy tanpa melirik pada seseorang yang diajak bicara. Pria itu sedari tadi hanya fokus pada game yang terdapat dalam ponselnya itu. Semetara Stev yang ada di kursi belakang hanya diam tak menjawab. Tanpa diberi tahu pun dirinya sudah tahu jika mereka akan segera sampai. Lucy menggeram rendah saat game yang ia mainkan berakhir dengan kekalahannya. "Sial," umpat pria itu sembari mematikan layar ponselnya dan kemudian melempar benda tidak bersalah itu pada dash board mobil.Lucy memandang ke arah depan, di mana jalanan sudah hampir menggelap karena matahari yang akan segera tenggelam. Beristirahat untuk kembali memulai aktivitasnya kembali besok pagi, menyinari alam semesta."Apa kau merasa tidak ada yang aneh, Stev?" tanya Lucy, pria itu melirik Stev dari spion dalam mobil. Pria berambut jabrik itu dapat melihat dengan matanya yang berwarna biru secerah langit itu, Ellen kini sedang bersandar di bahu Stev dengan mata yang terpejam.Wani
"Benarkah? Wow, selamat Bella!" ucap Kylie tidak percaya. Wanita itu tentu saja senang saat Bella mendapatkan pekerjaannya lagi, meskipun ia tahu. Jika Bella mencari pekerjaan bukan karena benar-benar ingin bekerja. Namun wanita itu pasti bosan berada di dalam mansion yang megah itu seorang diri. Sementara semua penghuni mansion itu pasti akan pergi jika mereka sedang melakukan pekerjaannya. Dan tidak ada yang Bella lakukan lagi kecuali hanya tersenyum membalas ucapan selamat dari Kylie."Terima kasih, Kylie. Aku sekarang berada di Jenjay, bersama dengan Jennie yang menjadi atasanku di sana," ucap Bella kemudian. Gadis itu dapat melihat jika kedua mata Kylie melebar saat ia mengatakan itu. Tampaknya wanita itu lebih kaget dari yang sebelumnya."Jenjay?! Jenjay yang itu?!" Kylie memekik, dan Sean yang berada di samping gadis itu menaikkan salah satu alisnya dengan heran. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh dua gadis yang berada di meja yang sama dengannya itu. Apa katanya
Bella melirik pada kedua sahabatnya yang kini sedang menatap ke arahnya dengan raut wajah yang penasaran. Tampaknya mereka berdua tidak mendengar suara orang di balik telepon Bella. "Ada apa, Bella?" tanya Kylie dengan nada setengah berbisik. Wanita itu tidak ingin orang yang ada di balik telepon Bella mendengar suaranya. Sementara Sean, pria itu juga memandang Bella dengan sorot mata yang menyiratkan kekhawatiran. Tampaknya Sean tahu apa yang sedang terjadi pada Bella. Perlakuan gadis itu yang mengedarkan pandangan pada seisi kafe ini sudah menjadi jawaban. Jika kedatangan Bella ke kafe ini sepertinya sudah diketahui dengan tuannya. Sementara Bella hanya bisa menghela napas pendek setelah gadis itu menutup panggilan telepon. "Maaf, Sean, Kylie. Sepertinya aku akan pulang dulu," ucap Bella dengan nada yang sedikit tidak terima. Wanita itu tersenyum pada keduanya, ia kembali memasukkan ponselnya pada tas dan merogoh sesuatu yang lain di sana. "Kali ini aku yang bayar," ucap Bella
Bella menuruni mobil yang ditumpanginya dengan raut wajah masam. Ia menutup pintu mobil berwarna hitam pekat tersebut dengan sedikit bantingan keras. Membuat seorang pria yang menjadi supir dalam mobil tersebut menatap gadis itu dengan pandangan bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang salah darinya? Dia hanya menjalankan perintah bosnya untuk membawa Bella pulang. Gadis itu bahkan kembali dengan selamat tanpa terluka seujung jari pun.Sementara Bella yang kini memasuki mansion Stev itu mendengus pelan. Gadis itu tahu siapa yang melaporkan dirinya pada Stev. Siapa lagi kalau bukan pengawal pria itu yang tadi sudah berada di depan kafe saat gadis itu baru saja melangkah keluar?"Dasar menyebalkan!" gerutu Bella dengan pelan. Gadis itu tentu saja tidak berani memarahi pengawal Stev yang ada di luar mansion itu. Bisa-bisa dirinya nanti dibuang oleh orang-orang yang menjadi anak buah Stev ke tengah hutan. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Bella merinding dibuatnya. Ia tidak akan m
Bella keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi yang menutupi bagian tubuhnya hingga ke lutut. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju lemari pakaian besar yang ada di kamarnya. Kemudian membukanya dan memilih baju yang sekiranya cocok untuk ia gunakan malam ini. Akhirnya, setelah beberapa saat memilih, gadis itu mengambil sebuah sweater berwarna biru muda dengan celana kain hitam yang panjang. Kemudian tanpa berlama-lama lagi, gadis itu segera melepas jubah mandinya dan berganti dengan pakaian yang baru saja ia pilih. Setelah berganti pakaian, Bella kemudian mengambil sisir yang tergeletak di atas meja di kamarnya. Gadis itu dengan pelan menyisir rambut hitam panjangnya di depan cermin. "Kurasa rambutku sudah terlalu panjang, apa aku harus memotongnya?" gumam Bella pada diri sendiri. Wanita itu terkekeh kecil sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu menolehkan kepalanya pada jam dinding yang berada di kamarnya, dan waktu di sana sudah menunjukkan pukul delapan l
"Memangnya kenapa?" tanya Stev sembari menoleh pada orang yang baru saja berbicara dengannya. Sementara orang di sebelah Stev itu hanya menghela napas pelan."Aku tahu membunuh adalah hobi mu, Stev. Tapi, dia tidak bersalah apa-apa," ucap pria itu. Ia berusaha untuk menghentikan Stev sehingga pria itu tidak membuat kekacauan di pesta yang tengah dibuatnya. "Berisik.""Ini pesta ulang tahun anakku, Stev. Jangan mengacaukannya," ucap pria itu lagi. Ia mendesah pelan. Ia tahu jika Stev tidak akan berhenti sampai di sini. Pria itu terlalu keras kepala.Stev menipiskan bibirnya dengan perlahan."Benarkah? Ku rasa anakmu nanti akan berterima kasih kepadaku," balas pria tampan itu. Dan tidak lagi menunggu waktu yang lama untuk Stev menarik pelatuk pada pistolnya. DORR!! Satu peluru dengan cepat menembus kaki kanan dari gadis itu. Membuatnya langsung jatuh dari tempat duduknya dan mengaduh kala dirinya menimpa lantai yang keras. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Banyak orang terdiam dar
Dum ... Dum ... Dum ...Suara dentuman musik keras yang dihasilkan oleh salah satu bar ternama di Los Angeles itu menyapa seluruh telinga orang yang mampir ke sana. Mengguncang orang-orang untuk menari bersama tanpa mengenal siapa pasangannya.Eflic. Adalah bar terbesar di Los Angeles. Mempunyai sekitar lima puluh bartender, baik pria ataupun wanita. Setiap hari, bar itu selalu ramai oleh pengunjung. Baik untuk melepaskan penat karena bekerja seharian atau mencari pasangan guna menuntaskan hasrat terpendamnya."Hai cantik, aku butuh alkohol untuk melupakan masalahku hari ini."Wanita yang berada di dekat pelanggan pria itu menoleh, kemudian tersenyum."Bagaimana dengan segelas cocktail? Aku punya resep baru hari ini."Wanita cantik berambut panjang sepunggung itu membalas. Dan pria tadi mengangguk sebagai balasan."Terserah," jawab pria itu.Eflic melarang para pelanggan di sana untuk menggoda bartender yang sedang bekerja. Mereka tidak ingin ada rasa tidak nyaman akibat pengunjung
"Mau ke mana?"Bella menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan tatapan datar. Bella yakin orang ini adalah salah satu dari mereka. Atau mungkin pemimpin mereka?"Dimana Bos mu?" tanya pria itu."Dia ada di atas," ucap Bella sembari melirik lantai kedua dari bar ini.Tidak ada waktu lagi untuk Bella. Dia harus segera membawa Sean ke rumah sakit. Tapi, pria yang berdiri di depannya seperti sedang menghalanginya, tidak ingin Bella keluar."Permisi, Tuan." Bella berusaha sopan pada pria yang menurutnya tampan itu. Tidak. Dia memang tampan, sangat.Pria itu menyeringai, menatap penampilan Bella khas bartender di bar ini."Tidak," jawab pria itu.Sontak, Bella melebarkan matanya kala pria tampan yang tak ia ketahui namanya itu semakin mendekat padanya."Antarkan aku kepada Bos mu," pinta pria itu."Kau tidak lihat aku sangat terburu-buru sekarang?" bentak Bella pada pria itu. Masa bodoh jika pria itu akan tersinggung atau tidak. Prioritas utamanya saat ini adalah menyelamatkan Sean.Pr
"Memangnya kenapa?" tanya Stev sembari menoleh pada orang yang baru saja berbicara dengannya. Sementara orang di sebelah Stev itu hanya menghela napas pelan."Aku tahu membunuh adalah hobi mu, Stev. Tapi, dia tidak bersalah apa-apa," ucap pria itu. Ia berusaha untuk menghentikan Stev sehingga pria itu tidak membuat kekacauan di pesta yang tengah dibuatnya. "Berisik.""Ini pesta ulang tahun anakku, Stev. Jangan mengacaukannya," ucap pria itu lagi. Ia mendesah pelan. Ia tahu jika Stev tidak akan berhenti sampai di sini. Pria itu terlalu keras kepala.Stev menipiskan bibirnya dengan perlahan."Benarkah? Ku rasa anakmu nanti akan berterima kasih kepadaku," balas pria tampan itu. Dan tidak lagi menunggu waktu yang lama untuk Stev menarik pelatuk pada pistolnya. DORR!! Satu peluru dengan cepat menembus kaki kanan dari gadis itu. Membuatnya langsung jatuh dari tempat duduknya dan mengaduh kala dirinya menimpa lantai yang keras. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Banyak orang terdiam dar
Bella keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi yang menutupi bagian tubuhnya hingga ke lutut. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju lemari pakaian besar yang ada di kamarnya. Kemudian membukanya dan memilih baju yang sekiranya cocok untuk ia gunakan malam ini. Akhirnya, setelah beberapa saat memilih, gadis itu mengambil sebuah sweater berwarna biru muda dengan celana kain hitam yang panjang. Kemudian tanpa berlama-lama lagi, gadis itu segera melepas jubah mandinya dan berganti dengan pakaian yang baru saja ia pilih. Setelah berganti pakaian, Bella kemudian mengambil sisir yang tergeletak di atas meja di kamarnya. Gadis itu dengan pelan menyisir rambut hitam panjangnya di depan cermin. "Kurasa rambutku sudah terlalu panjang, apa aku harus memotongnya?" gumam Bella pada diri sendiri. Wanita itu terkekeh kecil sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu menolehkan kepalanya pada jam dinding yang berada di kamarnya, dan waktu di sana sudah menunjukkan pukul delapan l
Bella menuruni mobil yang ditumpanginya dengan raut wajah masam. Ia menutup pintu mobil berwarna hitam pekat tersebut dengan sedikit bantingan keras. Membuat seorang pria yang menjadi supir dalam mobil tersebut menatap gadis itu dengan pandangan bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang salah darinya? Dia hanya menjalankan perintah bosnya untuk membawa Bella pulang. Gadis itu bahkan kembali dengan selamat tanpa terluka seujung jari pun.Sementara Bella yang kini memasuki mansion Stev itu mendengus pelan. Gadis itu tahu siapa yang melaporkan dirinya pada Stev. Siapa lagi kalau bukan pengawal pria itu yang tadi sudah berada di depan kafe saat gadis itu baru saja melangkah keluar?"Dasar menyebalkan!" gerutu Bella dengan pelan. Gadis itu tentu saja tidak berani memarahi pengawal Stev yang ada di luar mansion itu. Bisa-bisa dirinya nanti dibuang oleh orang-orang yang menjadi anak buah Stev ke tengah hutan. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Bella merinding dibuatnya. Ia tidak akan m
Bella melirik pada kedua sahabatnya yang kini sedang menatap ke arahnya dengan raut wajah yang penasaran. Tampaknya mereka berdua tidak mendengar suara orang di balik telepon Bella. "Ada apa, Bella?" tanya Kylie dengan nada setengah berbisik. Wanita itu tidak ingin orang yang ada di balik telepon Bella mendengar suaranya. Sementara Sean, pria itu juga memandang Bella dengan sorot mata yang menyiratkan kekhawatiran. Tampaknya Sean tahu apa yang sedang terjadi pada Bella. Perlakuan gadis itu yang mengedarkan pandangan pada seisi kafe ini sudah menjadi jawaban. Jika kedatangan Bella ke kafe ini sepertinya sudah diketahui dengan tuannya. Sementara Bella hanya bisa menghela napas pendek setelah gadis itu menutup panggilan telepon. "Maaf, Sean, Kylie. Sepertinya aku akan pulang dulu," ucap Bella dengan nada yang sedikit tidak terima. Wanita itu tersenyum pada keduanya, ia kembali memasukkan ponselnya pada tas dan merogoh sesuatu yang lain di sana. "Kali ini aku yang bayar," ucap Bella
"Benarkah? Wow, selamat Bella!" ucap Kylie tidak percaya. Wanita itu tentu saja senang saat Bella mendapatkan pekerjaannya lagi, meskipun ia tahu. Jika Bella mencari pekerjaan bukan karena benar-benar ingin bekerja. Namun wanita itu pasti bosan berada di dalam mansion yang megah itu seorang diri. Sementara semua penghuni mansion itu pasti akan pergi jika mereka sedang melakukan pekerjaannya. Dan tidak ada yang Bella lakukan lagi kecuali hanya tersenyum membalas ucapan selamat dari Kylie."Terima kasih, Kylie. Aku sekarang berada di Jenjay, bersama dengan Jennie yang menjadi atasanku di sana," ucap Bella kemudian. Gadis itu dapat melihat jika kedua mata Kylie melebar saat ia mengatakan itu. Tampaknya wanita itu lebih kaget dari yang sebelumnya."Jenjay?! Jenjay yang itu?!" Kylie memekik, dan Sean yang berada di samping gadis itu menaikkan salah satu alisnya dengan heran. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh dua gadis yang berada di meja yang sama dengannya itu. Apa katanya
"Stev ... kita akan sampai sebentar lagi," ucap Lucy tanpa melirik pada seseorang yang diajak bicara. Pria itu sedari tadi hanya fokus pada game yang terdapat dalam ponselnya itu. Semetara Stev yang ada di kursi belakang hanya diam tak menjawab. Tanpa diberi tahu pun dirinya sudah tahu jika mereka akan segera sampai. Lucy menggeram rendah saat game yang ia mainkan berakhir dengan kekalahannya. "Sial," umpat pria itu sembari mematikan layar ponselnya dan kemudian melempar benda tidak bersalah itu pada dash board mobil.Lucy memandang ke arah depan, di mana jalanan sudah hampir menggelap karena matahari yang akan segera tenggelam. Beristirahat untuk kembali memulai aktivitasnya kembali besok pagi, menyinari alam semesta."Apa kau merasa tidak ada yang aneh, Stev?" tanya Lucy, pria itu melirik Stev dari spion dalam mobil. Pria berambut jabrik itu dapat melihat dengan matanya yang berwarna biru secerah langit itu, Ellen kini sedang bersandar di bahu Stev dengan mata yang terpejam.Wani
Pria itu berhenti tepat di tempat Bella. Membuat Bella yang kini masih diam di tempat duduknya menahan napas. Ia tidak menyangka jika akan ada manusia yang sesempurna ini di dunia. "Freya, apakah Jennie ada di sini?" tanya pria itu. "Ketua? Dia ada di atas, Tuan," balas Freya sembari menunjuk ruangan Jennie yang berada di lantai atas.Pria yang menurut Bella sangat tampan itu mengangguk, "Oh, dia sedang tidak pergi?"Freya menggeleng sembari tersenyum ramah. "Hari ini tidak ada jadwal perjalanan." "Baiklah, terima kasih Freya," ucap pria itu sembari mengukir senyum pada bibirnya yang tipis."Apa Anda tidak memberi tahu ketua jika Anda akan datang?" tanya Freya dengan tatapan bingung.Pria itu menggeleng pelan, "Tidak. Aku ingin memberikan kejutan padanya," ucap pria tampan itu sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan Bella yang mematung di dekat Freya.Freya menghela napas pelan saat bayangan pria tampan itu sudah tidak terlihat lagi dari pandangannya."Bukankah setidaknya jika d
"Apa kita perlu bergerak, Bos?" tanya seorang pria pada lelaki yang duduk di atas kursi kebesarannya dalam ruangan itu. Sementara orang yang tadi dipanggil bos itu menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Jangan terburu-buru," ucap pria itu sembari menyeringai seram. Wajahnya yang tampan namun mengerikan itu menatap datar pada foto berukuran besar yang terpajang di dinding. Saat melihat foto tersebut, raut wajah pria itu berubah sendu tidak dapat di sembunyikan lagi. Terlihat dari matanya yang berwarna biru itu, ada banyak masalah dan masa lalu mengerikan yang tersimpan dengan kelam di sana. Tanpa seseorang pun yang mengetahui. Hanya ia seorang diri, menahan beban dan rasa yang tak pernah dirasakan oleh orang lain di sekitarnya.Pria itu menghela napas pelan, diikuti dengan gerakan tangannya yang menghidupkan korek api untuk membakar sebuah rokok yang terselip di antara bibir tipisnya yang seksi."Kita tidak akan menyerangnya hari ini. Aku akan membuat kematiannya menjadi menges
"Jangan terburu-buru, selesaikan dulu urusan Anda," ucap Bella dengan sopan. Dan ia dapat melihat jika Jennie terkekeh sebentar sebelum akhirnya menutup laptopnya dengan pelan. Ketua desainer Jenjay itu mencari-cari sesuatu yang berada di dalam salah satu lacinya. "Bella. Ini hari pertama kau masuk bukan?" Wanita itu duduk di hadapan Bella, sementara gadis yang ada di depan Jennie itu mengangguk. "Iya Miss," balas Bella."Oh, kau tidak perlu memanggilku Miss, Bella. Mulai sekarang biasakan dirimu untuk memanggilku dengan sebutan ketua, seperti yang lain." Bella terpaku sejenak, namun setelah itu Bella mengangguk sembari tersenyum, "Baik, Ketua.""Itu lebih baik," sahut Jennie. Ia menyodorkan sebuah buku besar sedikit tebal itu pada Bella."Ini adalah buku di mana semua rancanganmu akan tertuang di sini. Aku memberikan buku ini pada semua karyawanku. Dan setiap satu bulan sekali, aku akan memeriksa perkembangan gambaranmu. Dan jika ada yang menurutku bagus, aku akan mengangkatnya me