“Lepas! Kau ingin lihat aku dimakan peliharaanmu, bukan?” Tulang rusuk Pandora sempat menghantam pembatas balkon. Menimbulkan rasa sakit yang cukup memberi efek putus asa, tetapi Kingston tidak akan membiarkan penderitaannya berjalan lancar.Kingston yang melempar dan yang pula membuat Pandora bergelantungan dengan ruas lengan dicengkeram sedemikian erat. Bangaimanapun pria itu sangat gila memenuhi sebuah ancaman tegas. Seolah perih di hati saja tak cukup mengimbangi kepuasan jika tidak dengan cara yang lebih menyaktikan.Kingston senang melihatnya terluka. Senang menyaksikan aliran air bersimbah dari sudut mata. Dan itulah yang sedang Pandora pertontonan pada seorang bajingan. Dia tidak menginginkan kehidupan yang kacau seperti ini. Tidak ingin diberi kesempatan bertahan saat sementara semua telah berubah.Ini bukan peristiwa manis yang didambakan. Semua telah hancur. Remuk redam tak berguna untuk memperdebatkan sesuatu yang tak akan kembali. Jika Kingston ingin mematikannya. Seharu
“Kau baik – baik saja, Pandora?” “Apa yang sudah dilakukan kakakku padamu?” Pandora segera mendapat pertanyaan mencecar ketika membukakan pintu kamar untuk Avanthe. Dia tidak langsung menanggapi, karena yang terpenting adalah memastikan pintu kembali dikunci dengan rapat. “Tidak perlu buru – buru. Tenangkan dirimu dulu.” Sentuhan Avanthe begitu lembut ketika wanita itu turut duduk di bawah kaki ranjang. Menarik Pandora masuk ke dalam dekapannya. Paling tidak sampai Pandora tak lagi bergegar di luar kendali. “Aku minta maaf jika dia benar – benar melakukan sesuatu yang sangat buruk.” “Dia menyakitiku—bukan kali ini saja.” Pandora sungguh terbata setelah rasa sesak lagi – lagi menyebar di rongga dada. Tubuh Avanthe seolah menjadi perlindungan saat dia membalas pelukan yang menjadikannya sedikit – sedikit lebih baik. Garis besar perbedaan dari dua bersaudara sepupu itu kentara. Benar – benar tidak bisa dibandingkan. Pandora menganggap sebuah kesalahan jika mengatakan Kingston adal
“Kakak Panda ....”Suara Aceli sayup – sayup merambat pada indera pendengaran Pandora.Aneh.Malam sudah semakin larut, dan gadis kecil itu masih keluyuran di tempat terbuka. Semacam sebuah pengaturan, tetapi Pandora tidak berusaha peduli, sekalipun tiap – tiap langkah yang terangkat selalu disorot dengan lampu mobil yang berjalan pelan di belakang.Aceli sedang bersama seseorang ....Jika Pandora harus berprasangka buruk, dia akan mengartikan Kingston adalah dalang menyedihkan itu. Nyaris satu minggu menghirup udara bebas, Pandora tidak akan mengizinkan pria tersebut kembali masuk ke dalam hidupnya. Tidak dengan menjadikan Aceli sebagai umpan.Sejak dia meninggalkan gedung mentereng. Mereka sudah tidak saling berurusan. Lupakan tentang surat perjanjian. Pandora tidak akan menyudutkan diri sendiri dengan hal – hal tidak berkepentingan.Kehidupan barunya sudah lebih daripada cukup. Sangat sibuk. Tanpa harus memikirkan Kingston dan apa pun yang berkaitan terhadap pria itu.Bersyukur, di
“Akan kutanyakan kalau aku punya nomor ponselnya.” Sambil menggerutu Anna melangkahkan kaki ke ranjang sendiri. Melempar tubuh ... telentang dan menatap langit – langit kamar asrama untuk menemukan sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. “Kenapa dari dulu tidak kulakukan ini,” gumam Anna tanpa sadar. Ibu jarinya bebas mengulik ponsel setelah masuk ke tampilan aplikasi. Helios .... Dia memasukkan sepenggal nama pada kolom pencarian. Beberapa akun muncul, kemudian Anna mencoba peruntungan dengan membuka satu persatu mulai dari deretan teratas. Nihil. Dia tidak menemukan apa pun. “Panda, apa kau tahu nama lengkap mi ice?” Anna belum menyerah. Segera bangkit duduk di pinggir ranjang, menghadap punggung Pandora, yang dia tahu temannya tidak mudah tertidur, terutama karena keberadaan Aceli di sana. “Aku bertanya padamu, Panda,” ulangnya. Sedikit mengeraskan suara, tetapi saat – saat itulah Anna menyeret Pandora untuk segera berbalik badan. “Aceli sudah tidur. Jangan berisi
“Om Heli sudah jemput.”Aceli melompat – lompat di tempat mengamati mobil Helios berhenti di depan gedung asrama. Pria itu berjalan keluar. Tersenyum sedikit kaku, mungkin karena apa yang dikatakan kemarin malam tidak sepenuhnya benar.Ini sudah hampir lewat jam makan siang. Dan Helios baru tiba dengan membawa buah tangan, yang seharusnya Pandora tolak, dia tidak keberatan akan keberadaan Aceli selama Kingston tidak mengganggu dan selama itu tidak mencampuri jam kerjanya di shift malam. Tetapi Anna tidak sependapat. Gadis itu menerima sekotak besar kue dari Helios sambil memamerkan senyum lebar. Tidak lupa menanyakan nama panjang pria tersebut.“Helios Danco. Aku mendapatkannya.”Sekilas bisikan Anna memberi Pandora efek geli. Dia segera mengsejajarkan tubuh setinggi Aceli untuk merapikan anak rambut yang mencuak ke depan usai ditata menjadi kepangan dua.“Aku akan merindukanmu.”Pandora mencubit pipi Aceli pelan. Kalau dilakukan dengan kasar Kingston akan marah, tapi dia lupa bahwasa
“Lepas. Aku tidak punya waktu untuk meladenimu.”Pandora berusaha keras menyingkirkan belenggu genggaman Kingston, tanpa menimbulkan kekacauan yang akan menarik perhatian semua pengunjung, terutama bagaimana dia sedang menghindari kebiasaan manager restoran dari kegiatan memantau.“Kau tidak bisa menggangguku di tempat kerja.” Setengah berbisik. Pandora tidak pernah meninggalkan sorot matanya yang tajam pada sarung tangan kulit milik Kingston—dia akan segera menemukan cara untuk terbebas.“Aku merindukanmu.”“Kau bicara omong kosong. Mengertilah, aku sedang bekerja.”Wajah Pandora mengernyit dalam, sekaligus menyayangkan beberapa pasang mata mulai menjadikannya sebagai pusat perhatian. Sebelah tangan yang lain, yang masih mendekap buku menu, digunakan untuk menarik ujung sarung tangan Kingston—yang ternyata tidak berarti apa pun. Justru sesuatu secara mengejutkan membuat Pandora beku sesaat.Bekas memar dan kulit yang terkelupas mencuak dari pergelangan tangan pria itu ketika gerakan
“Kau yakin tidak mau ikut denganku?”“Tidak, Marco. Aku bisa pulang sendiri.”Pandora tersenyum tipis ketika Marco, rekan kerja di shift malam, menyelesaikan aktivitas mengunci pintu restoran, yang ditutup satu jam lebih lama dari biasanya.“Tapi ini sudah sangat malam,” ucap Marco sambil mengantongi beberapa anak kunci ke saku celana.“Tidak apa – apa. Aku sudah terbiasa. Lagi pula jarak dari sini ke asrama kurang lebih hanya 300 m.”“Tetap saja kau masih harus berjalan kaki. Tidak ada penolakan, Pandora. Aku akan mengantarmu.”“Tidak. Apa kau lupa terakhir kali kau mengantarku pulang, dan itu sangat membuat Aluna marah. Aku tidak mau sampai kejadian lagi. Rumahmu juga tidak searah.”Cukup sekali Pandora menjadi alasan mengapa Marco ... tempo hari lalu tidak fokus bekerja. Pria itu harus melewati tendensi dan bersitegang bersama sang kekasih karena satu kecemburuan besar.“Dia sudah mengerti kalau kau rekan kerjaku.”“Begitu?” Pandora manggut – manggut, tetapi tidak lagi ... dia tida
“Kenapa kau terus melihatku seperti ini?” Pandora menjauhkan segelas es di tangan, heran mengamati ekspresi wajah Anna yang terlalu terjal menyorot ke arahnya. “Bukan apa – apa. Aku sedang memikirkan Mr. Nolan yang kehausan, sedangkan kau di sini dengan nikmat menyedot segelas air kelapa tanpa rasa bersalah.” Haruskah Anna bicara sejujur itu. Menyimpulkan kata – kata seolah Pandora yang paling kejam, sementara Anna tidak pernah tahu apa dan dengan alasan yang bagaimana ketika Pandora hanya menceritakan separuh kebenaran, sisanya tak pernah sanggup mengatakan alasan terbesar dari kemarahan kali ini. “Dia bukan tidak tahu apa yang bisa dikerjakan ketika haus dan lapar. Bisa pulang atau pergi membeli sesuatu yang dia butuhkan.” “Ini bukan masalah itu, Panda. Tapi tidakkah kau lihat Mr. Nolan bersedia menunggumu sepanjang malam. Kau yakin masih tidak mau memaafkannya?” Demi apa pun, tidak ada yang bisa menjabarkan perasaan Pandora sampai detik di mana dia sebenarnya tidak pernah berh