Bab 98“Yakin sekali Ma. Memangnya kenapa? Itu adalah takdir Amina yang harus ia jalani. Wanita itu kuat dan saya ingin melindunginya. Mama belum kenal Amina dia perempuan baik – baik yang sangat sayang dengan anak dan keluarganya,” balas Eril tak mau kalah.“Kamu itu anak Mama satu – satunya, masak kamu gak pengen membahagiakan Mama? Mama pengen kamu itu menikah dengan gadis ting ting. Jangan wanita seperti Amina. Diperkosa orang, punya anak lagi. Kamu itu juga terlalu baik padanya. Mama geli mendengar anaknya menyebutmu Papa. Malu Mama Ril.”“Ma, memangnya kenapa sih, Eril mencintainya.”“Halah, gak usah bicara cinta sama Mama. Mama pinta kamu mendengarkan apa kata Mama.” Iswati masuk ke kamar Eril. Dia mau tiduran.Eril mendesah. Perdebatan dengan mamanya membuat dirinya capek. Diliriknya alroji di pergelangan tangannya. Amina belum datang, padahal tadi ia berjanji akan membawakan makanan untuknya. Lelaki itu berinisiatif keluar dan hendak pergi ke apartemen Amina.Saat membuka pin
Bab 99“Amina, aku ingin bicara denganmu,” pinta Eril sepulangnya dari syuting. Raut muka lelaki itu tampak frustrasi dengan keadaan yang ia jalani. Amina seminggu ini lebih banyak mengunci mulut, dan dia tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuatnya.“Soal apa?” tanya Amina pendek. Tangan kanannya menyisir rambutnya ke belakang.“Aku salah apa padamu, hingga kamu mendiamkan aku seperti itu?” Rahang Eril menegang. Sikap dingin Amina membuatnya mati kutu.“Kamu tidak salah apa- apa. Aku hanya ingin menghindarimu saja.” Tak perlu lagi Amina berbasa – basi. Mereka sudah sama – sama dewasa.“Kenapa kamu tiba – tiba mau menghindariku? Apakah ini berkaitan dengan mamaku?” Suara Eril tercekat saat mengatakannya. Ia tahu Amina, tak mungkin gadis itu menghindarinya tanpa alasan jelas.“Iya. Aku mendengar perdebatan kalian waktu itu dan kupikir, ada baiknya kita berdua berpisah.” Intonasi suara Amina datar saat mengatakannya. Kenyataan – kenyataan pahit yang telah dilaluinya membuatnya dingin.
Bab 100Amina yang mendengar suara tangis Ayang datang menghampiri. Dia terpaku melihat putrinya dalam pelukan Eril.“Maafkan anak saya, Tante.” Amina langsung membawa Ayang ke dalam pelukannya. Gadis cilik itu langsung menyembunyikan wajahnya dalam dada ibunya.“Iya, kamu mestinya sadar itu, jangan malah mengambil kesempatan dengan mengajarinya memanggil Papa pada Eril.” Iswati berkata dengan ketus.“Sudah Ma. Tolong Mama jangan sakiti hati Ayang. Dia tidak salah. Aku yang memintanya memanggilku Papa.” Eril tetap membela Ayang.Amina tidak ingin mendengar perdebatan lebih dalam antara Eril dan mamanya. “Maaf saya masuk dulu,” Wanita itu berbalik dan masuk ke dalam apartemennya. Hatinya benar – benar patah melihat mamanya Eril memarahi anaknya.“Ayang jangan menangis, Gak apa - apa gak punya Papa. Ayang masih punya Ibu,” tutur Amina sambil mengusap air mata di wajah anaknya.Ayang masih menangis sesenggukan. Bik Susi yang melihat majikannya menangis, turut meneteskan air mata. Dia kes
Bab 101Amina tertegun melihat mobil Ibu Hesti semakin menjauh dari dirinya.“Bu, kita di sini mau ngapain?” kata Bik Susi. Dia berdiri di samping koper bersama Ayang yang terkantuk – kantuk.“Saya tidak tahu Bik. Kita tunggu saja Bapak Ridho di sini.” Suara Amina terdengar cemas. Dilihatnya langit yang gelap gulita. Sebentar lagi hujan.Baru saja dia selesai, rinai datang mengguyur. “Hujan Bik, kita menepi dulu di teras rumah itu,” ajak Amina. Dia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci dan membantu membawa kopornya masuk ke teras.Bik Susi menyusul Amina bersama Ayang. Mereka berdiri melihat hujan yang semakin lama semakin deras.“Siapa Ridho itu, Bu?” Bik Susi memecah kesunyian.“Saya juga tidak tahu Bik.”“Apakah dia lelaki baik, jangan – jangan dia orang jahat.” Bik Susi tiba – tiba cemas, majikannya akan dijual ke lelaki jahat.“Jangan berpikir aneh- aneh dulu, Bik. Kita tunggu saja dulu dia. Jika satu jam tidak datang, saya akan menghubungi Bu Hesti.” Amina tidak mau terpenga
Bab 102Amina melongo untuk beberapa detik. “Kamu gak bohong kan?” tanyanya dengan tatapan aneh.“Saya tidak mungkin berbohong, Bu. Semua surat – suratnya ada di saya . Ibu tinggal tanda tangan.” Ridho kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan semua berkas – berkas kepada Amina.Amina membacanya dengan tangan bergetar. Rumah itu memang untuknya. Ada namanya tertera dengan jelas di atas kertas. Wanita itu tak habis pikir. Kenapa Ibu Hesti sebaik itu padanya?“Tolong tanda tangan di sini, Bu?” pinta Ridho. Ia menyerahkan pulpen ke tangan Amina.“Sebentar, saya mau meminta penjelasan terlebih dahulu. Amina menenangkan diri. Dia kapan hari tanda tangan kontrak bersama Eril di kantor Bu Hesti, tapi di sana tidak ada pembicaraan tentang rumah. Apakah ini sebuah lelucon? Dia mencubit pipinya. Sakit! Kemudian ia melihat berkas rumah itu. Di situ masih ada namanya tertulis jelas. Jadi matanya tidak salah dan ini bukan guyonan maupun mimpi.Amina menelpon Ibu Hesti. “Malam Bu, Ridho bersama saya
Bab 103 Eril berdiri di depan pintu kamar Amina. "Amina, Amina, buka pintunya sayang," teriaknya berulang kali. Tidak ada jawaban dari dalam. Kemana Amina? Telponnya juga tidak aktif. Sesuatu pasti telah terjadi dengan Amina dan Ayang. Tidak mungkin mereka tidak menjawab panggilannya. Eril mulai frustrasi. Dia terduduk lesu di depan pintu.seraya memeluk kedua lututnya. "Ngapain kamu di situ, Ril? Amina sudah pergi. Dia tidak membutuhkan kamu sekarang." Iswati yang melihat Eril seperti orang putus asa kesal. Perempuan itu mengomel sepanjang waktu. "Pergilah Ma, biarkan aku sendiri di sini." Eril mengusir mamanya. "Mama tidak akan pergi, selama sikapmu begitu." "Kalau begitu, Eril yang pergi. Mama telah membuat hidup Eril hancur! Mama sok tahu mau mengatur hidup Eril." Lelaki itu bangkit dengan lunglai dan mengemasi pakaiannya. Iswati tercenung. "Jangan pergi Ril. Semua yang Mama lakukan demi kebaikan kamu." Ia berusaha mencegah. "Kebaikan apa Ma? Apa yang Mama tahu dari Eri
Bab 104 Dengan senyum manisnya, Dokter Kartika menjawab dengan lugas. “Saya selama ini sibuk bekerja hingga tak sempat memikirkan pasangan.” Senyum Iswati lebar sekali. Dia senang sekali dengan jawaban polos Dokter cantik itu. Sebuah ide tercetus di kepalanya. Betapa bahagianya jika dia mendapatkan mantu seorang Dokter. “Sungguh suatu kebetulan.” Perempuan itu melihat ke arah Eril. Eril bertambah muak dengan gelagat mamanya. Terang - terangan sekali dia ingin menjodohkannya dengan Dokter Kartika. “Dokter istirahatlah dulu, aku mau melanjutkan tidur dulu.” Lelaki itu menghindar. “Eril benar, sebaiknya Dokter Kartika istirahat dulu. Setelah itu kita makan siang. Tante mau masak spesial dulu.” Iswati mengajak Dokter Kartika ke kamarnya. Dokter Kartika mengangguk, meski dia tampak kecewa dengan sikap Eril yang dingin. Dia tahu lelaki itu sedang patah hati. Dengan napas tertahan, wanita muda itu duduk di tepi ranjang dan melihat sebuah lukisan siluet wanita berdiri di tepi jendela. M
Bab 105“Tante tahu saja maksud saya?” jawab Dokter Kartika tanpa malu – malu.Iswati tertawa terbahak – bahak. Anak sekarang memang lebih berani daripada ia saat muda dulu. Akan tetapi, dia menyukai wanita muda itu yang memiliki masa depan cerah, profesinya Dokter, masih muda, cantik, single pula. Bukankah dia menantu idaman?“Tentu saja. Tante senang dengan keterus teranganmu dan akan mendukungmu 100 persen!” Iswati mengedipkan mata.“Terima kasih, Tante.” Dokter Kartika memeluk Iswati hangat. “Bagaimana kalau kita shopping setelah itu memanjakan diri ke Spa?”“Siapa takut. Tante sudah lama tidak ke Spa.”***Eril mengendarai mobilnya ke studio RTV dengan pikiran melayang. Syutingnya masih 4 jam lagi, dan dia memilih datang sangat awal. Sesampainya di parkiran RTV, ia berdiri di samping mobil, matanya seperti elang menyusuri tiap jengkal sudut mencari sesosok wanita yang amat dirindukannya.Tak jauh dari tempatnya berada, Ibu Hesti yang baru datang dari meeting melewati Eril. “Pak,
Bab 178 – Last Episode Jantung Amina serasa mau berhenti, wajahnya seketika memucat melihat Mama dan Neneknya Eril hadir di sana. Wanita itu melepaskan pelukannya. “Kenapa kamu memeluk Amina di sini? Lebih baik bawa Amina ke KUA. Jangan bikin malu orang tua!” kata Iswati bengis. Sontak, Amina terkejut. “Kejutan apa lagi ini, Rey?” tanyanya kebingungan. Reynard, Bu Hesti, Pak Mulyadi, dan Diana bertepuk tangan. “Luar biasa sekali acting Bu Iswati ini. Cocok jadi pemeran antagonis,” ucap Pak Mulyadi bersemangat. “Hesti, kamu mestinya ambil dia untuk salah satu sinetronmu?” Bu Hesti tertawa. “Urusan talent, aku kan pakarnya. Bu Iswati sudah aku kontrak. Baru saja kami menandatangi surat – suratnya.” Iswati tersenyum malu. Amina semakin bingung. “Ril… tolong jelaskan semua ini kepadaku?” “Biar saya yang menjelaskan,” kata Bu Hesti. “Amina, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya mempunyai dua kejutan. Yang pertama adalah kembalinya Eril bersama kita. Dia sangat mencintaimu,
Bab 177 Amina mengenakan baju terbaiknya. Ia mematut dirinya lama sekali di depan kaca. “Ibu sudah cantik, kok,” kata Ayang geli, melihat sikap ibunya yang bolak – balik menatap cermin. “Benarkah? Ibu merasa kurang pede,” kata Amina. “Yang dikatakan Ayang benar. Ibu cantik sekali.” Bik Susi mengacungkan dua jempolnya. Hari ini ia tidak berjualan dengan Amina, karena Reynard mengajak semuanya pergi. Fahri yang telah berpakain rapi lalu memotret sang Ibu dan memperlihatkannya pada Amina. “Ibu cantik!” Anak itu tersenyum bahagia. Amina tersipu, mendapat pujian dari keluarganya. “Ngomong – ngomong, Reynard mau mengajak kita kemana ya, Bik?” Baru saja Amina selesai bertanya, Reynard sudah muncul di depannya. Pakaian dia rapi dan wangi. “Aku akan membawa kalian ke tempat spesial,” jawab Reynard dengan senyum lebar. “Apa kalian semua sudah siap?” “Sudah dong.” “Kalau begitu, mari kita berangkat.” “Mas Rey, kita mau naik apa?” tanya Bik Susi. “Naik mobil dong, Bik. Masak mau naik
Bab 176“Bagaimana kami percaya? Kamu bisa saja mengelak dengan cara menuduh orang lain?” kata Reynard.“Aku juga tidak percaya dengan kalian. Siapa tahu Eril juga berbohong supaya dia tidak mau bertanggung jawab pada Dokter Kartika.” Vincent membela diri.“F*ck,” cetus Eril gusar. “Kita berdua sama – sama terjebak, dan satu – satunya cara kita harus mendatangi datang ke Jember dan menemui Dokter Kartika dan memintanya mengaku siapa lelaki yang harusnya bertanggung jawab.”“Hmm… sorry, pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa ikut kalian.”Reynard menyeringai. “Boleh saja kamu begitu, dan aku tinggal menyebarkan soal hubunganmu dengan Dokter Kartika ke media, beres kan?” Ia mengancamnya. “Aku juga tahu, sugar mommymu.”Gigi Vincent gemeretuk. Dia tidak bisa mengelak lagi.***“Dokter Tika, aku kecewa dengan dirimu. Tak kusangka, kamu bisa senekat itu untuk mendapatkan apa maumu. Kamu rela menghancurkan sahabat baikmu sendiri, dan sekarang meminta pertanggung jawaban aku.” Eril menatap mata
Bab 175“Apa kamu yakin ini cara yang akan kamu tempuh, akan membuat Dokter Kartika mengaku?” Reynard menatap Eril dengan was – was. Lelaki itu selalu membuatnya khawatir.“Bagaimana aku tahu, jika aku tidak mencobanya?” jawab Eril datar. “Sumpah demi Allah! Aku tidak pernah meniduri Dokter Kartika, dan sekarang dia meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya.”Pria itu mendengus, kemudian mengambil rokok dan menyalakannya. “Atau kamu punya ide lain?”Reynard menyalakan rokok dan menghembuskannya pelan ke udara. Mereka masih di salah satu café di bandara. Rencananya, Eril mengajaknya ke Jember, menemui Dokter Kartika dan menyelesaikan masalahnya. Setelah itu barulah ia mau bertemu dengan keluarganya dan Amina. “Aku ragu, jalan yang kamu tempuh akan berhasil, mengingat Dokter Kartika itu licik. Jujur aku tidak menyukainya.” Reynard melihat Eril.“Apa kamu tahu, dia menjelek – jelekkan Amina ke media, ke ibumu. Selain itu dia juga menjadi mata – mata Jazuli bersama Amel. Dia perna
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men